Dua pekan berlalu sejak kejadian Cakra jatuh dari motor, dan semuanya masih sama seperti biasanya. Cakra masih berangkat ke kampus, juga masih suka ikut Jeha ke kafe, dan yang jelas dia juga masih tetap sama usil dan julidnya meskipun dengan kondisi tangan kanan yang harus digendong.
Seperti di kafe malam ini. Jeha dan Mada yang kebetulan dapat jatah satu kelompok untuk tugas paper dari Pak Susila, sedang sibuk mengerjakannya di meja favorit mereka bertiga, dan Cakra yang menganggur hanya memperhatikan Jeha setelah lelah menjahili gadis itu. Tidak seperti mereka berdua, paper-nya dengan Erik sudah selesai sejak siang tadi. Cakra menopang dagunya dengan tangan kirinya, sedang tangan kanannya masih rapi di dalam arm sling-nya. Matanya sibuk memperhatikan seluruh gerak-gerik gadis manis ini.
Jeha duduk tegap dengan laptop yang menyala dan sejumlah jurnal di hadapannya. Tangannya sibuk mengetikkan kata demi kata, sedangkan matanya yang bulat beriris kecoklatan itu terus bergerak-gerak mengikuti pergerakan tangannya. Bulu matanya yang lentik tampak indah saat dirinya berkali-kali mengucek mata karena lelah menatap layar laptop, atau pipinya yang tampak chubby kemerahan, dan mulutnya yang mengerut lucu karena terlalu fokus menulis. Ditambah dengan rambut hitam legam bergelombangnya yang tampak memesona. Hanya dengan begitu saja, Jeha yang biasanya super bawel jadi terlihat sangat cantik dan menggemaskan di mata Cakra. Secara tidak sadar, hal itu pun membuat semburat senyuman di wajah laki-laki itu terbit. Entah kenapa jantungnya pun ikut berdebar tidak karuan.
Selama ini tak pernah ada yang menyadari perasaan Cakra kepada Jeha. Alasan Cakra tidak berani mengungkapkan perasaannya sebenarnya sangatlah klise: dia tidak mau persahabatannya dengan Jeha jadi rusak. Karena tanpa menyatakannya pun, Cakra sudah tahu bahwa perasaannya selama ini hanya bertepuk sebelah tangan. Jeha tidak pernah benar-benar menganggap Cakra sebagai seorang laki-laki. Yang ada di mata Jeha, Cakra itu tak lebih hanyalah seorang sahabat, atau mirisnya justru sudah dianggap seperti kakaknya sendiri. Maka sangat tidak mungkin bagi Jeha untuk menjalin hubungan asmara dengan Cakra. Alih-alih menyatakannya, Cakra lebih memilih untuk memendamnya sendirian. Biar dirinya dan Tuhan saja yang tahu betapa dia sangat menyayangi gadis ini bahkan lebih dari sekadar kata sahabat atau adik perempuan.
Lagi pula, sejak awal seharusnya Cakra sudah tahu apa konsekuensi yang harus ditanggung saat berani menyukai sahabatnya sendiri. Kalau anak muda zaman sekarang sih lebih suka menyebutnya dengan istilah friendzone. Meski istilah sekeren itu tetap tidak bisa melenyapkan fakta bahwa perasaannya tidak bisa berbalas dan melewati batas pertemanan yang ada.
Sudahlah, jangan diberi tahu. Cakra sudah kenyang soal itu. Setidaknya, meskipun dia tidak berhasil memiliki Jeha sebagai seorang kekasih, Cakra sudah cukup bahagia memilikinya sebagai seorang sahabat. Walaupun sepertinya akan jauh lebih indah dan menyenangkan lagi kalau membayangkan dirinya bisa bersanding dengan Jeha di—
"Cak? Cakra? Woi!"
Lamunan Cakra harus terputus saat lambaian tangan dan teriakan Jeha menggema di telinganya. Laki-laki itu langsung terkesiap dan menggelengkan kepalanya. "E-eh, iya?"
"Lo ngelamunin apa deh sampai senyum-senyum sendiri gitu? Dipanggil-panggil nggak nyaut."
"Ngelamunin gebetannya tuh pasti, Je," sahut Mada terkekeh.
"Wihii.. siapaaa tuuh?" goda Jeha.
Cakra mencebik. "Ngawur kalau ngomong. Gue nggak punya."
"Oke, lupakan, itu nggak penting juga sih sekarang," kata Jeha. "Tadi Pak Susila bilang paper-nya minimal berapa lembar, Cak?"
"Sepuluh."
"Buset, masih kurang banyak kita, Da," ujarnya panik.
Mada pun ikut menjambak rambutnya dengan frustasi saat mendengar jawaban Cakra. Paper mereka baru jalan sekitar empat lembar, masih sangat jauh dari batas minimal pengerjaan. Cakra terkekeh. Raut wajah panik gadis ini lagi-lagi terlihat sangat menggemaskan.
KAMU SEDANG MEMBACA
When You Come Around Me
RomanceJeha hanyalah gadis biasa seperti pada umumnya, yang juga suka menghayal memiliki pasangan hampir sempurna seperti idolanya. Namun, bukannya bertemu dengan sosok sang idola Gentala Haidar seperti yang ada dalam khayalannya, ia malah terjerat dalam k...