4. Peduli

2.2K 466 91
                                    

Tolong tinggalkan vote dan komen, ya❤️ Happy reading🖤

***

Bising desing peluru beradu dengan detak jantung Leah yang bertalu-talu. Bunyi retakan kayu yang tertembus proyektil, teriakan para peternak—jadi melodi mengerikan yang iris-iris gendang telinga Leah. Perempuan itu lemas sebadan-badan dalam dekapan Jervis. Leah memejam erat, jemarinya meremas kuat lengan si sulung Colton. Leah seakan-akan dapat melihat pintu kematian, berjarak begitu dekat, dan hanya butuh satu peluru bersarang di tubuhnya untuk menyongsong sekarat.

Napas Leah memburu lantaran situasi menegangkan ini berhasil memompa adrenalin, membuat alarm waspada di kepalanya menjerit-jerit. Bahkan setelah serangan sporadis tersebut berhenti, perempuan itu tak mampu menenangkan diri sendiri; masih tersengal-sengal dalam mengambil napas, masih mencengkeram kuat lengan Jervis, masih enggan untuk membuka mata. Leah dibelenggu kelewat erat oleh keterkejutannya.

Jervis yang menyadari betapa shock Leah lantas berbisik, "You okay?" Tak ada jawaban. "Tidak apa-apa, sudah tidak apa-apa sekarang. Tenanglah." Lelaki itu mengusap konstan bahu Leah yang bergetar samar, mencoba menenangkannya melalui sentuhan.

Leah mengembuskan napas panjang, lantas perlahan-lahan membuka mata hanya untuk membuat sesak di dada bertambah saja. Sapi di hadapannya sudah tak berkutik, bersimbah darah, pemandangan yang mengingatkannya pada kejadian semalam. Oh, astaga, ia pening. Baru beberapa jam menginjak tanah Belleza dan sudah sebanyak ini tragedi yang ia temui. Leah rasa ia tak akan betah berlama-lama di tempat terkutuk ini. Tidak, Leah tak sanggup.

"Cengkeramanmu sebentar lagi akan mematahkan tanganku," bisik Jervis, membuat Leah segera tersadar dan buru-buru mencondongkan badan demi melepaskan diri dari dekapan lelaki itu. Jervis menegakkan badan, usap noda darah di wajah, kemudian menatap Leah. "Kau tidak apa-apa?"

Leah memaku pandang pada sapi, menatap jasad hewan itu dengan sorot kosong. Ia tidak merespons, linglung, masih berusaha menata fokus dan kewarasan yang sempat kocar-kacir. Leah sering melihat adegan baku tembak di film-film, terlihat sangat keren, tetapi mengalaminya sendiri ternyata mengerikan sekali. Suara satu tembakan berhasil merontokkan segenggam keberaniannya, dan yang tadi itu bertubi-tubi sehingga seluruh energi serasa lenyap dari raga Leah.

"Aku ...," gumam Leah dengan muka pucat pasi. "Nyaris mati, astaga ...."

"Hanya nyaris," sahut Jervis enteng sembari melarikan tatapan ke sekitar. Kening lelaki itu mengernyit samar selagi menelisik sisa-sisa kekacauan.

"Hanya?" Kewarasan Leah seketika kembali ke tempatnya. Ia tersinggung! Ia mendongak, melayangkan tatapan nyalang pada Jervis. "Apa kau punya nurani?! Bisa-bisanya berkata begitu pada orang yang hampir mati! Aku bukan kau yang terbiasa dengan situasi sialan ini, bajingan! Dasar bajingan! Kuharap Tuhan mengutuk bajingan sepertimu!" Kepanikan Leah sampai hilang tergantikan kekesalan.

Satu alis Jervis naik, lagi-lagi heran melihat sikap hiperbolis perempuan itu. Benar-benar cerewet seperti yang dikatakan Lily. Namun, Jervis sedikit bisa memahami reaksi berlebihan Leah lantaran baku tembak bukanlah sesuatu yang umum terjadi, apalagi di Kota di mana Leah berasal. Maka ia pun bertanya, "Apa kau bisa berdiri?"

"Tentu saja!" balas Leah sewot sambil berusaha bangkit, sayangnya tak bisa, kaki Leah lemas dan sulit digerakkan.

Jervis peka dan langsung berjongkok, menyuguhkan punggungnya, tawari Leah bantuan untuk menggendongnya.

"Apa?!" Leah menyalak galak, nyaris saja ia tendang punggung Jervis biar lelaki itu tersungkur. Namun, sayang sekali kakinya lemas! "Kenapa kau mau menggendongku? Kau pikir aku ini kekasihmu?! Menggelikan sekali!"

[✓] E N I G M A Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang