★★★
Hela napas kasar keluar dari hidung bangir milik Mas Fatah setelah puluhan menit Ara mencoba menjelaskan kronologi kejadian kemarin sore di rumah Alan.
"Harusnya Alan nggak main ambil keputusan minta didera! Itu sama aja dia mengakui telah berzina!" protes Mas Fatah. Diam-diam Fatimah menggelengkan kepalanya. Gadis itu merasa Alan menyerahkan diri untuk didera bukan berarti mengakui telah berzina.
"Maaf, Mas. Menurut aku niat Kak Maulana nggak gitu. Dari cerita Mbak Sarah, Kak Maulana udah melakukan pembelaan diri tapi nggak ada yang percaya. Malahan keluarganya meminta Kak Maulana untuk mengakui. Daripada semakin memperkeruh, lebih baik menyerahkan diri untuk didera kalau memang menurut Abahnya Kak Maulana itu salah dan lebih mempercayai dugaan dari keluarga Naima," jelas Fatimah. Untuk seperkian detik Mas Fatah mencerna kalimat Fatimah. Hingga akhirnya Pria berkulit putih itu menganggukkan kepala.
"Iya Fa, Mas paham itu. Posisi Alan emang serba salah. Seandainya dia memilih mengakui perbuatan yang jelas nggak pernah dia lakukan demi janin di dalam kandungan Naima punya Ayah, itu juga salah. Mau jadi apa rumah tangga dengan keterpaksaan? Apalagi usia Naima sama Alan masih sama-sama muda. Mereka belum siap jadi orang tua." Mas Fatah menyeruput kopi buatan istrinya yang tersaji di meja. "Mas paham posisi Alan, dia nggak bisa terus membela dirinya. Apalagi sekelilingnya ngga ada yang percaya dan malah terus memaksa."
Fatimah dan Ara saling melemparkan pandang. Hingga akhirnya Fatimah bertanya, "jadi, Mas mau bantu Kak Maulana?"
Mendengar pertanyaan itu Mas Fatah terkekeh. "Boleh-boleh aja. Tapi pake syarat, ya?"
Fatimah mengerutkan keningnya. Bibirnya mengerucut dengan pipi menggembung. "Membantu orang itu nggak perlu pake syarat, Mas," nasihatnya yang berhasil membuat Mas Fatah kembali tertawa.
"Terserah Mas dong," balasnya. Fatimah menghela napasnya kasar. Mas Fatah itu menyebalkan, seperti laki-laki yang ia panggil Kak Maulana. Fatimah sudah menobatkan mereka kembar yang terpisah sejak lama.
"Ya udah, apa?" Seperti biasa, Fatimah mengalah kepada orang yang lebih tua.
"Mas cuman mau nanya sama kamu, apa alasan kamu ikut bantu Alan selain karena rasa kemanusiaan?" tanya Mas Fatah. Fatimah terdiam, kepalanya tertunduk. Menatap ujung-ujung kakinya yang terbalut kaus kaki rasanya lebih menyenangkan daripada harus bersitatap dengan Mas Fatah. Pria itu menatapnya penuh intimidasi.
Fatimah tahu betapa Mas Fatah khawatir padanya. Mas Fatah sudah berjanji kepada Mama untuk selalu melindunginya, menjaganya, dan mencukupi semua kebutuhannya. Menurut Fatimah, Mas Fatah itu terlalu baik kepadanya. Hingga tak jarang dia merasa tidak enak hati. Jadi, kalau sesekali Mas Fatah bertanya seperti ini, dia bingung harus menjawabnya dengan apa. Tetapi, hebatnya Mas Fatah selalu bisa mengerti apa yang dia rasakan.
"Nggak perlu dijawab, Mas udah tau. Kamu dilamar sama Alan kan kemarin? Mama kamu udah cerita ke Mas. Udah keliatan jelas kok, kamu ada rasa sama Pemuda itu kan?"
Fatimah makin menundukkan kepalanya dalam-dalam. Mendengar penuturan Mas Fatah membuatnya semakin dikerubungi rasa malu. Ah, mau dibawa ke mana mukanya sekarang? Padahal Fatimah tidak ingin ada orang yang tau tentang lamaran itu, apalagi soal perasannya. Namun, pada akhirnya Fatimah mendongakkan kepalanya dengan pipinya yang bersemu.
"Syaratnya harus banget jawab pertanyaan itu? Nggak bisa yang lain?" Fatimah mencoba bernegosiasi. Kalau hanya berupa pertanyaan, apakah dia menyimpan rasa ke Alan atau tidak? Rasanya sangat tidak etis. Bahkan tanpa menjawabnya pun Mas Fatah sudah tahu. Lebih ke seni menambah malu saja.
Untuk kesekian kalinya Mas Fatah tertawa.
"Enggak, Fatimah. Syaratnya bukan itu." Mas Fatah menarik napasnya panjang. Mimik wajahnya kini berubah menjadi serius, tidak seperti sebelumnya yang memasang wajah jenaka. "Mas bakal bantu kamu, tapi dengan satu syarat : Kamu tolak lamaran Maulana Malik Ibrahim itu," pintanya, nyaris membuat jantung Fatimah berhenti berdetak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tasbih Pengantar Jodoh ( Terbit )
Teen FictionTELAH TERBIT DI CV FIRAZ MEDIA PUBLISHER Maulana Malik Ibrahim. Dia kira, dia yang paling terluka. Ternyata selama ini dia yang membuat hati seorang perempuan terluka. Dia kira, dia sudah cukup menghargai perasaan perempuan. Tetapi ternyata, dia ti...