22

6 3 0
                                    

Alfian menatap Vania yang tertidur pulas. Cewek itu sudah sadar tadi, namun kepalanya masih terasa pusing makanya ia memilih untuk tidur kembali. Alfian mengelus rambut blonde milik Vania , ia sangat menyayangi cewek ini, entah bagaimana kondisi hubungan mereka ke depannya, Alfian akan selalu siap menerima dengan lapang dada. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri akan selalu menjaga dan mencintai cewek ini sepenuhnya, tak peduli siapa yang akan berhadapan dengannya nanti. Alfian memilih akan tetap berdiri di sisi Vania.

" Sayang, kamu harus kuat ya,? Gak boleh nyerah apapun yang terjadi " lirih Alfian menatap Vania dengan sayang.

Dengkuran halus milik Vania terdengar, pulas sekali cewek ini tidur. Akhirnya Alfian pun berpamitan pada cewek kesayangannya itu, karna hari sudah mulai malam.

" Aku pulang ya, tenang aja disini ada Debby kok yang jagain kamu. Sampai ketemu di sekolah princessnya Alfian , love you " dikecupnya tangan gadis itu lembut lalu meninggalkan ruangan gadis itu dalam hening . Debby sedang tidur, sementara Anggun sedang pulang kerumahnya untuk mengganti seragam sekolah.

Saat Alfian sudah menutup pintu ruangan Vania dengan sempurna, sebulir air mata membasahi pipi mulus Vania, rupanya cewek itu tak benar-benar tidur.

" Tapi gimana kalo gue capek? Gimana kalau gue udah gak kuat, Al? " lirih Vania pelan, isak tangis terdengar ia tahan kuat agar tak membangunkan Debby yang sedang tertidur pulas. Namun nyatanya, Debby pun tengah menahan diri agar tak bergetar karna mendengar ucapan Vania barusan.

Sebenarnya, cobaan macam apa yang lo hadepin Van? Batinnya sedih

❄❄❄

Kotor dan gelap. Begitulah kondisi ruangan yang tengah ditempati sepasang kekasih yang tengah memainkan 'mainannya' masing-masing itu.

Sang cewek dengan setelan serba hitam memegang sebilah pisau lipat yang ia putar-putar karna bosan, sementara cowoknya memegang sebuah pistol, tengah melatih kemampuan menembaknya.

" Menurut lo, apa ini bakal menarik? " tanya sang cowok tanpa menoleh

" Ck, lo gak tau gimana rasanya bikin dua orang yang saling sayang sekarang malah saling benci. Ah, lo kan temennya " jawab sang cewek nampak santai, wajahnya merengut mendengar pertanyaan cowok yang berstatus sebagai kekasihnya itu.

" Jangan main-main lo, gue terpaksa berteman sama mereka demi hancurin cewek sialan itu,cih " balas cowok itu tegas. Kebencian dihatinya memang memenuhi segala sudut dalam dirinya, hingga membutakan ia akan bagaimana menjadi manusia yang mempunyai hati nurani.

" Cih, ya salah lo sendiri, ngapain suka sama cewek sialan kayak dia, jangan-jangan lo masih suka lagi sama dia, hah? " tuding si cewek menodongkan pisau lipat miliknya ke arah wajah kekasihnya sendiri

" Jangan mulai deh, lo duluan yang mancing-mancing gue tadi, harusnya lo sadar diri bukan malah memperkeruh suasana " sahut sang cowok tanpa menoleh sedikitpun kepada lawan bicaranya.

Si cewek pun merasa kekesalannya memuncak, ia memilih meninggalkan kekasihnya yang sedang fokus latihan menembak dengan kaki yang dihentak keras. Sungguh, ia benci jika topik tentang target mereka sudah menjadi pembicaraan antaranya dengan kekasihnya, rasa-rasanya ia ingin segera menuntaskan dendamnya pada target mereka saat ini.

Lo emang pantes dapetin ini semua, dan ini baru permulaan, lo harus lebih menderita dari gue bahkan kalo bisa lo harus merasa nyesel udah lahir ke dunia, mati lo, Vania. Batinnya kesal , tangannya berlmuran darah karna meremas pisau lipat tanpa sadar.

❄❄❄

Alfian sampai dirumahnya ketika waktu menunjukkan pukul 19.00, ia berjalan santai ketika tak sengaja berpapasan dengan ibunya yang nampak baru saja pulang dari kantor. Ibunya mendekatinya, lalu menyapanya dengan nada lembut

" Hai, dek. Darimana aja kok baru pulang jam segini? " tanya Rain lembut

" Al dari rumah sakit ma, jengukin temen. Mama juga baru pulang ya? Papa mana? Kok mama sendiri? " jawab Alfian yang lanjut menanyai ibunya tak kalah lembut

" Oh ya, siapa yang sakit Al? Iya nih mama baru pulang, papa masih ada undangan makan malam sama rekan bisnisnya tadi, makanya mama pulang duluan, capek tau nungguin papa kamu kalo lagi ada undangan diluar gitu " ucap Rain memberitahu Alfian

" Namanya Vania, ma. Yaudah mama istrahat gih, Al mau ke kamar dulu, badan Al lengket, pengen mandi " balas Alfian

Rain mematung. Vania? Bukankah itu cewek yang sama yang membuat anak sulungnya hampir kehilangan kewarasan dulu? Mengapa sekarang anak bungsunya ikut-ikutan masuk dalam kehidupan cewek bernama Vania ini? Rain tak benci, ia hanya penasaran sebaik apa cewek bernama Vania ini hingga menimbulkan kesalahpahaman besar di antara kedua putranya. Apa sebenarnya yang dipunyai cewek ini sehingga anak sulungnya dulu segitu sayangnya kepadanya?

Rain mengangguk ditempat. Alfian sudah berada beberapa langkah didepannya, dengan keberanian yang ia kumpulkan akhirnya Rain bersuara,

" Al, abang kamu bakal keluar minggu ini. " ucap Rain

Alfian terhenti. Ia menoleh kearah Rain lalu membalas ucapan Rain dengan tenang.

" Ya terus, Al harus ngapain ma? Abang pasti gak bakal percaya sama Al, walaupun Al gak pernah bohong sama abang. Nyatanya, abang lebih percaya omongan orang, padahal yang tumbuh besar sama-sama abang itu Al ma, tapi abang gak percaya sama Al lagi. " balas Alfian tenang. Tangannya yang gemetar ia kepalkan, matanya berkaca, Alfian mati-matian menahan diri untuk tak menangis di hadapan Rain.

" Al, abang kamu butuh waktu dek. Kamu harus ngerti itu, ya. Abang sayang kok sama Al, mungkin dia masih berusaha menerima kenyataan " sahut Rain lembut , ia menatap Alfian penuh pengertian, tak ada penghakiman sedikitpun dimatanya ketika melihat Alfian yang berkata bahwa abangnya tak lagi mempercayainya , Rain mengerti jika Alfian masih sangat kecewa

" TAPI KENYATAAN APA, MA? KENYATAANNYA ABANG DIBOHONGIN ENTAH OLEH SIAPA! DAN AL JUGA DIJEBAK SAMA ORANG YANG SAMA! KENAPA SIH ABANG GAK CARI TAU DULU? AL GAK MUNGKIN SERENDAH ITU MA, APALAGI INI URUSAN CEWEK. MAMA TAU SENDIRI, DARI DULU AL GAK PERNAH MACEM-MACEM " Alfian akhirnya meledak. Ia tak bisa menerima jika abangnya hancur dan hampir kehilangan kewarasannya karna semua kesalahpahaman ini, Alfian akan benar-benar menghajar dalang dari semua ini jika sudah ketemu, ia akan pastikan orang itu dapat balasan yang setimpal.

Rain mendekati Alfian lalu merengkuh tubuh Alfian dalam dekapannya, dielusnya rambut anak bungsunya itu sayang, lalu berkata

" Nangis aja, dek. Jangan ditahan, mama tau kamu gak baik baik aja selama ini, kita perbaiki satu persatu ya, kamu harus kuat "

Alfian menangis dalam diam di pelukan ibunya, ia melirik pergelangan tangannya yang tertutupi oleh jam tangan.

Tapi Al juga sakit ma, Al juga cuman berusaha kuat. Maafin Al, ma. Al bakal cari tau ini sebelum semuanya semakin parah.






































Haii, haii. Gimana nihh part yang ini? Ngefeel gak? Apa kurang? Maaf ya kalo belum bisa memenuhi ekspektasi para readers. Aku selalu berusaha kok buat nulis cerita ini sebaik mungkin, ya walaupun kadang mungkin jadinya gak dapet feelnya.

Bdw, aku masih bingung nih buat cast Vania sama Alfian. Ada yang mau kasih saran?

Makasih banget udah mampir dan mau menjadi penyemangat aku lanjutin nulis cerita ini, kalian sangat berperan besar dalam kecepatan aku up cerita ini.

Makasih juga yang udah kasih saran yang membangun untuk cerita ini. Jujurly, itu ngefek banget di aku.

See u on next chapter, ya.

Withlove,purpleukhty

My Traumatic GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang