1

170 6 1
                                    

"Dengan ini, pengadilan menjatuhkan hukuman kurungan seumur hidup, kepada saudara Hendrawan...!!"

Sesosok remaja seketika berdiri, dengan wajah memerah padam. Dia berlari menuju pembatas antara kursi pengunjung, dengan area terdakwa.

"Hukuman yang pantas untukmu, adalah hukuman mati! Kau memang pantas mati! Jangan pikir, aku akan diam saja!!"

Terlihat jelas bahwa remaja itu, sedang diliputi emosi yang teramat sangat. Mulai dari sorot mata, teriakkan umpatan yang terlontar dari mulutnya, serta bagaimana urat-urat di lehernya itu sampai tercetak dengan jelasnya.

Sementara itu, diantara para pengunjung sidang yang hadir, dua orang yang telah hadir, bahkan sebelum pintu ruang sidang dibuka, hanya duduk terdiam, sambil terus memperhatikan bagaimana remaja itu masih saja berteriak penuh emosi, dengan segala kata-kata kasarnya.

"Sesungguhnya, Allah Yang Maha Mengetahui. Hanya kepada-Nyalah, kita semua akan berpulang..."

"Nenek..."

"Tidak, cucuku." Nenek tua itu, memandangi cucunya dengan tatapan mata sedih. "Biarkan kini sang waktu, memainkan perannya.."

"Tapi, nenek..."

"Kembalilah, jika memang sudah waktunya kau untuk kembali..."

Dengan penuh perasaan bersalah, remaja itu menatap sedih ke arah kursi terdakwa.

"Maafkan aku. Maafkan aku.."





Jakarta, 5 tahun kemudian...

Dengan wajah selalu merengut, pria bertubuh subur itu tak sedetik pun melepaskan pandangannya dari selembar kertas kasus dakwaan yang sedang dipegangnya.

Dia rasa, ada yang janggal dengan kasus yang kini sedang ditanganinya.

"Assalamualaikum..."

Satu alisnya terangkat. Sebelum akhirnya, dia tersentak bukan main, saat mendapati sesosok remaja kini sedang berdiri tepat di hadapannya.

"Kamu!? Siapa, kamu...?!" Dia berdiri dengan paniknya. "Bagaimana kau bisa masuk kesini...?!" Dia hampir saja menghubungi petugas keamanan, untuk mengusir remaja yang tidak terlalu tinggi itu.

"Selamat siang, Bapak Hakim Ankara."

Bukannya menanggapi, tapi pria bersuara berat itu, malah sibuk menekan-nekan tombol telepon kabelnya, yang padahal sama sekali tidak terdengar nada sambung.

"Bisakah kita berbicara sebentar saja..." Sosok itupun duduk di sofa empuk, meski tak ada yang mempersilahkan. "Senang rasanya, ternyata masih ada orang yang jujur dan bijaksana di negeri ini..."

Sepasang matanya menatap tajam, pada remaja berpenampilan sederhana, yang kini sedang duduk pada sofa panjang, dimana biasanya dia menerima tamu-tamu pentingnya.

"Apakah bapak hakim tahu, bahwa tidak ada satupun penyakit di dunia ini, yang tidak ada obat penawarnya...?"

Masih tetap berada di balik meja kerjanya, pria dengan umur yang sudah tidak muda lagi itu, masih saja menatap dengan penuh curiga.

"Aku tidak menjanjikan bahwa anak anda ---" Remaja itu menoleh dengan senyum simpul di wajahnya. "Bintang..."

Mendengar nama anaknya disebut, sekujur tubuh pria itu bergemetar hebat.

"Bagaimana kamu tahu tentang anak saya...?!"

"Allah SWT, tidak menurunkan sebuah penyakit, melainkan dengan penawarnya." Ucap remaja itu tenang. "Tolong bebaskan seseorang, untukku..."

Masih dengan perasaan gamang, Angkara pun mendekati sosok itu.

"Kamu jangan main-main!" Suaranya menggelegar.

"Apa anda sudah lupa dengan seseorang yang pernah anda masukkan ke dalam penjara, karena keputusan sepihak anda itu...?" Tanpa perasaan takut dan gentar, remaja itu menatap sang hakim.

"Tunggu. Apa maksudnya...?"

"Lima tahun lalu. Anda memasukkan seseorang ke dalam penjara, padahal anda tahu bahwa orang itu sama sekali tidak bersalah..."

Otak Angkara berputar keras. Puluhan kasus sudah pernah dikerjakannya. Bahkan keputusan yang pernah keluar dari mulutnya, telah membuat tak sedikit orang-orang jujur terbebas dari berbagai tuduhan dan dakwaan.

"Hendrawan Setiawan." Remaja itu menatap lekat.

Perlahan matanya membulat. Dia bukan tidak ingat dengan nama tersebut. Hanya saja, ada sesuatu yang membuat sekujur tubuhnya bergemetar hebat.

"Tolong bebaskan dia. Dan --- dengan izin Allah SWT, aku akan menyampaikan bahwa anak anda sembuh dari penyakit yang selama ini membelenggunya..."

"Kamu tahu, sudah berapa puluh dokter yang saya temui...?" Kedua oria berbeda usia itu, saling bertukar tatapan. "Bahkan rumah sakit ternama dengan dokter-dokter terhebat yang ada di Amerika sana saja, tidak ada yang benar-benar bisa menyembuh ---"

"Mereka, para dokter itu hanyalah manusia biasa." Remaja itu memotong, dengan suara tetap tenang dan pelan. "Demi Allah, sedikitpun aku tidak bermaksud untuk mencuri rahasia langit. Hanya saja, jika anda tahu --- orang yang anda masukkan ke dalam penjara itulah, yang akan menemani anak anda nantinya. Menggantikan posisi anda, dan isteri anda..."

"Kamu ini sebenarnya siapa..?"

Remaja itu memberikan sebuah pot kristal dengan bunga edelweiss yang sedang bermekaran dengan cantiknya, kepada Angkara.

"Atas izin Allah SWT, bunga ini tidak akan pernah layu. Hanya saja --- jika sesuatu akan terjadi, maka dia pun akan menunjukkan tanda perubahannya..." Perlahan sosok itu bangkit dari duduknya. "Seandainya saja anda bisa melihat ---"

"Edelweiss..."

"Ayah tahu tidak, semalam aku bermimpi lagi yang sama. Aku diajak main sama kakak baik hati. Disana ada banyak sekali, bunga-bunga yang sangat cantik, dan juga kupu-kupu..."

"Mereka berdualah, yang akan terus berada di sisiku. Menemaniku, dalam suka maupun duka..."

"Kamu ---" Angkara menelan ludah. "Apakah mungkin ---"

"Dia tidak benar-benar meninggal. Karena dialah yang nantinya akan memimpin negeri ini..."

"Siapa kamu sebenarnya...?"

Remaja itu mengulas senyum. "Sampaikan salamku pada anak anda. Aku minta maaf, karena setelah ini, aku tidak akan bisa mengajaknya bermain kembali. Selamat siang, Bapak Hakim Ankara. Assalamualaikum..."

"Tunggu...!!" Baru saja dia bangkit, seketika itu pula sosok itu menghilang dari pandangannya. "Bintang ---" Pikirannya menerawang. "Hendrawan..."

• • •

Life AfterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang