BAB 1

535 86 0
                                    

CATATAN:

Setiap bab mungkin kurang dari 1000 kata, jadi mohon untuk tidak menyinggung sang penulis dengan berkomentar bahwa babnya kurang panjang atau terlalu pendek. Jika kalian menyukai ini dan memutuskan untuk mengikuti STRICTLY, itu berarti kalian sudah menerima risiko tak tertulis, sebab ketagihan dan ketidakpuasan Anda, bukan tanggung jawab saya.

■□■□■□■□■

Tidak ingat apa yang terjadi, tapi terakhir sebelum tidak sadarkan diri, seseorang berbicara dan bertanya alamat kepadanya. Ia hanya menanggapi seadanya, lalu kembali berjalan menuju rumahnya setelah berbelanja bahan makanan. Kadang-kadang, dia berhenti untuk tertawa saat membaca pesan grup, teman-temannya merencanakan reuni tepat musim dingin tiba.

"Apa kamu datang?"

"Iya, aku datang, tapi aku lihat jadwal dulu ya, selama musim dingin."

Sebagai anak yatim piatu, dia tidak pernah khawatir untuk pergi ke mana pun, tetapi Hinata Hyuuga, masih punya kerabat yang dengan baik merawatnya sejak balita, saat ibu dan ayahnya meninggal karena kecelakaan, dari yang dia dengar, orangtuanya sempat dirawat selama dua bulan karena koma, sebelum mati otak. Kemudian mendonasikan organ-organ yang masih sehat untuk keluarga yang melakukan transplantasi.

Seperti orangtuanya, Hinata juga merawat dengan baik tubuhnya agar dapat menolong seseorang yang membutuhkan organ setelah dinyatakan meninggal karena mati otak nantinya. Tanpa sadar, dia merasa itu menjadi tugas mulia. 

Semuanya gelap, aku tidak bisa melihat. 

Dia merasakan kain penutup itu terlalu kencang menutupi matanya. Sisi kepalanya sakit, kelopaknya bahkan tak mampu digerakkan. Kedua tangannya diikat di atas kepalanya. Kakinya pun bernasib sama. Ia merasakan dingin seolah tidak mengenakan apa-apa. Kalau saja mulutnya tidak ditutupi juga dengan sebuah selotip yang sangat rekat, dia mungkin bisa berteriak.

"Kamu sudah bangun?" seorang pria berseru tepat di sebelahnya. Hinata mengenalinya. "Apa kabar? Apa kamu masih ingat aku? Sudah 4 tahun kita tidak bertemu, aku malah mendengar kabar kurang mengenakan. Apa kamu tidak tahu, kalau aku tidak pernah bisa tidur nyenyak karena memikirkanmu?"

Naruto Uzumaki.

Dia merasakan pria itu duduk di pinggir kasur, menyebabkan ranjang berderit. Bunyinya sangat mengerikan, karena setiap suara derit itu terdengar menggema, Hinata dapat membayangkan ruangan ini tidak terlalu banyak barang, hanya ada dirinya di sini dan mungkin saja ranjang yang sedang digunakannya untuk tidur.

"Bertahun-tahun aku mencarimu. Setelah kita memutuskan hubungan tanpa status itu, kamu kelihatannya lebih bahagia. Apa selama bersamaku, kamu tidak mendapatkan kebahagiaan sedikit pun? Aku sudah memberikan semuanya, aku yakin tidak ada laki-laki di dunia ini yang lebih baik dalam memanjakanmu. Soal ranjang, loyalitas, kasih sayang. Mengapa? Aku ingin bertanya, mengapa kamu tidak mengatakan apa-apa setelah itu? Mengapa kamu hanya diam seolah selama ini aku tidak berarti bagimu?"

Tidak bisa, dia bau alkohol, dia tidak akan bisa mengerti, dari mana semua kekacauan ini bermula.

"Sejak saat itu, tidak ada yang berhasil. Semuanya jadi lebih kacau," pria itu memutar tubuhnya, sampai akhirnya melepaskan penutup mata Hinata dan selotip besar merekat pada mulut gadis itu. "Bisa katakan alasanmu?"

"Tidak ada."

Naruto membuang tawa, sementara Hinata mengamati wajah pria itu yang masih rupawan seperti terakhir kali diingatnya, sebelum mereka memutuskan untuk mengakhiri hubungan tanpa status sebagai teman kencan di atas tempat tidur. "Aku suka rambut sepundakmu yang cantik. Kamu terlihat lebih dewasa hari ini."

"Kamu juga masih tampan, seolah tidak ada yang berubah."

"Pujianmu selalu membuatku tertawa."

"Kenapa? Apa kamu tidak suka aku puji?"

"Jangan bilang kamu memuji hanya agar aku melepaskanmu. Benarkan, Sayang?" Hinata menunjukkan wajah kalau dia tidak terlalu tertarik dengan panggilan itu. Apakah itu wajah orang jijik? Namun bagi Naruto, wajah Hinata saat ini masih menggemaskan. "Lalu, enaknya aku memanggilmu apa?"

"Entah, aku tidak pernah melarangmu untuk memanggilku apa pun."

"Maduku?"

"Hahaha, lucu sekali. Apa menurutmu aku begitu manis?"

"Iya, apa jauh lebih baik aku memanggilmu, Gula?" Naruto tertawa, dia senang memanggil Hinata gula, menunjukkan betapa manis perempuan itu hanya sekadar dibayangkannya saja. "Apa kita dapat bernegosiasi?"

Hinata berusaha tenang selagi dia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ruangan ini memang tidak ada apa-apa kecuali ranjang yang sedang ditempatinya itu. Tidak ada jendela, hanya ada pintu. Pintu itu pun kelihatannya tidak terkunci. Ia bisa saja kabur dari sini kalau dia mau menerima negosiasi tersebut, tetapi masalahnya, Hinata masih tidak tahu bagaimana tata letak tempat ini. Kalau dia kabur tanpa perencanaan, dia mungkin saja akan tertangkap, meskipun di luar dari bayangannya, Naruto Uzumaki tidak mungkin membunuhnya. Pria itu tidak akan setega itu kepadanya.

Namun siapa yang tahu?

Kita tidak pernah tahu bagaimana hati manusia, yang dengan mudah mengubah situasi. Kita juga tidak tahu, bagaimana otak manusia dapat mengambil kesimpulan dan bertindak tanpa membatasi konsekuensi. Tidak cocok bila masih membicarakan kerasionalan, padahal sejak awal sudah tidak memilikinya.

Hinata lebih dilema dari tadi. "Negosiasi seperti apa?"

Tanpa disangka-sangka, Naruto tersenyum sambil menyentuh pipinya lembut, mengundang gairah, menggelitik ketidaksempurnaan akalnya, yang membiarkan lonjakan berahi mematahkan kenyataan. "Apa kamu tahu mengapa aku sangat menyukaimu? Kamu selalu tenang. Kamu tahu bagaimana situasimu hingga tidak mudah untuk bertindak ceroboh. Namun satu-satunya kesalahanmu, kamu seolah tidak memercayaiku."

"Apa kamu tahu mengapa aku tidak berusaha memercayaimu?"

Naruto merengut, dia menatap tajam Hinata, perempuan yang tidak bisa berkutik itu masih saja memperlihatkan bahwa tak sekalipun goyah di tengah situasi tak menguntungkan.

"Aku tentu saja, tidak ingin mempertaruhkan hidupku yang berharga padamu, Tn. Uzumaki."

■□■□■□■□■

BERSAMBUNG

STRICTLY ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang