Warning: Suicide, the concept of Grim Reapers in this fic was inspired by Black Butler
---
Sakuma Rei sudah mati selama tujuh ratus dua puluh satu kali.Sakuma Rei sudah menghindari maut selama tujuh ratus dua puluh satu kali.
"... Orang ini tidak bisa mati." Begitu ucap Ran Nagisa puluhan tahun lalu, ketika Ibara bertanya mengapa Sakuma Rei ini sering membuat dua departemen kewalahan. Mengapa saat ada perubahan dalam sistem yang tiba-tiba, seorang senior-Tomoe Hiyori, lebih seringnya-akan membanting sabitnya penuh kekesalan sambil mengumpat. Mengapa para Malaikat Maut Departemen Kematian dan Departemen Kehidupan langsung menyalahkan Sakuma Rei ketimbang menduga sistem sedang eror.
Tidak bisa mati.
Ibara harus akui, manusia-orang-seperti itu sudah pasti sangat merepotkan. Pantas saja beberapa pegawai dari Departemen Kehidupan terkadang main ke Departemen Kematian hanya untuk membicarakan Sakuma Rei (bergosip lebih tepat, sih). Tampaknya hanya Departemen Penghakiman dan Departemen Reinkarnasi yang bersenang-senang. Keduanya tidak pernah berurusan dengan Sakuma Rei dan semua masalah yang ditimbulkannya pada sistem.
Ibara saat itu masih baru. Belum ada sepuluh tahun dibangkitkan dari kematian-bodoh-nya sendiri. Wajar dia tidak mengerti apa saja persoalan Sakuma Rei yang sangat terkenal ini, jadi dia hanya tersenyum bingung. Pemandu dan seniornya selama masa orientasi, Ran, mengusap dagunya perlahan sambil berpikir dalam. "... Belum ada yang tahu kenapa," lanjutnya, "sebelumnya dia tidak begini. Masih melalui Penghakiman dan Reinkarnasi."
"Kalau boleh tahu, Tuan." Ibara ingat waktu itu suaranya masih sering bergetar. Segan. Kagum. Ran hanya sedikit mengernyitkan dahi, tidak biasa dipanggil kelewat formal. "Sejak kapan dia menjadi ... abadi ...?"
Ran menghela panjang. "Sejak adiknya meninggal."
Oh.
---
Betapa bodoh Ibara-Masa-Lalu. Bisa-bisanya ia merasa sedih, agak bersalah karena menanyakan, untuk orang yang akan menjadi sakit kepala terhebat sepanjang sejarah.Ibara-Masa-Kini menghela napas kesal kalau ingat kenangan lama tersebut. Ugh. Mungkin harusnya Ibara menolak perintah Denka. Masalah ini bermula dari sana. Seperti biasa. Astaga. Ibara tahu apa yang bakal terjadi jika ia menyanggupi tapi masih saja dilakukan. Dia memang bodoh.
Ibara mendengkus jengkel untuk entah keberapa kalinya pagi ini. Sejak mulai kerja, kaki bersepatu pantofelnya terus saja menendang-nendang seonggok tubuh yang berbaring bersimbah darah dengan belati perak mencuat dari jantungnya. Tubuh Sakuma. Mungkin sudah sejak dua belas jam lalu. Ayolah. Masih ada kurang lebih tiga ratus enam puluh dua jiwa yang akan menemui ajalnya dalam dua puluh empat jam ke depan. Ibara tidak punya waktu untuk ini. Kenapa Sakuma tidak bangkit saja dari kubur? Tidak perlu membuatnya mencabut nyawa yang pasti bakal kembali ke raga pemiliknya.
Tubuh itu masih tidak berkutik. Bahkan ketika Ibara mencabut belati, memutar tubuhnya seratus delapan puluh derajat, dan menusukannya kembali menembus punggung menuju tanah. Wow. Sakuma sangat serius.
Ibara mendecak kesal. Baiklah, kalau begitu, ikuti saja arusnya. Seperti. Biasa. Padahal Ibara berharap bisa membuat perbedaan. Oh, siapa yang Ibara bohongi? Tidak mungkin terjadi.
Dingin gagang sabit lumayan menenangkan. Ia mengayunkan pisau sabit ke arah jasad Sakuma-sedikit berpikiran untuk hancurkan kepalanya sekalian-dan sebuah bola cahaya putih muncul dari bagian sabit yang bersentuhan dengan Sakuma.
KAMU SEDANG MEMBACA
Miscellany [Ensemble Stars]
FanfictionKumpulan cerita pendek. --- Mengandung bxb, boy x boy, bl, homo. Mungkin akan ada bxg atau bahkan gxg, tergantung seperti apa ide yang datang. Yang jelas, saya hanya menulis chara x chara, tidak ada reader atau OC. Ensemble Stars © Happy Elements Fa...