6. Clumsy

2.4K 433 96
                                    

Nathan bergeming di depan sebuah ruangan, menatap hampa ukiran serigala yang terdapat pada pintu. Kedua tangannya mengepal erat di sisi tubuh, indikasi ada kemelut tengah bergemuruh dalam kepala. Tidak ada emosi berarti di wajah Nathan, tetapi setitik rasa takut perlahan mengoyak nyalinya. Ia kehilangan kepercayaan diri tiap kali hendak temui seseorang di balik sekat kayu kokoh tersebut.

Suara napas yang terembus panjang dan sarat beban menggerus hening, disusul bunyi derit pintu. Nathan membusungkan dada dan sedikit mengangkat dagu sebab sang ayah paling anti melihat ia datang dengan wajah menunduk—gesture tubuh orang-orang lemah; kata lelaki usia setengah abad yang menduduki puncak hirarki dalam keluarga Colton.

Di ruangan berpenerangan temaram, Dominic Colton duduk di balik meja kerjanya. Satu gelas Wine menemani keterdiaman lelaki itu. Ia menyambut kedatangan Nathan dengan tatapan datar. Ujung telunjuk Dominic secara konstan mengetuk pinggiran gelas selagi menunggu Nathan sampai ke hadapannya. Begitu laju kaki sang putra berhenti terpaut tiga langkah dari meja, gelas di tangan Dominic langsung dilemparkan pada Nathan.

Brak!

Telak, menghantam muka.

Prang!

Gelas lantas jatuh dan praktis pecah, serpihan kacanya berserakan di sekitar kaki Nathan. Wine menetes dari wajah dan baju lelaki muda itu. Nathan tidak menunjukkan ekspresi kesakitan, tidak juga tampak terkejut, dia tidak diizinkan melakukannya di hadapan Dominic. Saat berhadapan dengan kepala keluarga Colton itu, setiap orang harus menjelma sosok tangguh, apalagi ini Nathan yang notabene putranya. Setiap anggota keluarga Colton dilarang menjadi lemah. "Akan kubereskan secepatnya, Ayah," kata Nathan, merujuk pada sesuatu yang membuat Dominic kesal.

"Jangan terlalu banyak bermain, Nak. Kau tau seberapa berbahaya musuh yang sedang kita hadapi." Dominic menarik laci pada meja, mengambil satu lagi gelas yang kemudian ia isi dengan cairan merah memabukkan. Dominic menyesapnya dengan tenang sembari menatap lurus wajah Nathan.

Darah meluncur ke pipi Nathan—pelipis sebelah kanannya sobek. Bukan luka parah, terhitung ringan mengingat ia pernah nyaris mati ketika kepalanya dipukul tongkat bisbol oleh lelaki tua itu. Beginilah hidup Nathan; tidak beruntung sama sekali kendati menjadi putra dari orang yang paling disegani di distrik satu. Kalau kata Lily, Nathan itu tidak waras, tetapi jika Lily bertemu Dominic, Lily mungkin tidak akan menemukan kata untuk mendefinisikan betapa gila lelaki itu.

"Pergilah, aku sudah selesai."

"Ayah." Sebentar, Nathan punya satu tanya untuk Dominic. Sebuah tanya yang dipendam Nathan sejak lama, tanya yang berpotensi dihadiahi lemparan gelas lainnya oleh Dominic.

"Kenapa?"

"Kenapa—" Nathan tercekat, tiba-tiba rasa takut memukul keberaniannya persis saat tatapan mereka bertemu. Namun, segera ia memejam demi menggenggam kembali nyali. "Kenapa hanya aku yang diperlakukan seperti ini, Ayah? Kenapa gelasmu hanya terlempar ke arahku? Kenapa aku?"

"Kau sedang mengeluh sekarang?"

"Aku bertanya."

Dominic beranjak dari kursi, lantas melangkah tegas ke hadapan Nathan. Dalam menunjukkan emosi, Dominic itu persis seperti Jervis, tak ekspresif. Orang-orang kesulitan mengetahui kapan ia senang dan kapan ia murka. Dominic itu sulit dibaca, itulah alasan yang menjadikannya amat berbahaya.

"Coba tanyakan sekali lagi, Nana."

Shit! Nathan mengumpat dalam hati. Alarm tanda bahaya berdering di kepalanya. Jika Dominic menyebut panggilan tersebut, berarti Nathan akan jadi samsak tinju sebentar lagi. Namun, kepalang basah, Nathan pun bersedia babak belur asal dapatkan jawaban. "Kenapa hanya aku yang selalu diperlakukan seperti ini—" Sayangnya Nathan tidak diberikan kesempatan merampungkan tanya, ia jatuh berlutut sembari mati-matian menahan ringisan. Ulu hati Nathan perih usai ditinju Dominic barusan.

[✓] E N I G M A Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang