『⚘ 13』

49 5 0
                                    

Kamar itu sangat mencerminkan pemiliknya. Rapih, bersih, minimalis.


Sudut paling mencolok di ruangan itu adalah beja belajar besar, dengan laci di bagian bawah, rak-rak di atasnya, puluhan sticky note warna warni menjadi pemandangan meja. Tempat yang paling sering (Name) singgahi di sana.

Rak dan lacinya terisi penuh, dengan rapih dan terorganisir. Ada lagi buku-buku dan puluhan kertas lain si atas meja, tertumpuk asal di sebelah alat tulis. Terlihat dibereskan seadanya dan terburu-buru.

Ada sebuah bingkai yang berisi foto (Name) dan Miyuki kecil. Gadis kecil itu mematap kamera dengan wajah datar dengan kening berkerut, sementara anak laki-laki itu tersenyum lebar sambil perangkul (Name). Miyuki tertawa pelan, tidak menyangka (Name) masih menyimpan foto itu.

Lelaki itu teringat tujuan awalnya, melupakan bingkai foto itu.

Miyuki tidak langsung membuka laci yang (Name) sebutkan dengan detail. Dia membuka laci meja dari yang kiri paling atas, berisi materi perlombaan yang sedang gadis itu ikuti.

Laci ke dua, terdapat bertumpuk-tumpuk lembaran kertas yang dipisahkan oleh klip kertas, dengan sticky note di atasnya bertulisan 'Tokyo Barat'. Miyuki dengan mudah menemukan setumpuk informasi SMA Sensen di antaranya.

Laci ketiga, laci terbawah. Berisi berbagai piagam penghargaan dan dua medali emas yang didapatkan (Name) di Seido ini.

Pada semua piagam tertera tulisan 'Peringkat satu'. Kedua medali itu berwarna emas. Tapi semua pencapaian luar biasa itu disimpan di tempat yang tidak akan terlihat bila tidak sengaja di cari. Seakan sang-pemenang tidak ingin melihatnya.

Miyuki terdiam menatap semua penghargaan hebat itu, sebelum akhirnya menutup laci, mengantarkan setumpuk informasi SMA Sensen sesuai permintaan (Name).

~~~

Sedan hitam berbaris di depan pintu rumah--ralat, kastil (Name). Bangunan itu kelewat megah untuk disebut sekedar rumah. Kawasan seluas nyaris dua kali lapangan bola, dengan halaman rumput seluas lapangan golf  yang mengelilingi bangunan utama, sebelum dipagari oleh pagar megah, dengan selusin pria dewasa berseragam hitam yang menjaga. Di halamannya tampak sebuah jalan menuju bangunan utama, dengan air mancur besar di tengahnya. Arsitekturnya bercampur gaya lama dan modern. Tampak jelas rumah itu yang paling mahal di antara deretannya, meski daerah ini katanya dihuni orang paling kaya se-Jepang.

(Name) turun dari mobil ketika pintu dibuka oleh seorang pria dewasa, disertai ucapan sambutan formal. Gadis itu berjalan tegap dengan tatapan intimidasi yang lebih dingin dan tajam dari biasanya. Sebelumnya (Name) sempat berganti pakaian dahulu, dan luka yang mengalirkan darah sudah di tutupi seadanya.

Pintu utama dibuka, barisan pekerja menyambut dikedua sisi, memberikan sambutan. Seorang lelaki yang usianya lebih dari setengah abat, dengan rambut keputihan dengan kerutan diwajah berdiri paling depan. Andrew, orang yang dipercayakan ayahnya mengurus rumah ini puluhan tahun. Walaupun sudah berumur, wajahnya tetap cerah dan hangat. Dia juga orang yang paling dekat dengan gadis itu sejak kecil.

Secara pribadi, (Name) menyayanginya. Tapi seluruh pekerja di rumah ini adalah orang ayahnya. Mereka akan lebih patuh pada perkataan kepala keluarga.

(Name) menggerakkan tangan ke depan begitu melihat Andrew akan mengucapkan basa basi memuakkan. Dia tersenyum, mengerti maksud gadis itu. "Tuan sudah menunggu di ruangannya," ucapnya sebelum berjalan selangkah di belakang, mengikuti nonanya.

(Name) tau kemana tujuannya, tapi Andrew tidak akan membiarkan dia berjalan sendirian. Entah maksudnya untuk sopan santun atau mengawasi.

"Bagaimana kabar anda, Miss?"

"Baik." (Name) diam sejenak, sebelum akhirnya menambahkan. "Kamu sehat?"

Andrew menyungging senyum. "Seperti yang Miss lihat, tidak ada yang perlu dikhawatirkan."

"Baguslah."

Setelahnya tidak ada dialog lagi, hingga mereka sampai di depan pintu kayu jati besar dengan berhiaskan ukiran indah, dengan bodyguard yang berjaga di kedua sisi. Mereka memberi tau kedatangan (Name) kepada pemilik ruangan.

Pintu terbuka, menampakkan seorang pria bertubuh tinggi kekar dengan wajah keras, kulit putih, dan rambut hitam keputihan. Karisma yang begitu kuat memancar dari dirinya, membuat siapapun segan berhadapan dengannya.

(Name) berdiri di hadapan pria yang mewariskan banyak hal. Wajah rupawan, netra kuning keemasan tajam, garis wajah datar dan dingin, fisik kuat, badan tinggi, serta banyak hal yang diajarkan pria itu, Shirakawa Takuya, ayahnya.

Kedua pasang iris yang serupa itu bertemu pandang. Menghasilkan aura menekan yang membuat luka-luka di sekujur tubuhnya kembali terasa nyeri. Tubuhnya bergeming. Badan tegak dengan pandangan lurus pada ayahnya di balik meja kerja.

"Bagaimana bisa kamu terluka begitu hanya karena melawan lima orang. Kemampuanmu mulai berkarat ya."

(Name) mendengus. "Bagaimana bisa lima assassin lolos dari pantauan orang-orangmu?"

Sepuluh detik lenggang. Suara detik jam dinding dan pendingin ruangan mendominasi adu tatap sinis antara ayah dan anak. Berakhir dengan sang putri yang memutus tatap sejenak, dia ingin cepat pergi dari sini.

(Name) menyerahkan sebuah surat yang nampak lusuh, dan sebuah pin berbahan perak. "Dibuat babak belurpun mereka tetap bungkam. Hanya ini yang mereka pegang, selebihnya carilah sendiri." Gadis itu berbalik.

"Tunggu." Suara berat itu menghentikan langkahnya. (Name) menunggu kelanjutan kalimat tanpa merasa perlu menatap balik.

"Kamu temui assassin itu bersamaku," perintah Takuya.

Kepala (Name) ditolehkan ke belakang. "Aku tidak akan ikut campur. Ayah lupa perjanjian kita?" Itu pertanyaan retonis.

Jeda tiga detik. "Malam ini tidurlah di sini." Ucapan itu seperti perintah, membuat (Name) tidak bisa membantah. Gadis itu mendengus sekali lagi, kali ini benar-benar keluar dari ruangan.

Di luar, Andrew sudah menunggu. Dia mengawal nonanya tanpa banyak bertanya.

(Name) hanya ingin segera mengobati lukanya agar bisa cepat sembunyi di kamar, lalu pergi besok sebelum matahari terbit. Tapi sekali lagi, kehadiran seseorang menginterupsi niatnya.

"Aku baru dengar kamu kembali ke rumah."

Sosok yang sangat familiar untuk (Name). Seorang perempuan cantik dalam balutan dress sederhana tapi mahal. Wajah yang sangat awet muda untuk orang yang berusia empat puluh tahun. Surai merah terang yang persis sama dengan (Name), serta tubuh tinggi ramping bak model.

"Aku memang baru sampai, ibu." Sang anak menjawab datar.

"Begitu ya." Wanita itu--Shirakawa Ayane--menatap luka-luka di tubuh putrinya. "Luka ini karena para assassin itu?"

"Iya."

Dua perempuan dengan gestur yang serupa. Dagu yang selalu terangkat, bahu yang selalu tegak, mata yang selalu menuang jarak. Perbedaannya hanyalah, terpasang senyum elegan di wajah sang ibu. Namun tidak ada nada hangat dalam ucapannya.

"Maaf, Ma'am, sebaiknya luka Miss (Name) diobati segera." Ucapan hormat Andrew mengakhiri situasi canggung keduanya.

"Ya, sebaiknya begitu."

Belum genap kalimat sang ibu, (Name) sudah mengambil langkah melewati ibunya. Ayane tidak menghentikan. Hanya menatap sejenak mengikuti arah kepergian anak gadisnya.

________________________________________

Ethereal (Miyuki Kazuya x reader) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang