3. Esa Julian Itu Siapa?

33 10 0
                                    

Terakhir kali ingatan Jeha mengatakan bahwa genre hidupnya masih komedi atau mungkin drama, tapi malam ini sepertinya genre hidup Jeha mendadak berubah menjadi horor bercampur thriller.

Katakanlah ia berlebihan, tapi rasanya waktu yang ia lewati jadi berjalan jauh lebih lambat, dan jantungnya berpacu dengan kecepatan yang tidak masuk akal. Ingin rasanya Jeha pingsan, tapi entah kenapa dia malah tidak bisa pingsan. Padahal semua akan jauh lebih baik jika dalam keadaan yang sangat mendesak seperti ini kesadarannya hilang dan dirinya tidak perlu menyaksikan seluruh peristiwa mengerikan ini.

Sosok yang sejak tadi menjadi penyebab ketakutan Jeha pun semakin lama semakin mendekat, tapi sialnya kedua kaki gadis itu seperti terpaku di sana begitu saja. Saking takutnya bahkan Jeha sampai tidak mampu mengeluarkan suara sedikit pun. Di bawah bayangan pepohonan, sosok itu tidak terlihat begitu jelas rupanya. Jeha masih tidak yakin apakah dia manusia sungguhan ataukah setan. Yang jelas, bertemu dengan salah satunya pada pukul setengah dua belas malam, hanya seorang diri saja, tentu tetap terasa sama menakutkannya bagi Jeha.

Bahu gadis itu semakin bergetar hebat, tapi ia masih tetap tidak mampu menggerakkan kakinya. Seumur hidup, ini kali pertama Jeha mengalami sesuatu yang sangat menakutkan, yang membuatnya sampai tidak bisa bergerak seperti rasanya mau mati di tempat. Bahkan pengalaman Jeha saat tidak sengaja melihat hantu di pohon Jeruk Purut belakang rumah sewaktu SMP dulu masih kalah seram dengan ini. Maka yang bisa dilakukan Jeha saat ini hanyalah merapalkan segala jenis doa yang bisa diingatnya, sambil menutup kedua matanya dengan telapak tangan. Jeha sudah pasrah dengan apa pun yang akan terjadi.

Malam ini begitu sunyi, bahkan suara jangkrik pun tidak terdengar. Satu-satunya suara yang bisa ditangkap dengan jelas oleh pendengaran Jeha adalah suara langkah kaki, yang entah kenapa jadi terdengar mengerikan di kesunyian malam. Kalau boleh dilebih-lebihkan, kini suara langkah kaki itu terdengar seperti suara kaki pembunuh atau hantu yang berjalan dengan di seret-seret (walaupun katanya hantu tidak menapak pada tanah).

Meskipun dengan kondisi mata tertutup telapak tangan, Jeha bisa merasakan dengan jelas bahwa sosok itu sepertinya sudah berada tepat di depannya. Dia tidak tahu terlihat seberapa menyedihkan dan lemahnya dia di hadapan sosok ini. Otaknya sibuk memikirkan kemungkinan terburuknya, bahwa bisa jadi besok pagi dia akan masuk di berita koran lokal atau siaran televisi, lengkap dengan headline-nya yang tertuliskan besar-besar: "Seorang Mahasiswi Ditemukan Tewas di Gang Sempit. Penyebabnya Masih Belum Diketahui". Jeha tidak tahu, apakah malam ini ia akan berakhir mati karena dibunuh atau mati karena ketakutan, tapi yang jelas keduanya sama sekali tidak keren.

Semuanya yang terjadi sangat di luar dugaan. Alih-alih pukulan atau cekikan, justru sentuhan lembut dari kedua tangan asing itu yang menyapa bahunya pertama kali. Membuat ketegangannya sedikit berkurang.

"Kamu nggak apa-apa?" tanyanya hati-hati.

Sebelumnya, Jeha sudah membayangkan bahwa dia akan mendengar suara berat dan jahat seperti yang muncul dalam film-film, suara yang akan tertawa keras-keras saat menyaksikan korbannya tak berdaya di hadapannya. Tapi nyatanya suara ini justru sangat sopan masuk ke dalam indera pendengaran Jeha. Suara yang entah kenapa terdengar cukup familiar baginya.

Takut-takut Jeha menurunkan kedua telapak tangannya. Matanya yang semula terpejam langsung terbuka sedikit demi sedikit dan mendapati kedua bola mata indah di depannya itu sedang menatapnya dengan tatapan khawatir.

"Lo siapa?" Kali ini sepertinya otot refleks Jeha sudah kembali bekerja dengan baik, sebab dia sudah bisa mundur satu langkah dengan gerak yang cepat.

"Oh, maaf," ucap laki-laki itu sambil menurunkan kedua tangannya dari bahu Jeha.

Dari analisis cepatnya, Jeha yakin seratus persen kalau sosok di depannya ini, yang tadi sempat membuatnya ketakutan setengah mati itu bukanlah seorang pembunuh apalagi setan seperti apa yang ia pikirkan. Kakinya menapak pada tanah dan tidak terlihat satu pun senjata tajam yang dibawanya saat ini. Dia hanya terlihat seperti seorang laki-laki biasa. Mungkin mahasiswa penghuni kos putra yang baru pulang nongkrong, atau bisa jadi hanya warga setempat.

When You Come Around MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang