Ini malam yang sibuk.
Begitu sampai di sekolah para pemain lanjut berlatih lagi. Setelah makan malam ada pertemuan membahas cara melawan Narumia Mei. Rapat selesai, para pemain terbagi dalam kelompok kelompok kecil untuk melanjutkan latihan dengan cara yang berbeda-beda. (Name) meng-evaluasi pertandingan hari ini bersama para pitcher dan catcher. Selepas pertemuan itu, (Name) ingin membantu menejer menyelesaikan seribu bangau kertas, namun mereka sudah pulang. Jadilah (Name) mengubah tujuannya menuju kamar asrama.
Berjalan di malam hari dengan udara yang sejuk membuat otak (Name) tenggelam memikirkan beban punggungnya. Tugas sekolah, persiapan lomba, tugas tambahan lain dari guru. Lebih baik dia tidur.
Suara ayunan bat terdengar. Berjarak lima meter darinya, nampak pemuda dengan surai merah muda mengayun udara kosong. Cara latihan yang sering dilakukan kebanyakan pemain untuk berlatih memukul.
"Masih berlatih, Ryou-san?"
Mata sipit itu menoleh kearah (Name), berhenti melakukan latihannya.
"Begitulah. Kau sudah selesai? Biasanya kau lebih suka di cafeteria," ucap Ryosuke.
"Tidak malam ini." (Name) mengendikkan bahu. "Senpai juga istirahat lah."
"Aku kan latihan sebentar lagi." Lelaki itu kembali mengayunkan batnya.
(Name) masih diam di tempatnya, menatap sang senior bimbang. Genggamannya pada tali tas biru berbordir tulisan Seido mengerat.
"Ryou-san, daijoubu?" Suara (Name) lebih pelan dibanding tadi, berharap hanya didengar mereka berdua.
Penjaga second basement itu tersentak, kembali menghentikan kegiatannya. "Tentu aku baik-baik saja, apa maksudmu?"
(Name) menatap serius wajah lelaki yang tersenyum santai itu. "Aku tau kaki senpai terkilir saat pertandingan tadi." Tanpa melepas pandang gadis itu perlahan mendekati seniornya, hingga jarak mereka tersisa satu meter. "Kelihatannya makin parah."
Kini (Name) mendapat seluruh atensi Ryosuke. Terbesit seulas senyum yang mendominasi hampir seluruh ekspresi si pemuda. "Aku selalu terkesan kau menyadari hal seperti ini."
"Sepertinya Kuramochi juga sudah sadar." (Name) mendekat.
"Begitu ya." Garis lengkung di wajahnya tidak luntur.
"Apa kau akan memberi tau pelatih?"
"Senpai sudah tau risikonya. Kalau senpai ingin pelatih tau, beritau sendiri."
Jika menyepelekan luka yang awalnya kecil, semakin lama dapat bertambah parah, hingga menghabiskan satu tahun masa rehabilitasi. Setelah rehabilitaspun kondisi tidak akan sebaik sebelumnya.
Namun tidak jarang ada pemain yang tetap memaksa bertanding saat cedera, apalagi ini adalah musim panas terakhir Kominato Ryosuke di SMA, jelas dia ingin memberikan yang terbaik.
Ryosuke suka jawab (Name). Gadis cantik itu terlihat simpel dan terkadang tidak berperasaan, tapi Ryo tau (Name) selalu memperhatikan semuanya, dan menilainya dengan penuh pertimbangan.
"Aku akan bertahan sampai final."
"Bagaimana kalau kondisi Ryou-san tidak memungkinkan untuk ikut pertandingan?" (Name) bertanya dengan datar tanpa perubahan intonasi.
Ryo tetap mempertahankan senyumnya. "Tentu aku siap diganti. Aku akan melatih Haruichi untuk menggantikanku."
Gadis itu mengangguk. "Kalau begitu, kaki senpai harus di obati dulu." (Name) berbalik. "Ada kantong es di kamarku." Dengan bat di pundak, Ryo mengikuti tanpa banyak bicara.
Kamar (Name) terpisah dengan bagunan dua lantai para pemain. Tidak jauh dari sana, ada bagunan tersendiri. Dorm khusus menejer. Hanya terdiri dari tempat mencuci, dan dua kamar dengan kamar mandi di masing-masing kamarnya. Berhubung menejer lain pulang ke rumah mereka, hanya (Name) yang menempati satu kamar itu.
(Name) membuka pintu dengan kunci dari dalam tasnya. "Masuklah."
Ryosuke bergeming, kemudian berjalan ke samping (Name). "Tidak perlu, di luar saja."
(Name) menatap bingung. "Kenapa? Di dalam kan tidak ada yang akan melihat kaki Ryou-san."
"Justru karena itu. Jangan berduaan dengan laki-laki di dalam ruangan, bodoh." Telunjuk Ryosuke mengetuk dahi (Name) lalu duduk di teras. Pemukulnya ditidurkan di lantai.
(Name) mengerjap. " ... Aku ambilkan kompresnya."
Tidak lama (Name) kembali membawa kantong es dan perban. Gadis itu meletakkan kantong es di atas kaki Ryosuke yang sudah membengkak.
"Apa senpai sudah mengompresnya sebelum ini?"
"Sudah, hanya 15 menit."
(Name) mengangguk.
"Aku bisa melakukannya sendiri, kau istirahatlah."
"Tidak apa, aku akan membantu senpai."
Untuk sekejap, keheningan melanda keduanya.
"Kau agak berubah ya, (Name)." Ryosuke memecah keheningan.
"Maksudku, wajahmu terlihat lebih hidup. Kau juga sedikit berekspresi sekarang."
"Apa begitu?" (Name) mengernyit.
"Iya, kau bahkan tertawa saat kecelakaan rambut Masuko pagi tadi."
(Name) mengontrol agar bibirnya tidak terangkat, dia kembali teringat kejadian pagi ini. Benar juga, itu memang pertama kalinya dia tertawa di depan semua anggota tim.
"Apa selama ini aku terlalu dingin?" (Name) menatap langit malam bertabur bintang.
"Kami tidak masalah kok." Jeda sejenak. "Awalnya kami merasa segan untuk berinteraksi denganmu. Kamu sangat karismatik, seakan dari dunia yang berbeda dengan kami. Tapi kau membuat kami nyaman berinteraksi denganmu, kau banyak membantu kami juga. Aku tidak percaya Miyuki sangat dekat denganmu yang seperti itu." Sang pinkette tak menyangka dirinya akan mengatakan hal seperti ini. Seperti bukan Kominato Ryosuke yang ucapannya tajam, tegas, dan penuh percaya diri.
(Name) terdiam memikirkan ucapan senirnya. Gadis itu tidak pernah mendengar penilaian orang lain tentang dirinya selain dari Miyuki dan keluarganya.
Gadis itu ikut terhanyut dalam afirmasi Ryosuke, mengundang kembali memori penting yang telah lama berlalu. "Aku bertemu Kazuya saat tahun terakhir sekolah dasar. Saat itu aku sedang sangat kacau, aku tidak tau aku akan seperti apa kalau hari itu tidak bertemu si bodoh Kazuya." (Name) tertawa di akhir kalimatnya.
Gadis itu memaksa otaknya bekerja. Padahal dia tidak tau apa yang harus dipikirkan, dia tidak tau harus mulai bicara dari mana, dia tidak tau kenapa menceritakan ini. Tapi ada satu hal yang bisa Ryosuke yakini dari sorot keemasan itu.
Mata adalah bagian tubuh paling jujur. Dikala tak ada seutas kata yang terucap, sorot mata akan bercerita lebih banyak.
"Sedekat apapun kita, kami merasa kalau kau sangat memasang jarak." Ryo bergumam pelan, tapi gadis yang terlarut dalam memori lama masih dapat mendengarnya.
Ya, (Name) lebih terbuka dengan Miyuki. (Name) lebih ekspresif dengan Miyuki. Miyuki mengetahui banyak hal yang tidak akan diketahui para anggota baseball Seido. Tapi setiap orang punya rahasia, dan (Name) bukan orang yang dengan mudah dapat bercerita pada orang lain. (Name) keras pada dirinya sendiri, dan merasa memiliki tanggung jawab atas penyelesaian masalahnya sendiri.
"He?" (Name) menatap Ryosuke yang sedang menatapnya.
Lelaki berambut merah jambu itu tersenyum, tidak melanjutkan ucapannya.
"(Name), apa kau menyukai Miyuki?"
________________________________________
a/n:
Gimana?Gimana jantung kalian pas baca kalimat terakhir? Kalo aku sih nge reog WKWKWK.
Buku ini sengaja aku buat tidak fokus ke Miyuki aja, biar ada momen sama anggota Seido lain.
Makanya alurnya lambat sekali pemirsaaa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ethereal (Miyuki Kazuya x reader)
Non-FictionDua pembohongan terbaik dalam hal menyembunyikan perasaan, sekaligus dua orang bodoh yang tidak menyadari perasaan-nya sendiri. Berlindung dibalik status sahabat yang 'dianggap' sebagai halangan. Ketika ego kedua insan justru mempersulit diri merek...