KEHILANGAN SOSOK PERAN PENTING

12.5K 505 13
                                    

Kediri, 13 Februari 2014. Jawa Timur 

Kediaman keluarga yang begitu damai, harmonis, yang berpenghuni tujuh orang. Pasangan suami istri yang memiliki Lima anak, tiga putri kecil, dua putra kembarnya. Kehadiran putra putrinya, membuat kehidupan mereka menjadi lebih berwarna.

Mereka tinggal didaerah pedesaan, lumayan dekat dengan pegunungan. Suasana sekitar yang begitu indah asri semakin semangat untuk beraktivitas.

Suasana sore hari, memperlihatkan, Lima saudara berumur sekitar tujuh sampai empat belas tahun saling bercanda berlarian, bermain di perkarangan rumah.

"Kejar aku, kejar aku, wlee gak kenak," Teriak anak gadis berumur tujuh tahun.

Seorang abang paling tua yang sedari tadi mengejar adik bungsunya, terlihat mulai kelelahan, "Cukup dek, capek," ucapnya terengah engah memegang kedua lututnya.

"Awas, ya, kamu kalau ketangkep. Abang gelitikin sampai nangis kamu," lanjutnya bergurau kepada adiknya yang tengah berdiri menatap polos abangnya.

Dari arah lain, dibawah semilir angin mengenai dedauan hijau di pohon. Terdapat sepasang kekasih yang sudah menyandang sebagai orang tua, duduk tersenyum diatas benda terbuat dari kayu biasa sebagai tempat duduk. Mereka merasakan bahagia melihat putra putrinya akur, tengah bergurau bermain satu sama lain.

"Mas, emang bener ya, bahagia itu sederhana. Cukup melihat anak sendiri tertawa kayak gini bikin ati adem."

Perempuan berusia sekitar tiga puluh empat tahun itu menyandarkan kepalanya, didada bidang suaminya,

"Mas, kira kira, aku bisa menemani mereka sampai tumbuh dewasa gak ya?"

"Astaghfirullah,  gak boleh ngomong gitu sayang, pamali. Mas akan temani kamu, terus, sampai mereka tumbuh dewasa," ucap pria berusia sekitar tiga puluh tujuh tahun, ia mengecup sekilas puncak kepala istrinya.

Kedua netranya menatap wajah cantik istrinya, "Jangan pernah berpikiran begitu lagi. Sayang, selagi kita masih mampu, sebisa mungkin, kita harus menemani mereka sampai tumbuh dewasa. Melihat mereka tumbuh menjadi anak sholeh sholeha dan sukses," Sambung pria berusia sekitar tiga puluh tujuh tahun dengan suara menenangkan.

Jika empat bersaudara saling bercanda, beda dengan salah satu saudara mereka yang cowok. Dia lebih memilih sendirian membaca buku, kemanapun, selalu membaca buku, jarang bergurau dengan saudaranya.

Keempat saudara itu, tengah asik bercanda, tiba tiba saja tanahnya terlihat gemetar. Suara gemuruh membuat kelima saudara ini berhamburan berlari menuju umi dan abinya. Kedua orang tuanya langsung memeluk anak anaknya

"Umi takut, umi."

"Iya umi takut, kenapa tanahnya gemeter."

"Akhhh, umi suara apa itu."

Suara tangisan dan rasa takut seorang anak semakin pecah, "cup cup, gak ada apa apa sayang. Udah jangan nangis, ada umi abi disini."

Sebagai orang tua mereka berusaha terlihat tenang dan tidak panik dihadapan anak anaknya. Seorang ibu berusaha menenangkan putra putrinya agar tidak semakin menangis.

"Sayang ayo kesana, di dekat pohon rawan, takutnya nanti roboh mengenai kita," ajak seorang pria menyandang sebagai seorang suami sekaligus ayah untuk putra putrinya. Mendengar arahan suaminya, perempuan itu mengangguk dan mengikuti intruksinya.

Berdekatan dengan pohon dalam keadaan begini. Memang sangat berbahaya, bisa roboh atau patah. Jika, berada diluar saat gempa sebisa mungkin mencari tempat yang lebih aman.

Tanah bergetar semakin kuat, membuat mereka semua berjongkok. Tangan kekar seorang ayah bergerak menutupi kepala putra putri dan istrinya. Semakin mempererat pelukannya untuk melindunginya.

LauhulMahfudz [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang