★★★
"Ciee yang semalem abis video call," goda Aya sesaat setelah Alan memunculkan diri di ruang makan, membuat semua orang yang berada di meja makan menghentikan aktivitas sarapan.
"Video call?!" suara Abah meninggi. Alan mengangguk santai lantas mendudukkan diri di samping Ari, tepat berhadapan dengan Abah.
"Iya, video call rapat online. Nggak usah pada suudzon." Alan mengambil piring lantas menyodorkannya pada Umi, meminta wanita tercintanya itu untuk mengambilkan nasi.
"Tolong Umi," pinta Alan. Umi mengangguk dengan iringan senyum, lalu mulai menyidukkan dua centong nasi ke piring Alan.
"Tapi sama Cewek kan, Bang?" Aya, bocah yang wajahnya kata orang sangat mirip dengan Alan itu terus saja bertanya. Membuat Alan yang akan memasukkan nasi ke mulutnya harus mengurungkannya.
"Iya, sama tiga Cewek. Eh, empat ding. Satunya Ibunya Fatimah," jawabnya lalu berkomat-kamit membaca doa makan. Setelah itu, satu sendok nasi dengan campuran lauk semur telur masuk ke mulutnya. Alan tidak memedulikan pelototan Umi dan Abah atau Ari dan Aya yang hampir menjerit.
"Loh? Kenapa ibunya Fatimah ikut?" kali ini Umi yang bertanya. Alan segera mencatat data di pikirannya : Hari ini, Jum'at, 19 November Umi perdana bertanya soal Ibu dari perempuan yang tidak ada hubungan darah dengannya.
"Mungkin karena video call-nya kan ada cowoknya. Lagian Fatimah berasal dari keluarga religius, Mi," jawab Alan dengan kepala yang mendongak dan sepasang mata menatap Umi. Kali ini Alan menghentikan aktivitas makannya, lantaran ingat kalau makan tidak boleh sambil berbicara.
"Kok kamu tau?" sekarang giliran Abah yang bertanya. Alan menghela napasnya pelan.
"Dari Zidan, Bah. Zidan sedesa sama Fatimah."
"Zidan yang mana?"
Alan meletakkan sendoknya di atas piring. Sepertinya acara sarapannya akan terhambat untuk beberapa menit, mengingat Abah juga mengurungkan makan. Bukan hanya itu, Umi, Aya, Ari, juga menatapnya dengan tatapan 100 persen penasaran.
"Itu yang dulu pernah ke sini pas acara pelantikan ketua IRMAS, Bah."
Abah terlihat berpikir sejenak, sebelum akhirnya Pria berusia 55 tahun itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Ooo. Yang katanya ketua remaja masjid Desa Degan bukan sih? Yang matanya sipit itu ya?"
Alan mengangguk cepat.
"Nah, bener itu Bah!"Abah kembali manggut-manggut.
"Fatimah itu anaknya siapa, Lan? Soalnya Abah punya kenalan orang sana."Alan menggaruk-garuk kepalanya sambil cengar-cengir. Sungguh, Alan tidak mengerti bagaimana bisa Abah se-penasaran itu dengan keluarga Fatimah. Padahal, selama ini Alan sering menceritakan banyak perempuan. Seperti saat Alan menceritakan Tika dan menjemput Tika untuk berangkat pelantikan IPI. Begitupun dengan Naima, Alan juga menceritakannya pada Abah dan Umi saat harus mengantarkan Naima pulang dari acara pelantikan IPI. Dan Fatimah, tanggal 17 Oktober lalu saat dia menawarkan diri pada Fatimah untuk menjemput, dia juga mengatakannya pada Umi dan Abah. Dari kemarin-kemarin responnya biasa saja, tidak banyak tanya. Tetapi hari ini, entahlah Alan tidak tahu.
"Yo aku Ndak tau to, Bah. Aku taunya cuman Fatimah itu berasal dari keluarga yang religius. Terus Bapaknya Ustaz, udah meninggal setahun lalu," terang Alan.
Abah mengernyit. "Ustadz?"
Alan mengangguk. "Iya, kata Zidan sih Ustadz, Bah. Meninggalnya tahun lalu pas hari Jum'at, kalo nggak salah sih dadakan gitu. Zidan bilang banyak banget yang ngelayad."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tasbih Pengantar Jodoh ( Terbit )
Teen FictionTELAH TERBIT DI CV FIRAZ MEDIA PUBLISHER Maulana Malik Ibrahim. Dia kira, dia yang paling terluka. Ternyata selama ini dia yang membuat hati seorang perempuan terluka. Dia kira, dia sudah cukup menghargai perasaan perempuan. Tetapi ternyata, dia ti...