14. We're Friends Now

9 1 0
                                    

Bukan Jeha namanya kalau tidak keras kepala dan serba rempong. Meskipun mereka sudah memeriksanya berkali-kali, bertanya ke sana kemari, kantong berisi buku itu tetap tidak ditemukan keberadaannya. Sepertinya dugaan Esa memang benar, bahwa bisa jadi buku-buku itu telah diambil oleh orang-orang yang berada di kerumunan pagi tadi. Lagi pula siapa yang tidak tertarik saat melihat buku-buku baru yang bahkan masih berplastik berserakan di lantai tanpa pemilik seperti itu?

"Kita beli yang baru aja, ya? Saya gantiin semuanya," bujuk Esa sambil melirik ke kanan dan kiri.

Keputusannya untuk datang ke tempat yang sama saat kerusuhan pagi tadi berlangsung hanya berdua saja dengan Jeha ujung-ujungnya membuat dia panik sendiri. Meskipun sudah menyamarkan penampilan semaksimal mungkin, tapi ia tetap khawatir kalau akan ada yang mengenalinya. Akan tetapi membawa bodyguard juga bukan pilihan yang baik karena justru akan mengundang perhatian lebih banyak orang lagi.

Jeha mengabaikan Esa untuk kesekian kalinya. Raut wajahnya yang sejak tadi sudah kusut jadi bertambah kusut. Sejak awal dia juga tahu bahwa kemungkinan besar buku-bukunya itu pasti sudah diambil oleh orang, tapi tetap bersikeras untuk memeriksanya. Ia terduduk dengan lemas, seluruh uang yang sudah dihabiskan untuk membeli buku-buku itu kini sudah leyap tak bersisa.

"Gue tuh sial banget, ya?" gumamnya sambil menatap ujung-ujung sepatunya. "Udahlah nggak kebagian tiket konsernya Genta, dahi kejedot tembok, sekarang malah buku-buku yang gue beli pakai uang tiket konser itu juga ikutan hilang."

Esa bingung harus merespons seperti apa. Pasalnya dia tahu betul bahwa apa yang diucapkan dan dilakukannya akan selalu terlihat salah di mata Jeha. Maka kini Esa lebih memilih untuk diam sambil terus mendengarkan keluh kesah gadis itu. Esa akan memberikan Jeha ruang lebih banyak untuk mengeluarkan emosinya.

"Kenapa sih nggak ada satu pun dari rencana gue yang berjalan dengan mulus? Kenapa semua perjuangan gue terasa sia-sia begini?"

Esa masih belum bergerak sampai Jeha berhenti mengeluh sepuluh menit kemudian, dan menelungkupkan kepalanya di atas lutut sambil kedua tangannya memeluk erat kakinya. Laki-laki itu berjongkok di depan Jeha dan menyentuh lembut lengannya, membuat gadis baristanya langsung mendongakkan kepala.

"Udah lega?" tanyanya dengan lembut. Jeha masih diam membisu. "Sekarang kamu maunya gimana? Mau beli buku-bukunya lagi? Ayo, saya temenin, saya ganti semuanya," ajaknya dengan sabar.

Di antara sekian banyak orang yang pernah ditemuinya di dunia ini, selain orangtuanya, hanya Cakra seorang yang mampu menghadapi ketidakjelasan sikap Jeha saat emosinya sedang memburuk. Semua orang selalu beranggapan bahwa Jeha adalah gadis yang sangat menjengkelkan dan gemar membesar-besarkan masalah sepele. Jeha tahu sikapnya memang menyebalkan, dan bukannya tak mau berubah—ia sudah berusaha—tapi usahanya tak pernah dilihat dengan baik. Namun, ketika mata sembab Jeha bertatapan dengan manik teduh milik cowok yang selalu dianggapnya menyebalkan ini, ia baru tersadar bahwa laki-laki asing yang bahkan baru dikenalnya akhir-akhir ini mampu menghadapi sifat kekanakannya sejak pertemuan pertama mereka.

Melihat gadis itu masih terdiam, Esa langsung duduk bersila di depannya. Ia duduk tanpa alas di atas lantai mal yang dingin. Posisi yang seumur hidup tak pernah ia lakukan sekali pun.

"Saya tahu buku-buku itu dibelinya pakai uang yang seharusnya kamu pakai buat beli tiket konsernya Genta. Kalau saya ganti pun rasa berharganya pasti udah nggak akan sama lagi," ucapnya dengan hati-hati. "Tapi, ini semua udah terlanjur terjadi. Mungkin buku-buku itu, atau bahkan tiket konser dan kejadian kamu kejedot tadi, itu udah masuk jadi bagian jalan hidup kamu. Jadi, nggak ada hubungannya dengan kesialan atau segala macamnya itu. Dan yang perlu kamu lakuin cuma satu, yaitu menerima." Karena Jeha masih terlihat belum akan menjawab, maka Esa melanjutkan, "Buku-buku kamu hilang, mungkin memang bukan rezeki kamu. Kamu nggak kebagian tiket, itu mungkin juga juga bukan rezeki kamu. Dan kalau itu rezeki kamu, tenang aja, pasti bakal balik dan nggak akan tertukar kok."

When You Come Around MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang