⑤ Cara apapun

603 63 6
                                    

Saat jam pulang sekolah tiba, Marva dan kedua temannya berjalan bersama menuju gerbang sekolah. Keduanya berhenti tepat di luar gerbang.

"Lo mau gw anter gak Va?" tanya Theo
"Atau bareng gw juga bisa," timpal Eza.

"Gak usah, gw bisa naik bus di halte sana ko," tolaknya dengan lembut.

"Yaudah. Gw duluan ya, udah di jemput tuh," pamit Eza yang di angguki kedua temannya. Dia berjalan mendekat ke arah mobilnya dimana sudah ada supir di dalam sana. Eza melambaikan tangan dari dalam mobil.

"Perlu gw anter sampe halte gak? jaraknya kan lumayan Va," tawar Theo lagi.

Marva tersenyum lebar, "Gak usah The, lagian kalo lo nganter gw ke halte kan lawan arah. Gw bisa sendiri ko."

"Serius?"

Marva tersenyum geli, "Iya, udah sana balik. Berasa punya orang tua lagi gw liat sikap khwatir lo yang selalu kaya gini."

"Kan gw khawatir ...," ucapnya pelan dengan nada seakan sedang merengek.

Marva tidak bisa menahan gelakan tawanya, "Apaan sih The? geli serius." Theo terkekeh dengan ucapannya sendiri.

"Yaudah gw balik ya." Theo mengusap puncak kepala Marva, "Dah ... dek kecil," ejeknya.

"Gw bukan anak kecil!" teriaknya. Theo hanya terus tersenyum mengejek seraya berjalan menuju parkiran sekolah.

Marva menggeleng dengan sikap temannya itu, dia memegang kepalanya tadi yang baru saja di usap oleh Theo. "Mentang-mentang gw pendek, di perlakuin kaya anak Tk sama mereka," gerutunya.

Melihat Theo yang sudah menghilang dari pandangan nya pun membuat Marva mulai berjalan menuju halte. Jarak sekolahnya dengan halte memang tidak dekat namun tidak terlalu jauh juga, dia hanya perlu melewati 5 bangunan di samping sekolahnya.

Marva meraih HP nya, dia memakai headset dan mulai menyetel sebuah lagu favorit nya. Selama berjalan matanya terus terfokus ke layar HP nya, dia mengirim pesan ke rekan kerjanya di Caffe karna sebentar lagi sudah masuk jam buka Caffe.

Langkah Marva tiba-tiba terhenti saat ada yang berdiri menghalanginya, dia mendongak melihat siapa yang berdiri di depannya sekarang.

Tiba-tiba orang itu menyeret Marva ke salah satu bangunan kosong disana, dia menarik kasar tangan Marva lalu mendorong tubuh nya ke pillar disana.

"Mau ngapain lagi sih lo, Han?"

"Gara-gara lo gw di skors satu minggu."

"Itu karna kesalahan lo sendiri, kenapa jadi nyalahin gw?"

Dari belakang Rehan terlihat kedua anteknya yang mendekat ke arah mereka. Roni dan Gardan. Mereka berdiri di samping Rehan.

"Pegang nih anak," perintahnya.

"Siap bos," ucap Roni. Mereka berdua mendekat ke arah Marva dan mulai memegangi kedua lengan Marva dengan erat.

"Ck! lepasin gw, lo main kroyokan? pengecut banget lo!" umpatnya.

Bugh!

Satu pukulan mendarat sempurna di perut Marva membuat anak itu meringis kesakitan.

"Lo gak ada takutnya sama gw. Gara-gara lo fasilitas gw dicabut sama bokap."

Marva tersenyum meremehkan, "Bagus dong, itu berarti bokap lo bersikap adil."

"Sialan!" Satu pukulan kembali di arahkan ke perut Marva membuat anak itu merunduk dan mulai terbatuk.

"Gw gak bakal biarin lo lepas kali ini," ancamnya. Rehan melayangkan tinjunya ke muka Marva membuat sudut bibirnya kembali mengeluarkan darah segar.

Only Mine! (On Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang