Chapter 18

283 19 7
                                    

.
.
.
.
.

Hamparan padang rumput luas sejauh mata memandang adalah apa yang dilihat oleh mata birunya. Semilir angin meniup lembut helai-helai rambut, membawa pergi angannya ke tempat yang terasa damai dan bebas. Bebas tanpa tanggung jawab, bebas tanpa beban, bebas tanpa dendam.

Sesosok orang dengan surai hitam terlihat sedang saling mengejar dengan seorang anak yang memiliki warna rambut sama. Tawa yang nyaring terdengar bagai alunan musik di telinga Naruto Uzumaki.

"Ayah, Ayah! Ayo pergi main!" Anak itu tersenyum lebar sambil berlari menghampiri Naruto.

Tangannya terangkat, mengelus lembut helai rambut hitam, "Boleh, nanti ya, Raa-kun."

Pipi bulatnya menggembung lucu, menghadirkan kekeh dari Naruto yang gemas melihatnya.

"Ayah selalu bilang nanti, ayo main!"

Namun Naruto tak berkutik, tangannya masih betah mengelus-elus helai rambut hitam anak itu. Benaknya dilingkupi rasa rindu, terlampau besar hingga tetes air mata menjatuhi pipinya. Sosok yang amat sangat ia rindukan ada di depannya, kini. Sosok yang selalu ia harapkan akan kembali menemani hari-harinya ada di hadapannya, kini. Naruto rindu, terlampau rindu hingga isak tangisnya kini terdengar, tak lagi berusaha menahan emosi yang membuncah.

Tatap mata Naruto beralih dari anak itu ke sosok berambut hitam lainnya yang kini datang menghampiri. Wajah cantik yang selalu ia rindukan setiap malamnya, elusan hangat dari tangan berkulit putih pucat yang selalu ia dambakan. Oh betapa Naruto merindukannya. Batin sudan terlampau kosong dan berdebu, dan Naruto rasa hanya sosok itu yang mampu mengembalikan warna dalam hidupnya.

Pandangannya kembali beralih pada anak tadi yang kini balik menatapnya "Raa-kun, kalau sudah besar nanti, kamu mau jadi apa?" Tanya Naruto di sela tetes air mata, dengan senyum yang kini terpatri di wajah.

Senyum lebar kini anak itu tunjukkan, "Jadi Raja yang hebat seperti Ayah!"

BATSS

Naruto Uzumaki, Raja dari Konoha itu kini terbangun di kasurnya dengan keringat yang menetesi pelipis, membasahi tubuh. Napasnya tidak beraturan, begitu cepat dan terdengar tidak nyaman.

Butuh waktu sekitar beberapa menit untuk Naruto menetralkan deru nafasnya, dan kembali menenangkan diri setelahnya.

Mimpi tadi, mimpi yang terlalu nyata bagi Naruto, bagai ia benar-benar bisa merasakan pelukan tubuh anak itu di kakinya dan senyuman tipis dari sosok bersurai hitam yang selalu ia rindukan. Mimpi yang terlampau keji bagi dirinya yang tak tahu harus membawa pergi ke mana rasa rindu yang membuncah itu.

Piyama hitam yang ia gunakan kini dibanjiri keringat, pun Naruto dapat merasakan tetesan air mata yang masih menjatuhi pipinya. Ia bahkan tidak sadar bahwa ia menangis sejak tadi. Benaknya terlampau luka dan ia tidak punya waktu untuk mengontrol emosi yang kini mendadak keluar begitu saja. Naruto bahkan tak ingat kapan terakhir kali ia bisa tersenyum dan tertawa dengan tulus.

Ah, tidak, ia ingat. Ketika dua orang yang ia cintai masih berada di sisinya, tawa Naruto tak pernah pudar dari semesta.

Rambut pirangnya digerut kasar, tak ingin kembali merasakan rasa sakit yang menyesakkan itu. Meski dendamnya tak kunjung hilang, namun setidaknya ia tidak mau merasakan nyeri yang tak tertahankan akibat kesalahan masa lalunya. Kecerobohan dan kenaifan masa lalu yang membuat dirinya kehilangan dunianya.

Royalty | Menma•BoruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang