14. Aku Ikut!

1.9K 366 113
                                    

Ancaman kematian bukanlah sesuatu yang terasa asing bagi Jervis. Setiap ia membuka mata di pagi hari, kematian adalah hal pertama yang terbesit di benaknya. Sebab di Belleza, tak sehari pun Jervis tak waspada. Bahaya ada di mana-mana, dan Jervis tahu aman tak pernah tertulis di kamus hidupnya. Kendati begitu, Jervis masih optimis mampu bertahan. Optimisme itu pun membawa Jervis hingga ke detik ini. Namun, saat Dominic yang menjelma sebagai bahaya itu sendiri, Jervis tak tahu harus berlindung ke mana. Nihil petunjuk. Ia frustrasi dan kehilangan harapan. Maka alih-alih segera pergi dari kediaman keluarga Colton usai tahu rencana Dominic, Jervis malah mendekam di kamar. Bergelut dengan kemelut. Bergemuruh seisi dadanya.

Di luar jendela hari sudah menggelap, nyaris temui tengah malam. Lelaki yang termenung di tepian ranjang sembari melamun panjang itu tak berniat beranjak. Tak berencana untuk melarikan diri sebagaimana yang Nathan suruh tadi siang. Jervis mau tahu apakah benar Nathan akan sungguhan mendatanginya malam ini demi eksekusi perintah dari Dominic.

Dan, ya. Nathan betulan datang. Bahu Jervis merosot lesu tatkala daun pintu kamarnya terbuka, Nathan berdiri di ambangnya dengan tampang kusut masai. Tatapan mereka beradu. Jervis membisu, nelangsa hiasi obsidiannya. Sementara Nathan yang kini berjalan gontai memasuki kamar juga tampak sama kacau. Tak ada lagi si sulung dan si bungsu keluarga Colton, sebab kini nama belakang Nathan adalah Hamilton. Sebuah kebenaran konyol, fakta yang menggelitik kewarasan Nathan. Namun, ketimbang itu, yang membuat Nathan ingin tergelak keras sekarang ialah, ia mendekat pada Jervis dengan niatan membunuhnya.

Begitu sampai di hadapan Jervis, terpaut jarak hanya selangkah saja, Nathan menghela napas. "Kau tau aku tidak mungkin membunuhmu, 'kan?" tanya Nathan, tetapi Jervis bergeming. "Jadi pergilah, Kak. Pergilah sebelum Dominic menyuruh orang lain. Kau tau sendiri tabiatnya. Apa yang dia ucapkan tak akan ia tarik kembali. Sekali bilang bunuh, maka bunuh."

"Kalau begitu bunuh saja," balas Jervis dengan suara parau. Lelaki itu memutuskan kontak mata, membawa jatuh tatapan kosongnya ke sepatu Nathan. "Katakan, Na, aku harus lari ke mana ketika seumur hidupku aku habiskan di sini? Aku harus lari pada siapa di saat Dominic merupakan satu-satunya tempatku berlindung?"

"Larilah ke manapun, ada banyak tempat di belahan bumi ini, Jervis. Lalu temukanlah orang baru untuk berlindung, atau temukanlah orang baru untuk dilindungi agar kau punya alasan untuk tetap hidup." Nathan mau sekali membeberkan segalanya pada Jervis, tetapi menjelaskan di saat seperti ini hanya akan menimbulkan keraguan bagi yang lebih tua. Nathan tahu sekarang Jervis sedang linglung, tertatih-tatih mempercayai realita. "Pergilah ke Kota, kau bisa tinggal sementara di rumah yang kita beli tanpa sepengetahuan Dominic. Akan kuusahakan berkunjung sesekali—"

"Berkunjung sesekali?" Jervis tertawa hambar. "Seperti aku akan bisa hidup lama saja. Kau ini denial sekali, Na."

Kesabaran Nathan habis. Secepat kilat ia merunduk dan mencengkeram kerah baju Jervis. "Kalau aku bilang pergi ya pergi." Ia mendesis marah. Tatapannya terhunus tajam, menikam setumpuk luka di netra Jervis. "Kau harus hidup. Apa pun yang terjadi kau harus hidup. Harus, setidaknya sampai kau bisa membunuh Dominic. Membunuh seseorang yang telah merenggut nyawa ibumu dan ayahku."

Giliran Jervis yang murka. Ia bangkit sembari menepis kasar pegangan Nathan, lalu bergerak cepat meraih rahang yang lebih muda. Ekspresi wajah Jervis menggelap seiring kian kuat cengkeramannya pada rahang Nathan. "Jangan membuatku harus berpikir di situasi seperti ini, sialan. Apa yang kau maksud membunuh ibuku dan ayahmu? Kepalaku sudah sakit, tak perlu kau pukul lagi dengan teka-teki sialanmu itu. Cepat jelaskan."

Nathan menggeram tertahan, lantas sekonyong-konyong memukul pipi Jervis hingga lelaki itu terhuyung. Tak cukup sekali, Nathan kembali dekati Jervis dan melayangkan pukulan lain ke wajahnya. Namun, Jervis tak begitu saja pasrah. Ia menarik kuat bahu Nathan hingga posisi pun berbalik; Jervis yang menduduki perut Nathan dan memukuli wajahnya bertubi-tubi. Nathan sejatinya bisa melawan, tetapi ia memilih defensif, hanya menaruh lengan di depan wajah demi menahan serangan. Nathan membiarkan Jervis meluapkan emosi. Di momen ini ia dan Jervis sama-sama merasakan frustrasi.

[✓] E N I G M A Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang