13. Amarah

8.4K 1K 17
                                    

Ruangan kerja arthur memiliki nuansa lebih gelap daripada ruangan lainnya, walaupun tetap terlihat mewah dan klasik. Kakiku mulai merasa kesemutan karena terlalu lama berdiri, tapi disaat pemilik ruangan ini sedang manatap dingin kearahku, rasanya kurang pantas jika aku meminta izin untuk duduk. Semoga saja pembicaraan yang entah siapa pemenangnya ini segera berakhir.

"Kenapa kau tidak mendengarkanku?" Tanya arthur, ia menyenderkan badannya pada sandaran kursi dengan nyaman, tangannya terlipat didepan dada dan fokus menatapku. Jika ditanya apakah aku merasa terintimidasi, aku akan dengan senang hati menjawab "IYA".

"Aku sudah mendengarkan ayah, sudah kubilang tidak jadi pergi" Walaupun terintimidasi aku tidak mau menunjukkannya didepan arthur, karena hari ini aku sedang ingin memerankan anak nakal yang suka merajuk, hehehe. Kapan lagi aku bisa berbicara dengan arthur selama ini. Jadi aku akan memanfaatkan semaksimal mungkin. Walau jujur saja aku sudah merasa lelah.

"Tapi kau tetap tidak mau makan"

"Karena aku tidak ingin makan" Jelasku menegaskan aksi merajuk ku.

"Lalu bagaimana caranya agar kau mau memakan makananmu?" Tanya arthur.

"Jika ayah mengizinkanku keluar"

"Sudah kubilang ada alasan kenapa aku tidak mengizinkanmu keluar Mikhael, kenapa kau keras kepala sekali" Jelas arthur, sepertinya ia mulai jengkel kepadaku.

"Yasudah terserah ayah" Jawabku acuh.

"Jangan memperumit semuanya Mikhael, turuti perintah ku"

"Aku keluar juga tidak sendirian, Kakak juga ikut bersamaku" Jelasku tak mau kalah.

"Diluar bahaya khael, kau masih kecil dan sekarang sedang sakit. Dengarkan aku, jangan keras kepala. Aku akan membelikan semua yang kau mau, tapi tetap dirumah" Apakah sebenarnya arthur khawatir kepada Mikhael? Kenapa aku baru menyadarinya dari tadi kita berdebat. Lalu kenapa arthur mengabaikan Mikhael selama ini?

"Kenapa ayah perduli?" Tanyaku pelan. Jika memang kau khawatir terhadap anakmu, seharusnya kau memperhatikannya dari dulu, kenapa kau menyakiti anak yang masih kecil dengan mengabaikannya. Kenapa kau membiarkan Mikhael mati dengan mengenaskan.

"Kenapa ayah baru perduli sekarang?" Ulang ku dengan suara lebih keras. Tidak ada jawaban dari arthur, tapi ekspresi wajahnya terlihat terkejut.

"Ayah selalu mengabaikanku dari dulu, entah aku sakit atau mati sekalipun, itu bukan urusan ayah" Kataku marah, aku segera keluar dari ruangan arthur. Mengabaikan teriakan cale yang memanggilku.

Saat berjalan di lorong aku segera tersadar akan kebodohanku, kenapa aku terlalu terbawa emosi. Tidak seharusnya aku mengucapkan kata-kata itu kepada arthur, bagaimana jika hubunganku dengan arthur semakin buruk. Dasar bodoh.

Apakah aku harus kembali keruangan arthur dan meminta maaf, tapi aku malu. Bagaimana jika aku terbawa emosi lagi dan mengucapkan kata-kata lebih parah dari pada yang tadi. Kenapa mulutku tidak ada filternya sih.

Lebih baik aku menenangkan diriku dulu, kemudian memikirkan bagaimana caranya meminta maaf pada arthur.

Kakiku melangkah ke taman mansion, tempat favoritku walaupun sudah kulupakan selama beberapa hari ini karena sibuk mengikuti cale.

Setelah sampai ditaman, aku membaringkan tubuhku diatas rumput, mengabaikan bahwa baju dan rambutku akan kotor karena hal ini. Aku akan meminta maaf pada Eros nanti karena membuat baju yang aku kenakan kotor.

Aku menghirup udara sejuk ditaman dan memejamkan mata, mencoba menjernihkan pikiran, dan membuang jauh-jauh amarahku. Misi ku disini bukan untuk menyupahi atau balas dendam pada keluarga Mikhael tapi mendapatkan kasih sayang keluarga Mikhael, jadi aku tidak boleh terbawa emosi seperti tadi, hal itu hanya akan merusak misi.

Entah berapa lama aku memenjamkan mata, Tiba-tiba aku merasakan kepalaku terangkat dan kemudian mendapat bantalan. Dari aromanya jelas ini adalah Cale, aku sudah hafal aroma tubuh Cale.

Aku merasakan kepala Cale menyentuh kepalaku "Maaf Mikhael" Ucapnya dengan suara serak. Entah kenapa dia tiba-tiba meminta maaf kepadaku, tapi aku merasakan kesungguhan dari suaranya.

"Jangan mengucapkan kata mati semudah itu" Mintanya dengan nada sendu, tidak seperti cale biasanya yang dipenuhi dengan teriakan dan amarah.

Aku masih enggan menjawab ataupun membuka mata dan cale pun masih betah menyatukan dahinya padaku. Aku tidak tau jika cale bisa selumbut ini kepada Mikhael.

Setelah itu hanya keheningan yang menyelimuti kita berdua. Cale memisahkan dahinya dariku dan mengelus rambutku dengan lembut.

Aku mulai membuka mata, memandang cale diatasku. Ternyata aku berbaring berbantalkan pahanya. Ia tersenyum tipis saat aku menatap matanya. Sangat jarang melihat cale tersenyum seperti itu.

"Ayah marah?" Tanyaku pelan.

"Tidak" Jawab cale cepat. Aku meragukan jawabannya, tadi aku berteriak bahkan mengucapkan kata-kata kasar padanya, pastinya arthur marah padaku.

"Ayah tidak marah mikhael" Ulang cale. Aku hanya mengabaikan penghiburan cale.

"Kau masih ingin pergi?" Tanya cale mengalihkan pembicaraan.

"Kan tidak boleh"

"Ayah memberi izin, tapi hanya 3 jam. Dan setelah membeli peralatan melukis, kita harus pulang. Bagaimana? Mau pergi sekarang?" Jelas cale dengan suara yang kembali seperti biasanya.

Aku segera bangun dari acara berbaringku "Ayo" Ucapku bersemangat, tanganku menarik cale untuk berdiri, tentu dia langsung menuruti. Mari kita jalan-jalan terlebih dahulu setelah itu baru memikirkan cara meminta maaf kepada arthur. Atau mungkin aku bisa memberikan hadiah untuk menyogok nya agar mau memaafkanku.

Perjalanan dengan kereta kuda lebih buruk dari perkiraan ku, badanku sakit semua. Tapi untungnya perjalanan tidak terlalu lama, jadi aku bisa menahannya.

Setelah menempuh perjalanan selama satu jam lebih kita sampai di tengah-tengah kota yang dipenuhi dengan berbagai toko, terlihat banyak bangsawan yang memenuhi area ini.

Bangunan toko-toko bergaya klasik dan tertata dengan rapi. Terdapat berbagai pohon dan bunga di tepi-tepi toko menambah kesan asri. Lingkungannya juga bersih, tidak ada sampah yang di buang sembarangan. Jika saja aku memiliki ponsel, aku akan mengabadikan pemandangan didepanku ini.

Saat kereta berhenti, cale segera turun dan membantuku untuk turun. Tangannya tetap menggenggam tanganku, dibelakang ada Eros, seth dan 5 kesatria lainnya.

Cale berjalan kearah toko yang terlihat antik dari luar, tapi saat masuk kedalam toko dipenuhi dengan berbagai lukisan, banyak kanvas kosong, macam-macam kuas dan banyak sekali cat air.

Aku dengan girang masuk kedalam toko, melihat berbagai lukisan yang dipajang, dan meminta cale membelikan hal yang aku mau.

"Ini boleh?" Tanyaku sambil memegang cat air yang aku inginkan, cale hanya menggangguk mengizinkan.

Setelah puas memborong peralatan lukis yang entah terpakai semua atau tidak karena saking banyaknya, kita kembali ke kereta. Aku memang sedikit kalap tadi saat memilih barang, kapan lagi aku bisa membeli barang yang aku mau kan.

"Mau makan dulu, waktunya masih tersisa satu jam lebih dari perjanjian?" Tanya cale, aku lupa jika kita belum makan dari pagi.

"Boleh?" Tanyaku memastikan.

"Tentu saja"

Kemudian kita berhenti di restoran dan makan disana, tentu ditemani ceramah dari cale agar aku tidak melewatkan makan dan obat seperti tadi. Aku hanya menggangguk saja, agar tidak mendengar ceramah cale lebih lama lagi. Makanan di restoran ini rasanya tidak jauh berbeda dari yang ada mansion, walaupun ada beberapa menu yang baru kumakan pertama kali.























****

100 DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang