27. Stay with me, Son

5.9K 442 5
                                    

Dor

Dor

Dor

Bunyi peluru menggema pada halaman luar kediaman Ardika, putra Chandra itu tergopoh-gopoh menyelamatkan diri dengan helikopter yang telah siap dibelakang.

"Cepat Tuan" titah sang bawahan meminta Ardika segera pergi meninggalkan tempat.

Sebelum helikopter itu meninggalkan kediaman, senyum kemenangan terpatri jelas pada raut Ardika. Rasakan, batinnya.

"Kita berpencar, kau cari putramu!" titah Bagas kepada Aldi, meminggalkan Andrew dan Januarta yang tengah melahap habis pasukan didepannya.

Januarta sih hanya berdiri tegap dengan tangan berpegang pistol dengan rasa sakit yang menyenangkan, yang bergerak mah bawahannya.

Bagas segera mendekati salah satu bawahan Ardika yang tampak gemetar ketakutan, dirinya perlu informasi secara cepat mengenai putranya.

"Dimana dua anak kecil itu disembunyikan." Tanya bagas dengan menodongkan sebuah pistol tepat pada kening pria didepannya.

"A-aku t-tidak tahu!" balasnya gemetar.

"Bangsat!"

"Katakan atau peluru ini menancap tepat pada bola matamu!" kini Aldi yang menggertak, tatapan datar serta mematikan tergambar jelas pada rautnya, bahkan membuat pria lemah didepannya ketakutan.

"Ya-yang tingg-gi di g-gudang..satunya diko-kolam bela-" belum sempat pria itu mengakhiri ucapannya, amarah Bagas menggelap.

Dor

Peluru itu menancap tepat pada bola mata kanan pria didepannya. Keduanya berlalu begitu saja, prioritas mereka sekarang ialah putranya.

Deskripsi dari pria tadi mengatakan bahwa yang lebih tinggi di gudang sudah jelas bahwa itu Dimas, memang Dimas sedikit lebih tinggi dari Rafa.

Bagas berlari kesetanan mengarah pada gudang, rasa cemas begitu ketara dalam dirinya. Berbeda dengan Aldi yang berlari kearah taman belakang.

Putranya itu pasti ketakutan, putranya itu pasti sekarang tengah menangis meminta pertolongan. Trauma pada kejadian yang pernah menimpa keluarganya pasti terbuka kembali pada sosok ringkih yang selama ini Ia sembuhkan.

"Bangsat!" umpat Bagas setelah menemukan pintu gudang yang terkunci sebuah rantai. Tanpa ba-bi-bu dengan segera membuka paksa.

Dor!  Dor!  Dor!

Rantai itu terbuka kasar dengan tiga peluru sebagai alat, pintu yang sedikit lecet itu kini terbuka. Pandangan yang pertama kali Bagas lihat ini begitu menyakitkan, rasa sakit yang semula ia harap tak pernah kembali, kini mendatangi.

Disana Dimas—putranya terbaring tak sadarkan diri dengan tubuh mendingin, bibir yang pucat dan pakaian yang seperti basah akan keringat, begitu menyakitkan bagi Bagas.

Dibawanya tubuh ringkih itu dalam dekapannya, menepuk pelan pipi sang putra berharap mendapat respon meski sekecil apapun.

Namun nihil, tubuh Dimas tak memberi gerakan apapun, nafas yang melemah serta tubuh yang semakin dingin membuat Bagas kalang kabut setengah mati.

"Dimas bertahan sayang, Papa dis-sini" Bagas dengan gemetar membawa tubuh putranya dalam gendongan, berlari kesetanan kearah ambulance, yang terpenting sekarang ialah putranya. Nyawa putranya dalam tangannya sekarang.

"Jalan!" teriak Bagas, ambulance yang dimaksud segera melesat pergi.

"Bertahan sebentar sayang" ucap Bagas seraya memberi pertolongan pertama dengan tangan bergetar.

RAFARAEL [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang