17. Teror

2.1K 337 87
                                    

🔞

***

Berbeda dengan perjalanan Jervis dan Leah yang berisik, Nathan kemudikan mobilnya dalam kesenyapan lantaran Lily tidur sepanjang jalan. Terkadang perempuan itu bangun hanya untuk meminta mobil menepi karena ingin buang air kecil dan membeli makan.

Sebelum menuju ujung Kota, mereka sempat singgah di pusat Kota, di salah satu rumah sakit untuk mengobati luka-luka Nathan. Baru sampai di tempat tujuan saat sore menjelang malam. Namun, mereka tak dapati eksistensi Leah dan Jervis di sana.

Seusai Nathan menghubungi Jervis lewat ponsel Lily, barulah diketahui bahwa dua yang dicari-cari memang tidak pergi ke sini. Nathan sempat menawarkan untuk putar balik demi bisa bergabung dengan Jervis dan Leah, tetapi Lily menolak. Terlalu lelah, alibi perempuan itu. Alhasil mereka memilih menetap di rumah sederhana tersebut. Bangunan tidak terlalu besar yang terletak tak jauh dari pantai. Hanya sedikit orang yang berlalu lalang, benar-benar kawasan tenang. Nathan sengaja memilihnya sebagai tempat untuk menenangkan diri. Tempat kecil dan hangat yang memberinya nuansa seakan-akan berada di rumah, walaupun sejatinya ia tak benar-benar paham bagaimana rumah terasa, sebab mansion mewah di Belleza lebih mirip neraka baginya.

"Tidak bisakah kau bilang dulu jika mau bepergian?" Nathan bertanya kesal selagi mengambil posisi duduk di sebelah Lily. Pasalnya perempuan itu keluar rumah tanpa berpamitan, bikin Nathan yang baru terbangun kontan kelimpungan. Nyaris saja ia menuju pusat Kota, mengira Lily kabur ke sana. Beruntung ketika Nathan memijak ambang pintu, ia melihat eksistensi Lily di kejauhan; duduk sendirian di bibir pantai sembari memandangi lautan. Hangat sinar matahari yang baru naik dari peraduannya memang tak boleh dilewatkan. Sunrise-nya menawan dan cantik, seperti Lily.

Anak rambut Lily berayun pelan kala tertiup embusan angin. Ia suka sekali pemandangan matahari merangkak naik di ujung lautan, warna jingganya terpantul jelas di obsidian Lily yang menawan, jadi berkilauan. Dan entah kenapa kedatangan Nathan tidak lagi terasa seperti sesuatu menyebalkan. Di momen ini perempuan itu suka akan fakta bahwa Nathan duduk di sana, membersamainya. "Terima kasih."

Nathan menengok, agak naik sebelah alisnya mendengar ucapan Lily yang tak jelas awalannya itu. "Untuk apa?"

"Untuk kau yang membawaku ke tempat ini." Lily menyambut tatapan bingung Nathan, dan tak diduga-duga ia menyungging senyum tipis, praktis menuai kernyitan Nathan. Menyadari Nathan menganggap sikapnya aneh, Lily pun mendengkus sembari putar bola mata; balik ke tabiat aslinya. Ia mendadak menyesal sudah inisiatif membangun suasana serius dengan Nathan. "Jangan cengengesan, sialan."

Digertak begitu, Nathan justru malah melepas tawa. Ia mengalihkan atensi ke depan, memicing sekejapan demi memperjelas penglihatan. Kemudian Nathan menghela napas, menemukan ujung lautan ternyata serupa masa depan. "Tidak jelas," gumam lelaki itu.

"Aku?" sahut Lily datar.

"Bukan, bukan!"

"So?"

"Ujung lautan. Kira-kira apa yang ada di sana ya, Lily? Aku jadi penasaran."

"Ada beberapa hal yang baiknya tetap menjadi misteri, seperti ujung lautan. Seperti kebenaran tentang orang tua kita." Tatapan Lily menerawang jauh ke beberapa bulan lalu, mengandai jika dulu tak pernah pergi ke Belleza dan terlibat dengan segala kegilaan yang kini mencekiknya. "Kalau bisa, aku sungguh mau memutar waktu, merelakan Sonia di sana, tetap buta atas fakta bahwa Benjamin masih ada. Hidupku sudah berantakan sejak lama, tapi ternyata berantakanku yang dulu masih ada mendingnya. Definisi bertahan hidup sudah berubah bagiku. Yang dulunya hanya tentang bagaimana cara mencari uang untuk makan, sekarang bertahan hidup sungguhan. Bertahan tetap hidup, bertahan untuk tidak terbunuh." 

[✓] E N I G M A Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang