Bocil kematian

148 10 0
                                    

Kalau ditanya capek, iya! Capek banget. Pengen gitu rasanya dapet uang kaget, ngabisin uang seratus juta dalam waktu satu bulan, aku bisa kok ngabisinnya, serius bisa!
~DTSI~

"Jangan bercanda Dev!"

"Emang siapa yang bilang aku serius?"

"Ish, nyebelin banget si jadi manusia." ketus Dinda merasa dikerjai.

"Kamu yang nyebelin. Aku nungguin kamu dari pulang kerja eh gak nongol-nongol."

Netra Dinda melebar, ia menepuk jidatnya sedikit keras. "Astaghfirullah, Dev sumpah aku lupa. Maafinnn!" ucap Dinda dengan wajah tak enak. Ia merasa bersalah sekarang. Kenapa dirinya bisa lupa jika hari ini ia ada janji dengan pria itu.

"Hilih, kebiasaan." Devan menyentil pelan kening Dinda, "Yaudah, sekarang aja kita berangkatnya. Gak papa lah gak usah ganti baju sama dandan, udah cantik ini."

"Ouh jelas, kembaran Katty Perry gak mungkin gak cantik." ujar Dinda dengan percaya dirinya.

"Dih, PD parah." Devan menatap sebal pada wanita masa lalunya itu. "Cuslah berangkat, keburu kemaleman."

"Oke gass."

Saat Dinda akan membereskan laptop di mejanya, Kevin menahan tangannya. Ia menatap Dinda dengan wajah memelas dan berkaca-kaca.

"Jadi Bunda gak mau nemenin Kevin makan? Bunda bohong ya? Bunda gak sayang kan sama Kevin?"

"Loh, loh loh. Gak gitu sayang, kok Kevin ngomongnya gitu? Bunda salah ya?" 

Tanpa banyak berpikir, Kevin langsung mengangguk singkat. "Bunda mau ninggalin Kevin sama Ayah, Bunda mau pergi kan sama Paman itu." tunjuk Kevin pada Devan dengan wajah ditekuk. Ia menatap tak suka pada Devan.

"Kurang ajar gue dikatain Paman." gumam Devan melirik sinis pada Kevin.

Dinda beranjak menuju tempat duduk Kevin, ia memeluk anak itu dengan penuh sayang, Kevin langsung menyembunyikan wajahnya pada perut rata Dinda. Anak itu memeluk erat Dinda, seakan meminta Dinda untuk tidak pergi meninggalkannya.

"Bunda udah janji sama Kak Devan sayang, kan masih ada besok. Bunda janji deh, besok Bunda temenin Kevin makan." dalam pelukan Kevin menggeleng, ia kembali mengeratkan pelukannya membuat Dinda menatap Morgan meminta bantuan.

Bukannya dapat bantuan, wanita itu malah mendapat rasa kesal. Bagaimana tidak kesal, Bukannya membantu, laki-laki berbahu lebar itu malah mengangkat bahunya dengan acuh. Tidak perduli dengan tangis anaknya yang sudah semakin mengencang.

"Dasar manusia gak punya perasaan!" hardik Dinda tanpa suara. Ia menatap nyalang pada Morgan yang malah dengan santainya melipat kedua tangannya di dada dengan bersandar pada sandaran kursi.

"Udah dong nangisnya, Bunda kan cuma pergi sebentar. Bunda gak enak udah janji, mana tadi Bunda lupa lagi. Udah ya, masa kesayangan Bunda manja ...."

"Jadi menulut Bunda, Kevin manja?" Kevin mendongakkan kepalanya memotong ucapan Dinda. Bisa dilihat matanya yang sudah memerah dan sisa-sisa air mata yang masih ada di kedua sudut matanya.

"Bukan gitu maksud Bunda sayang,"

"Telus? Maksud Bunda Kevin nakal?" lagi-lagi Kevin memotong pembicaraan Dinda.

Duda Tampan Suami Idaman Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang