"Aku Tidak Tahu" - Rei x Eichi

147 13 10
                                    

Warning: World War II, Major Character Death, implied/referenced self-harm

———


Eichi pernah bertanya suatu masa. Ketika dunia masih pada tahap awal kegelapan, Jepang masih baru menoda mala, dan peperangan baru mulai belum mencipta bercak permanen. Rei ingat kekasihnya duduk diam saat itu, di bibir engawa, dengan kaki terselimut sandal jerami, mengetuk-ngetuk tanah tanpa senandung irama, sembari mendengarkan kersikan angin membelai pohon sakura hijau. Sebuah siang lain di puncak musim panas.



"Hei, sebenarnya buat apa kita dilahirkan?"



Eichi bukanlah tipe orang yang suka mempertanyakan filosofi, memikirkan kehidupan, atau membatin soal jagat raya juga isinya. Rei ingat, Rei hafal, bahwa cintanya itu lebih senang membicarakan cuaca, stereotip masyarakat, dan kadang-kadang politik kenegaraan. Topik obrolan bersifat nyata dan ada, bukan suatu hal yang manusia tidak sanggup mengerti pun berupa terkaan-terkaan.



Itulah sebabnya Rei terpana dahulu untuk sementara, sampai Eichi akhirnya mengernyit kesal ditinggalkan dalam tanya.



"Aku tidak tahu," aku Rei saat itu, jemari memainkan keliman yukata, "mungkin kita dilahirkan untuk bahagia. Mungkin kita dilahirkan cuma untuk tersiksa. Mungkin kita dilahirkan semata-mata sebagai percobaan para Dewa. Aku tidak tahu."



Eichi menelengkan kepala ke samping, terus, terus, sampai helai-helai pirang menumpahi bahu kanan Rei. Ia lihat mata biru sewarna langit menatap kosong. Penuh pikiran sekaligus hampa di waktu yang sama.



"Tidak lama lagi aku akan mati."



"Jangan bilang begitu."



Bahkan dengan sebutir kalimat tersebut meluncur bebas dari buah bibir sendiri, Rei tidak sanggup percaya.



Tubuh Eichi melemah kian hari berganti. Menjadi ringkih dan kurus tak peduli sebanyak apa makanan yang masuk ke lambung. Laksana debu, pelan-pelan hilang sepenuhnya disapu angin sepoi-sepoi. Kekayaan Eichi tidak bisa membeli kesehatan, Keluarga Tenshouin tak butuh penerus hampir mati. Maka ia ditinggal sendiri sebagai Tuan Muda terasing di desa terpencil Kota Hiroshima. Kesepian, mungkin itulah sebab keinginannya hidup menipis.



Rei tidak cukup sebagai alasan bertahan.



"Sebentar lagi akan ada perang, Rei," bisik Eichi, suaranya melantun bersama nyanyian shishi odoshi, "aku pasti mati."



Rei mengusap kepalanya, hati-hati menyalurkan rasa sayang teramat besar. "Aku tidak akan membiarkanmu."



"Aku bermimpi tentang cahaya sangat terang dan panas luar biasa menyambar kulit." Napas Eichi putus-putus. "Rei, apakah itu tanda aku akan masuk neraka?"



Perasaan melankolis bersemayam. Elegi kehidupan  selalu saja mengambil dan mengambil. Harusnya mereka sadar. Wajar Eichi takut. "Aku tidak tahu. Lebih baik kau mulai sering-sering sembahyang."



Bibir pucat Eichi digigit keras-keras, merah pecah merekah membasahi dagu. Sakit luar lebih baik ketimbang sakit dalam. Tidak jarang Rei menemukan Eichi menggores ujung gunting kepada lengan.



"Untuk apa kita dilahirkan, Rei?"



"Aku tidak tahu."


———



Hiroshima lenyap. Rei berduka sampai rasanya mau gila.



"Eichi, kenapa kita dilahirkan?"



Tidak ada jawaban.



Namun, entah karena alasan apa, Rei dapat membayangkan suara Eichi, penuh kesedihan, membungkus Rei dalam dekapan.



"Aku tidak tahu."

Miscellany [Ensemble Stars]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang