Chapter 12

570 40 7
                                    

Meminum teh di sore hari sudah menjadi kebiasaan yang mulia puteri Himawari. Terutama bila suasana hati sang puteri sedang senang dan cahaya mentari menyinarinya hangat seperti saat ini.

Dengan berlatar taman bunga mawar, sang puteri duduk dengan anggun di sebuah kursi perak dengan ukiran melingkar berwarna emas, di depannya terdapat meja bundar cukup besar yang tertutup kain putih panjang hingga menyentuh rerumputan. Di meja tersebut, terdapat cangkir teh mungil berhias motif dedaunan berwarna emas yang terlihat mewah dan berbagai macam kue kering yang tersusun rapih berdasarkan jenisnya.

Sang puteri menarik nafas lembut dan mengeluarkannya, meresapi suasana sekitar. "Hari ini, earl grey tea ya?" Tanya nya pada sang dayang yang berdiri beberapa langkah di belakangnya.

"Iya yang mulia, earl grey tea tersebut berasal dari hadiah yang di kirimkan pangeran dari selatan kemarin."

Senyum Himawari perlahan memudar, pangeran yang disebut dayangnya tersebut kemarin datang menemuinya dan berniat mendekatinya meski sang puteri sudah menolak di awal pertemuan. Sungguh gigih sekali

"Hei Tenten, suatu hari nanti aku harus menerima salah satu pinangan dari pangeran pangeran itu kan? Kenapa... Aku tidak di izinkan memilih calonku sendiri?" Tanya sang puteri sendu yang dengan cepat disadari oleh si dayang- Tenten.

"Yang mulia... Sebenarnya anda di izinkan memilih calon anda sendiri. Hanya saja... biasanya demi kelangsungan suatu kerajaan- pangeran atau puteri yang dimiliki suatu kerajaan itu harus menikah dengan pangeran atau puteri kerajaan lain."

Himawari mendesah, "Bebas memilih itu tetap saja tidak benar benar bebas kan, aku bebas memilih salah satu diantara pinangan para pangeran itu, bukan berarti aku bebas memilih siapapun."

Tenten tak lagi membalas, ia hanya tersenyum simpul menanggapi. "Apakah... Ada seseorang yang sedang anda perhatikan belakangan ini yang mulia?", orang yang bersangkutan menolehkan kepalanya pada sang dayang dengan ekspresi heran. "Tidak, kenapa memangnya?"

"Tidak biasanya anda membahas masalah pria dan pernikahan, biasanya itu merupakan topik sensitif bagi anda. Tetapi... Anda membicarakannya sendiri sekarang."

Himawari merosot di kursinya- persetan dengan semua ke formalan, peraturan dan manner ala bangsawan yang harus selalu ia terapkan toh Tenten merupakan dayang terdekatnya sejak kecil yang mengetahui seluk beluk kehidupan sang puteri, tak ada gunanya menjaga semua sikap itu di hadapan Tenten. "Ugh...aku benci jika harus diatur seumur hidup. Tapi... Seorang puteri kerajaan yang harus menikah dengan pangeran dari kerajaan lain bagai sudah menjadi tradisi turun temurun 'kan."

"Daripada tradisi, mungkin lebih bisa disebut sebuah 'keharusan', Yang mulia." Sela Tenten. Himawari berdecak kesal, lagi dan lagi dengan semua tetek bengek 'keharusan' yang dikeluarkan oleh Kerajaan- ia hanya berharap memiliki kehidupan yang normal, mencari cinta secara normal dan hal hal normal lainnya. Mungkin para putri bangsawan di luar sana iri padanya, statusnya, hartanya, dan segalanya yang dapat ia miliki dengan mudah, namun justru Himawari iri pada mereka yang masih bisa memiliki sedikit 'kelonggaran'

"Tenten, apa yang mulia ratu juga dulu... Terpaksa menikah dengan sang Raja?" Tanya Himawari seketika teringat pada sosok lemah lembut sang ibu. Tenten terdiam di tempat selama beberapa detik yang mendapat tatapan heran dari sang puteri. "....Tenten?"

Seakan disadarkan dari lamunan, sang dayang pun sontak terkejut dan menatap sang puteri tepat di mata sebelum kembali menurunkan pandangannya. "Maaf yang mulia. Um... Bisa dibilang yang mulia Ratu dijodohkan dengan Yang mulia Raja dulunya, tapi... Mereka saling mencintai pada akhirnya, dan bukti cinta mereka adalah kehadiran anda dan pangeran Boruto." Jawab sang dayang seraya tersenyum tipis yang dibalas helaan nafas lawan bicaranya.

Royalty | Menma•BoruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang