18. Pelaku Baru?

2.1K 343 103
                                    

Sore itu, suasana ruang tengah rumah Cordelia bersaudara kontan sunyi senyap selepas Nathan menjelaskan kesadisan Dominic terhadap Axel. Leah resmi kehilangan kata-kata, dengan lesu menyandarkan pipi ke bahu Jervis yang bereaksi bak orang linglung di sebelahnya. Mereka kini tunjukkan raut wajah serupa; frustrasi.

"Tapi bagaimana bisa Dominic tau tentang rumah di ujung Kota, Na? Seingatku hanya kita dan Hasley yang pernah ke sana, atau kau menyalakan ponselmu dan Dominic melacaknya?"

"Ponselku hancur saat melarikan diri, ngomong-ngomong," balas Nathan. Ia tiba-tiba terkekeh sumbang, kontan menyita atensi tiga yang lain. "Apa mungkin Hasley membocorkannya?" Sebab bagi Nathan, semua orang yang tinggal di Belleza tak layak dipercaya, kecuali Jervis. Bahkan Hasley yang telah ia kenal hampir sepuluh tahun pun berpeluang mengkhianatinya.

"Bukankah Hasley temanmu?" Lily bertanya dengan nada tidak suka. Ia keberatan Hasley dicurigai Nathan. Meski sang sepupu menyebalkan luar biasa, tetapi Hasley tetaplah keluarga.

Nathan mengedikkan bahu sambil sungging senyum misterius, bikin Lily mendengkus. Sementara Leah sendiri tidak berniat buka suara, terlalu lelah dengan segala yang terjadi. Situasi berubah, rencana tinggal rencana. Sekarang Jervis dan Nathan yang harusnya jadi perantara untuk menghancurkan Dominic malah berbalik jadi sekutu. Bertambahnya kawan dalam aksi balas dendam ini tentu keuntungan, tetapi bersamaan dengan itu resiko mati juga semakin besar lantaran Dominic kini memburu Jervis dan Nathan. Dari cerita Nathan barusan, Leah menarik kesimpulan bahwa Dominic benar-benar niat menghabisi Colton bersaudara.

"Lalu sekarang bagaimana?" tanya Lily. Wajah perempuan itu kuyu, efek dari semrawutnya isi kepala. "Kita tidak boleh berdiam diri terlalu lama, 'kan?"

Tanya Lily dilumat hampanya udara, tidak ada yang menyahuti lantaran baik Jervis dan Nathan juga belum mendapatkan pencerahan. Menilik keadaan sekarang di mana mereka hanyalah sekumpulan anak muda yang tengah meraba-raba harus ke mana membawa langkah, Dominic tentu saja bukanlah lawan sepadan. Jangankan membunuhnya, bahkan sekedar menjangkau lelaki itu saja rasa-rasanya agak mustahil. Nathan yang biasanya punya seribu cara untuk melumpuhkan musuh lewat intrik-intrik liciknya pun tak berdaya. Jelas, yang dia hadapi kini adalah seorang Dominic; lelaki yang Nathan teladani sikap nistanya selama ini.

"Leah, aku haus." Jervis mengelus sekali kepala Leah sebelum dengan lembut mendorongnya dari bahu, setelah itu ia beranjak ke dapur.

"Susul dia, Leah," kata Nathan sambil terkekeh geli, tatapannya setia ikuti sosok Jervis hingga lenyap di balik pintu. "Anak itu pasti mau menangis."

"Jervis? Menangis?" Leah bertanya seraya loloskan dengkusan. "Apa dia dekat sekali dengan Axel sampai dia menangisi kematiannya?" Leah tidak akan mengesampingkan fakta bahwa Jervis juga manusia yang perasaannya bisa terluka karena sebuah kehilangan. Apalagi bagi mereka yang hidup di Belleza. Leah pernah mendengar jika orang-orang yang tinggal bersama di lingkungan berbahaya cenderung lebih solid dalam berteman. Mereka memiliki ketergantungan emosional pada satu sama lain sebab merasa bahwa di tengah himpitan tekanan masihlah ada yang bisa dipercaya.

"Axel lebih terasa seperti ayah kami ketimbang Dominic sendiri, jadi tentu saja kami dekat dengannya." Nathan menghela napas, mencoba enyahkan kilasan kejadian pagi tadi di mana ia melihat seonggok kepala berlumuran darah. Wajah yang kerap tunjukkan ekspresi enggan itu ke depannya tak akan lagi bisa ia jumpai. "Hanya saja, alih-alih sedih, aku merasa sangat marah. Jervis pun begitu, makanya anak itu pasti menangis sekarang."

"Dia menangis saat marah?" Mata Leah berbinar-binar. "Kenapa lucu sekali?"

"Oh, kau jadi terang-terangan dalam menunjukkan ketertarikan setelah tidur dengannya, Leah?" cibir Lily seraya melayangkan tatapan malas.

[✓] E N I G M A Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang