Pagi harinya, Marva berjalan menuju meja makan dengan pakaian seragam yang sudah lengkap, disana sudah ada Flair yang tampak tenang menikmati sarapan nya seraya fokus berkutik dengan laptopnya.
"Pagi Kak," sapa Marva yang beranjak duduk di salah satu kursi kosong di sebelah Flair.
Namun, tidak ada jawaban dari perempuan itu. Sama hal nya saat tadi malam, dimana keduanya tidak saling mengobrol setelah adanya perdebatan.
"Ini sarapan dan susunya den," ucap salah satu pelayanan yang membuyarkan lamunan Marva. Dia meletakan sarapan dan susu itu di hadapan Marva.
"Makasih bi," ucap Marva di akhiri senyum lebarnya. Lebih tepatnya senyum palsunya.
Dia mulai menikmati sarapan nya dengan sesekali melirik ke arah Flair, keduanya sama sekali tidak mengobrol pagi ini. Apakah Flair benar-benar semarah itu? atau dia sudah cukup lelah menghadapi sikap Marva yang selalu membangkang?
"Permisi den, mobil sudah siap. Mari saya antar ke sekolah," ucap Zen yang sudah berdiri tak jauh dari meja makan. Marva memberi anggukan sebagai jawaban.
Dia menghabiskan susu di gelasnya dan mulai berdiri dari posisi duduknya. Marva menatap ke arah Flair untuk beberapa saat, Flair bahkan tidak menoleh sedikit pun ke arah nya.
"Ava berangkat sekolah dulu ya Kak," pamitnya.
"Tunggu." Suara Flair seketika langsung membuat Marva mengurungkan niatnya, Flair mengubah arah pandangnya ke arah Marva. Tatapan nya begitu dingin dengan wajah datar tanpa ekspresi sedikit pun.
"Tinggalkan HP mu disini."
Marva mengerutkan daging dengan perintah yang baru saja di ucapkan, "Maksud nya Kak?"
"Lakukan saja perintah saya," ulangnya dengan menatap Marva dalam. Anak itu segera mengeluarkan ponselnya dan meletakkan nya di atas meja.
Flair langsung meraih ponsel Marva dan menaruhnya tak jauh dari laptopnya. Marva hanya diam dengan bingung dan penasaran.
"Mulai sekarang kamu tidak bisa menggunakan ponsel mu tanpa izin dari saya, untuk berangkat dan pulang sekolah kamu akan terus di antar oleh Zen," ucap Flair.
"Dan, satu lagi. Kamu akan berada dalam pengawasan yang ketat jadi tidak akan ada peluang untuk kamu kabur atau bersikap membangkang lagi pada saya," sambungnya.
Kali ini Marva tidak membantah, dia mengetahui kesalahan nya semalam sangat fatal. Dia hanya menganggukkan kepalanya perlahan sebelum akhirnya kembali melanjutkan langkahnya keluar dari rumah.
Di tengah perjalanan, Marva merasa kepalanya sedikit pusing. Apakah dia masih merasa mabuk akibat semalam?
"Pak Zen, bisakah mampir ke apotek lebih dulu?"
Zen yang duduk di depan langsung menoleh ke belakang. "Apotek? apa anda sakit?"
"Tidak, saya hanya ingin membeli pil penghilang rasa mabuk."
"Baiklah den." Zen menepuk pundak supir seakan menandakan bahwa dia menyetujui permintaan Marva.
Tak lama, mobil mereka akhirnya berhenti di depan sebuah apotek. Zen kembali menoleh ke belakang, "Obat apa saja yang Anda butuhkan den?"
"Bisa gak kalo Ava sendiri yang beli? Ava mau beli vitamin juga soalnya," pintanya dengan sedikit ragu. Entahlah, akibat kejadian semalam dia merasa sungkan untuk melakukan atau meminta banyak hal.
Zen dan supir saling tatap sejenak sebelum akhirnya Zen menyodorkan sebuah card, "Baiklah den, ini kartu untuk pembayaran. Pin nya sudah saya atur menjadi tanggal lahir anda."
KAMU SEDANG MEMBACA
Only Mine! (On Going)
Teen Fiction⦅Slow update⦆ Marva Hartigan adalah seorang murid SMA yang duduk di bangku kelas 3. Marva menjadi yatim piatu saat dirinya berusia 12 tahun, kedua orang tuanya meninggal akibat kecelakaan saat hendak mengantarnya ke sekolah. Demi menghidupi kehidup...