5. Bolehkah?

2.7K 452 115
                                    

JANGAN JADI SIDER!

***

Selain sangat aneh, Nathan ternyata juga sangat kaya—keluarga Colton yang tajir melintir lebih tepatnya. Fakta tersebut membuat rasa muak Lily terhadap Nathan agak berkurang. Ya, walau cuma secuil saja. Lily mata duitan? Tidak, tetapi realistis. Sejak dulu hingga sekarang uang adalah segalanya. Uang bisa membeli semua hal tanpa terkecuali; rasa hormat, hukum, bahkan nyawa sekalipun. Akan Lily anggap naif mereka yang mengatakan bahagia tak bisa dibeli dengan uang. Itu omong kosong, Bung!

Sejak menginjakkan kaki di kediaman keluarga Colton, sebuah mansion gaya klasik yang berdiri angkuh di sebelah jalan utama distrik satu, Lily tidak henti-hentinya memuji dalam hati. Ia terpukau oleh tampilan interiornya yang sederhana, tetapi menjeritkan kemewahan. Dinding dan furniture didominasi warna putih dan hitam, memberi impresi elegan. Desain itu seakan-akan menjelaskan energi para penghuni hunian tersebut; tegas dan tangguh. Sederhana, tetapi berkelas. Lily serasa menapaki dunia yang bukan levelnya. Lihat saja lampu kristal yang menggantung di banyak ruangan, wah, pasti gaji Lily bekerja sebagai budak korporat selama satu tahun tak akan sanggup membelinya.

Tidak sampai di situ.

Yang membuat nyali Lily sedikit menciut adalah, ketika ia pergi ke halaman belakang dan menemukan satu mansion mewah lainnya. Sama megah. Ada dua set sofa tersuguh di teras, lengkap dengan private pool. Hanya saja aura di sini terasa lebih suram, lebih membangkitkan bulu kuduk. Apalagi saat memasukinya, pundak Lily langsung meremang sebab dapat membaui aroma-aroma khas yang menjijikan; bau formalin bercampur bau bangkai—pokoknya hawa di dalam sana sangat bertolak belakang dengan mansion pertama.

Tidak banyak orang di sana, tetapi keberadaan satu-dua orang yang Lily temui sukses membuatnya jengkel. Lily tidak tahu siapa orang-orang berperawakan tinggi tegap dengan tampang-tampang sangar itu, yang jelas mereka menyulut emosi Lily lantaran terang-terangan menggoda Nathan dengan mengatakan, "Wah, akhirnya kau membawa seorang perempuan ke rumah, Nana!" Lalu ditanggapi anggukan antusias oleh si bungsu Colton, bikin Lily serasa mau menghantam muka tampannya. Yeah, ia akui rupa Nathan cukup menawan.

Jika di mansion pertama nuansa ruangan hangat, di sini sebaliknya. Mungkin karena pencahayaan tak terlalu terang, ditambah interior dan furniture nyaris semuanya berwarna hitam. Kelam, sarat misteri. Kendati begitu, Lily masih bisa menyelami alam mimpi selagi menunggu Nathan melakukan pengangkatan peluru di bahu. Lily merebah di sofa yang Demi Tuhan—empuk sekali! Bau-bau aneh tadi tak mampu menahan kantuknya.

Jika Leah yang diseret ke sini, sudah pasti bakal berpikir ribuan kali untuk sekadar memejam beberapa detik saja saking waspadanya. Namun, ini Lily, dia punya insting kuat mendeteksi bahaya di sekitarnya. Dan di tempat ini, meskipun bangunannya seperti tempat yang digunakan para psikopat di film-film thriller, tetapi Lily dapat merasakan sunyi yang cukup damai.

Satu setengah jam berlalu, tetapi Lily belum terjaga. Nathan berlutut di sisi sofa, nyaris sepuluh menit sudah ia memaku pandang pada wajah cantik perempuan itu. Mata Nathan tidak berbinar sebagaimana biasanya ia menatap Lily. Tak ada pula senyum jenaka. Ekspresinya dingin dan mati.

Ini Nathan yang sama yang lantang menyuarakan ketertarikan kepada Lily, tetapi kali ini ia menunjukkan wajah asli. Sisi yang muncul hanya saat Nathan sendiri. Ia mengulurkan tangan, membelai pipi Lily dengan hati-hati. Sunyi menjadi kawannya sepanjang melarikan pandang pada tiap lekukan sempurna di wajah itu.

"Berhentilah menyentuh orang tanpa izin." Tiba-tiba Lily bersuara, disusul terbukanya mata perempuan itu. Ia menatap Nathan datar, lantas tepis tangan Nathan dari pipinya. Decakan Lily tidak tertahan lantaran muak mendapati cengiran tengil Nathan beserta keadaannya yang shirtless.

[✓] E N I G M A Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang