"Kalian mau apa sebenernya? saya gak ada sangkut paut nya sama kakak saya," teriak anak itu dengan air mata yang sudah mengalir, posisi anak itu sedang bersimpuh di lantai layaknya memohon.
Kondisi rumah nya begitu kacau, semua barang berada di lantai bahkan pintu rumah nya pun terlihat rusak akibat di buka paksa.
"Kami tidak akan bertindak seperti ini jika kamu mau menemui kami," ucap Zen dengan wajah tegas yang memperlihatkan amarah nya. Zen duduk di sofa tepat di hadapan anak itu.
"Harusnya kamu segera membuka kan pintu untuk kami, bukan nya malah sembunyi di dalam," sambungnya."Kalian yang gila!"
"Orang mana yang mau membuka kan pintu bagi perusuh atau orang-orang seperti kalian?!" teriaknya.Zen tiba-tiba memajukan badan nya, dia mencengkram kuat kedua pipi anak itu. "Jaga bicaramu, jangan lancang. Kalau bukan atas belas kasihan bos saya, hari ini mungkin kamu tidak tidur di kasur dan rumah mu ini."
Anak itu semakin menangis, badan nya sudah gemetar ketakutan, bahkan dahinya sudah mengeluarkan keringat dingin. Dia tidak tahu, dosa apa yang sudah dia perbuat sampai-sampai dia harus bertemu dan bermasalah dengan orang-orang seperti ini.
Zen melepas kasar cengkraman nya, beberapa bodyguard yang ada di dalam mulai berjalan keluar saat sebuah mobil hitam baru saja berhenti di depan pintu rumah itu. Zen yang sadar dengan kedatangan bos nya itu pun segera berjalan keluar.
"Dimana dia?" ucap Flair yang sudah berdiri di hadapan Zen.
"Di dalam nyonya."
Flair berjalan masuk, dia melihat kondisi sekeliling rumah yang sangat kacau. Flair terduduk di sofa tempat dimana Zen terakhir kali duduk. Di hadapan nya sudah ada anak laki-laki yang sedang dia selidiki.
Anak ini yang di curigai memiliki hubungan masa lalu dengan nya, hanya karna sebuah kalung yang dia pakai.
"Rey, nama mu kan?" Pertanyaan dari Flair membuat anak itu mengangguk perlahan, meskipun dia masih pada posisi nya yang menunduk takut.
"Saya ingin mengambil kalung yang kamu pakai. Tenang saja, disini saya tidak bermaksud untuk merampas barang milik mu, melainkan bernegosiasi."
Rey tampak menghentikan tangisan nya dan segera mengusap air matanya sendiri, "Maksud anda?" tanya nya dengan tatapan serius ke arah wanita di depan nya sekarang.
"Saya akan membantu melunasi semua hutang-hutang kamu atau kakak mu itu, saya juga akan membiayai sekolah mu hingga lulus sarjana dan juga memastikan hidup mu nyaman tanpa merasa kekurangan sedikit pun."
Perlahan Flair memajukan badan nya, menatap anak itu dengan tatapan tak kalah serius, "Asalkan, kamu mau menyerahkan kalung itu pada saya," sambungnya.
Mendengar itu membuat Rey langsung menunduk menatap ke arah kalung yang kini mulai ia pegang. "Gak!"
Penolakan itu berhasil membuat Flair terkejut.
"Saya gak akan nyerahin kalung ini ke siapapun termasuk anda," tolaknya. Rey segera menggenggam liontin kalungnya itu dengan erat.
"Kalung ini adalah peninggalan dari bunda saya dan hanya ini harta satu-satunya yang di berikan oleh bunda saya. Tidak akan saya berikan ke siapapun, apa lagi anda, orang yang sama sekali saya tidak kenal."
Flair menampakkan senyum miring nya, dia mulai menyandarkan punggungnya di kursi itu, kedua tangan Flair mulai terlipat di dadanya. "Oke, tapi saya butuh bukti kalau kalung itu benar-benar milik kamu."
"Bukti? kenapa saya harus memberikan bukti kepemilikan kalung ini? sudah jelas ini milik saya dan untuk apa anda tertarik dengan kalung saya?"
Tiba-tiba Flair memajukan badan nya seperti apa yang di lakukan Zen tadi, dia juga mencengkram kedua pipi Rey. "Dengar! lakukan saja perintah saya sebelum saya menggunakan cara yang kasar," ucapnya penuh penekanan dengan tatapan tajam nya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Only Mine! (On Going)
Ficção Adolescente⦅Slow update⦆ Marva Hartigan adalah seorang murid SMA yang duduk di bangku kelas 3. Marva menjadi yatim piatu saat dirinya berusia 12 tahun, kedua orang tuanya meninggal akibat kecelakaan saat hendak mengantarnya ke sekolah. Demi menghidupi kehidup...