6. Penerimaan Maaf Seharga Tiket Backstage

29 6 0
                                    

"LO?!"

Kalau saja sedang tidak berada dalam situasi yang bisa disebut "Siaga Satu", Cakra sungguh ingin mengagumi betapa lucunya mata bulat dan wajah Jeha yang memerah karena sedang marah-marah. Namun, waktunya akan lebih baik kalau digunakan untuk menahan tangan gadis itu agar tidak benar-benar menonjok wajah tampan Esa Julian yang kini tengah berdiri di depannya.

Ya, ternyata orang yang menyebabkan Cakra sampai harus berada di rumah sakit ini adalah cowok selebriti itu.

Jeha sampai tak tahu dia datang dari mana karena pria itu tiba-tiba saja muncul di tengah-tengah mereka. Untuk ukuran seorang artis, ini terlihat sangat aneh. Sebab bodyguard, atau mungkin manajer—atau apalah itu istilahnya, Jeha tidak tahu—memilih untuk menunggu di tempat yang agak jauh dari mereka. Kini pria yang sempat menjadi "trending topic" di antara ketiganya itu sudah berdiri takzim di tengah-tengah mereka.

"LO YANG NABRAK CAKRA?!" pekik Jeha tidak terima.

Mada yang keadaannya sehat wal'afiat pun cukup kewalahan mengatasi Jeha, apalagi Cakra dengan kondisi satu tangannya yang harus digendong dan badannya yang masih terasa nyeri-nyeri.

Kalau saja laki-laki ini bukan pelaku yang menabrak sahabatnya, mungkin saat ini Jeha akan sibuk menahan diri agar tak gugup karena berdiri di depan seorang selebriti tampan seperti Esa Julian. Pria itu terlihat sangat rupawan dengan segala yang melekat di badannya—yang sangat diyakini Jeha bahwa harga setiap helai pakaiannya mungkin setara (atau bahkan lebih) dengan jumlah uang kos tahunan Jeha. Namun, semua itu sekarang tidak penting. Yang terpancar jelas di mata Jeha hanyalah sorot kebencian. Orang yang sudah menyebabkan tangan Cakra retak dan badannya jadi luka-luka sedang berdiri di depannya, lengkap dengan senyuman sok manisnya seolah-olah dia tidak pernah melakukan apa-apa. Jeha benci sekali melihatnya.

Esa yang terkejut dengan respons Jeha pun refleks memundurkan badannya. Merasa artisnya terancam, satu orang yang sejak tadi menemani Esa pun buru-buru mendekat dan ikut menghalau tangan Jeha yang masih berusaha memukul Esa.

"Tenang, Je. Udah, udah. Gue kan udah bilang kalau gue nggak apa-apa," ujar Cakra mencoba menenangkan Jeha yang terlampau emosi, tapi Jeha tak peduli.

Katakanlah dia terlalu berlebihan, tapi siapa sih yang akan bersikap biasa saja kalau sahabatnya yang selama ini bahkan rela mempertaruhkan apa pun untuk menjaganya, yang akan maju paling depan kalau terjadi sesuatu dengannya, dengan seenak jidat malah ditabrak orang lain sampai tangannya retak dan mukanya bonyok seperti ini? Iya, Jeha tahu bahwa si Esa Julian ini tentunya tidak sengaja, tapi maaf, hati Jeha tidak terbuat dari berlian. Dia tidak akan semudah itu memaafkannya, apalagi kalau itu sudah menyangkut orang-orang tersayangnya.

"LO PASTI YANG NYETIRIN DIA, KAN?" tunjuk Jeha tepat di depan wajah laki-laki berbadan kekar yang menemani Esa. "PUNYA MATA, NGGAK? BISA NYETIR NGGAK SIH, HAH?"

"Udah, Je. Ini rumah sakit, lo jangan buat keributan," cegah Mada.

Jeha tak pernah semarah seperti ini sebelumnya. Meskipun sudah tidak memberontak seperti tadi, tapi suaranya yang lantang dan matanya yang menatap dengan tajam kepada dua orang asing di depannya ini mampu membuat siapa pun yang meihatnya bergidik ngeri.

"Saya minta maaf sekali lagi. Ini bukan salah bodyguard saya. Beliau sama sekali nggak salah. Saya sendiri yang menyetir, jadi saya yang salah. Saya benar-benar nggak bermaksud bikin teman kamu jadi terluka. Saya benar-benar minta maaf," ujar Esa dengan tenang, kontras sekali dengan Jeha yang sudah emosi sejak awal.

"Lo enak banget ya tinggal bilang maaf-maaf doang. Lihat, tuh, tangan temen gue retak gara-gara lo!"

"Je... udah, gue nggak pa-pa..."

When You Come Around MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang