Dahi Nathan mengernyit di sela-sela mengikuti langkah Regan. Pasalnya alih-alih ke garasi, si putra Hamilton malah melajukan kaki ke satu lorong panjang minim penerangan yang berujung pada sebuah pintu besi. Selagi Regan mengotak-atik kunci gembok, Nathan menoleh pada Lily.
Tidak sepatah kata pun terlontar dari bibir Nathan, tetapi matanya kelewat nelangsa menatap wajah Lily. Seperti biasa, Nathan tak menemukan meski cuma setitik rasa takut di cokelatnya manik perempuan itu. Ekspresi wajah Lily datar, gerak-geriknya juga santai, gelagat ini jauh lebih tenang daripada Lily yang pertama kali Nathan temui. Di titik ini Nathan kesulitan meraba bagaimana Lily merasa, emosi tidak tampak di matanya. Di sisi lain, Lily berlagak fokus menyaksikan Regan berusaha membuka pintu meskipun Lily sejatinya menyadari sepasang mata memaku pandang padanya. Ia enggan melihat wajah Nathan, enggan melihat kenelangsaan di obsidiannya yang tumben-tumbenan gamblang.
"Kau marah padaku?"
Tanya yang lepas dalam nada lembut itu membuat Lily menoleh. "Kenapa aku harus?" tanya Lily. "Anyway, aku mau meluruskan sesuatu. Kau tidak perlu merasa terbebani dengan apa yang terjadi padaku. Tak perlu juga merasa harus melindungiku. Urusi saja urusanmu sendiri, lalu aku pun akan melakukan yang sama. Setelah ini kita mungkin tak akan bertemu lagi, bisa jadi karena kita mati, atau karena kita selamat dan kemudian aku kembali ke Kota. Meneruskan hidup seperti sebelumnya. Apa pun yang terjadi nanti, aku pikir sekarang aku harus meluruskan sesuatu yang mungkin saja kau salah pahami selama ini."
"Apa itu sesuatu yang aku salah dalam memahaminya, Lily?" tanya Nathan.
Di bawah, Lily mengepalkan tangan, gesture tersebut kontradiksi dengan balasan yang Lily lepas dalam nada pelan, "Aku tidak mencintaimu." Lily lalu mengembalikan fokus ke depan, menghindari tatapan Nathan. "Aku mengatakan ini karena merasa kau mulai serius dengan perasaanmu, Na. Sekarang kau bisa berhenti di sana. Kau harus berhenti. I don't want you to love me more and more. Paham, 'kan?"
"Kalau begitu, Lily," kata Nathan sama pelannya, "kita harus mati malam ini. Kalau kau tidak mati di tangan orang lain, kau harus mati di tanganku. Kau masih ingat kesepakatan yang sudah kita buat di malam pelelangan, 'kan? Ya, you belong to me." Nathan pamer senyum miring mendapati kekagetan di mata Lily. Lalu begitu saja sisi baik Nathan menghilang, semena-mena ia merangkul bahu Lily, mengusakkan dengan lembut sisi kepalanya ke sisi kepala Lily. Dan Lily pun berakhir tenggelam dalam ketidakpercayaan.
Sementara di belakang mereka, Ken dan Casey menunggu tanpa kata. Lalu mundur selangkah lagi terlihat Jervis yang sedang berusaha meluluhkan kekesalan Leah. Dalam situasi gawat pun sempat-sempatnya perempuan itu cemburu, Jervis agak tidak habis pikir.
"Berhenti memegang bahuku," tegur Leah lantaran sedari tadi Jervis terus menoel-noel bahunya. "Dengar tidak?"
Jervis menggeleng, tampangnya melas macam anak anjing kehilangan induk. Leah sejatinya tak betulan cemburu, hanya sedikit sebal saja mendengar Jervis mengatakan perempuan lain memiliki nama yang cantik. Bahkan meskipun cuma untuk meluluhkan Gladys agar melepaskan mereka, tetap saja Leah merasa dongkol-sedikit.
"Leah," panggil Jervis.
"Apa?!" balas Leah sewot.
"Leah," ulang Jervis.
"Apa, sih?!"
Jervis mengulum senyum. "Leah."
"Kau mau kupukul?!" Leah melotot. "Berhenti memanggil namaku, ya!"
"Tidak bisa, aku suka namamu. Aku mau menyebutnya sampai aku mati. Di dunia ini boleh jadi banyak nama perempuan lain yang cantik, tapi aku hanya ingin mengingat satu nama perempuan sampai aku mati, Leah."
Leah mendengkus.
"Ah, ralat. Mungkin di masa depan bukan cuma namamu, mungkin akan ada satu atau dua nama cantik lain yang akan aku simpan di kepalaku."
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] E N I G M A
Mistério / SuspenseHilangnya sang mama membuat Cordelia bersaudara harus menapakkan kaki di Belleza. Belleza; daerah sarang kriminal. Memaksa mereka berurusan dengan Colton bersaudara. Menguak fakta. Tragedi dan romansa tercipta. Akankah Leah dan Lily berhasil menemuk...