"Lo yakin dia bakal dateng lagi?"
Jeha yang masih merapikan kertasnya yang berserakan di atas meja hanya menjawab sekenanya, "Gue nggak yakin, sih. Untuk ukuran publik figur kayak dia, segelas kopi di kafe kecil kayak gini mah pasti nggak ada harganya, Da. Jadi gue nggak yakin dia bakal tertarik sama tawaran gue kemarin." Mada mengangguk-angguk setuju. "Anggukan dia waktu itu juga paling-paling biar gue lega terus cepet-cepet masuk ke kosan aja. Artis-artis kayak dia kan pasti udah terlatih buat nyenengin hati fans-nya. Lagian gue itu siapa coba? Cuma satu dari sekian banyak orang yang nggak sengaja ketemu dia di jalan, alias anggak penting."
Meskipun sangat addicted dengan selebriti, untungnya Jeha masih bisa berpikir dengan agak waras. Lagi-lagi Mada hanya mengangguk-angguk sebagai jawaban.
"Cakra mana, sih? Udah mau jam delapan kok nggak dateng-dateng. Nggak kelar ini nanti tugasnya," ujarnya, langsung beralih ke topik lain.
"Eh, iya, ya, udah lama banget loh ini. Masa dari tadi nggak sampai-sampai." Jeha langsung memeriksa jam di pergelangan tangannya. Sudah hampir tiga jam sejak terakhir kali mereka bertemu Cakra di kampus.
Mereka bertiga langsung berpisah setelah selesai kelas terakhir sore tadi. Jeha buru-buru ke kafe untuk bekerja—diikuti oleh Mada yang katanya mau menumpang mengerjakan tugas kelompoknya dengan Cakra. Sedangkan Cakra katanya mau mampir ke laundry dulu untuk mengantarkan cuciannya, sebelum nantinya menyusul mereka ke kafe.
"Cakra udah bales?"
Mada langsung menggeleng. "Chat gue dari dua jam yang lalu aja masih dianggurin, Je. Ke mana sih tuh bocah? Masa iya ke laundry doang sampai berjam-jam."
"Coba lo telepon lagi, Da. Nggak biasanya dia kayak gini."
Mada mengangguk, lalu mencoba menghubungi Cakra sekali lagi. Tiga kali panggilan dan tiga-tiganya juga masih tidak terhubung. Cakra tidak pernah seperti ini sebelumnya. Setiap terlambat atau bahkan membatalkan janji, dia selalu berusaha untuk memberikan kabar kepada yang lain. Hal ini jelas menimbulkan kekhawatiran Jeha dan Mada.
"Atau coba tanya Adora aja, Da," cetus Jeha. "Laundry langganan Cakra masih yang di sebelah kosan Adora itu, kan? Jam segini harusnya Adora udah ada di kosan, sih."
Mada langsung menyetujui usulan Jeha, lalu buru-buru menghubungi Adora. Gadis yang terkenal fast respons itu langsung mengangkat panggilan Mada pada dering pertama. Jeha yang ikut mendengarkan percakapan keduanya bisa dengan cepat mengambil kesimpulan bahwa Adora yang saat ini sedang berada di balkon lantai dua kosannya tidak melihat keberadaan Cakra di laundry langganannya tersebut.
"Sebentar, katanya Adora mau turun. Mau ditanyain ke ibu yang punya laundry, tadi Cakra udah ke sana apa belum," ujar Mada tanpa mematikan sambungan teleponnya dengan Adora. Jeha mengangguk.
Selang beberapa menit, Adora kembali memberikan kabar.
"Ibunya bilang, Cakra dari tadi belum sampai sini, Da. Katanya tadi emang sempet nge-chat kalau dia mau nganter cucian jam lima, tapi sampai sekarang, sampai ibunya udah mau tutup, dia belum dateng-dateng juga."
Jeha yang ikut mendengarkan penuturan Adora—karena panggilan teleponnya di-loudspeaker oleh Mada—langsung terkena serangan panik untuk yang kedua kalinya.
"Lo udah coba tanya anak kosan? Siapa tahu dia ketiduran," lanjut gadis di seberang sana.
Mada refleks menggeleng meskipun Adora jelas tidak bisa melihatnya. "Gue udah nanya Erik, tapi katanya, Cakra udah pergi dari tadi."
KAMU SEDANG MEMBACA
When You Come Around Me
RomanceJeha hanyalah gadis biasa seperti pada umumnya, yang juga suka menghayal memiliki pasangan hampir sempurna seperti idolanya. Namun, bukannya bertemu dengan sosok sang idola Gentala Haidar seperti yang ada dalam khayalannya, ia malah terjerat dalam k...