.
.
.
.
.Kawaki berdiri di antara rak-rak buku yang tinggi menjulang, tatap matanya menelusuri satu demi satu buku yang berhasil ditangkap indra penglihatan selagi tangan kirinya sibuk memangku enam buah buku yang ditumpuk meninggi dengan rapi sesuai ukuran. Perpustakaan umum kerajaan adalah salah satu tempat yang jarang Kawaki kunjungi, ia juga tidak begitu minat membaca maupun belajar.
Kini pemuda bersurai dwiwarna itu melengang pergi ke tempat duduk di dalam perpustakaan setelah tak menemukan buku yang berusaha ia cari. Meski ujian kesatria akan segera tiba, namun dirinya sama sekali tidak merasa pusing atau kewalahan. Jika boleh jujur, Kawaki merasa dirinya sudah cukup pintar, terutama untuk orang-orang sebayanya.
Terlebih-- apabila dibandingkan dengan Menma yang kini sedang kesulitan belajar membaca dan menulis.
Kawaki menghela nafas selagi mendudukan diri di sebelah Menma yang kini sedang belajar dengan Iwabe Yuino dan Denki Kaminarimon. Bertahun-tahun hidup, Kawaki tidak pernah paham dengan orang yang bersedia membantu orang lain tanpa pamrih, terlebih itulah yang kini sedang terjadi antara Denki dan Menma. Pemuda berkacamata itu sejak beberapa hari yang lalu selalu membantu Menma cara menulis dan membaca yang benar tanpa meminta imbalan apapun. Kalau Kawaki sih, dia mana mau melakukannya.
"Ya, benar begitu caranya Menma! Kau sudah bisa melakukannya dengan benar, sekarang coba kau tulis kalimat ini......"
"Hei, kalau kau terus-terusan mengajari si bodoh itu, kapan kau sendiri akan belajar?" Tanya Kawaki.
"Aku bisa belajar sambil mengajari Menma, kau tidak perlu mengkhawatirkan diriku, Kawaki." Balas Denki sambil menatap Kawaki.
Iwabe tertawa kecil ketika melihat Kawaki yang kini mendengus kesal dan memilih untuk mengabaikan balasan Denki, tadi. "Kawaki ada benarnya, Denki. Bergantian saja denganku, kau belajarlah untuk ujian dengan benar. Aku tahu kau benar-benar ingin lulus ujian ini."
Sesaat suasana di perpustakaan kembali hening dengan suara goresan pena bulu di atas lembar-lembar kertas yang dipakai untuk menulis.
"Omong-omong, kudengar ujian tulis untuk para kesatria itu baru sejak pemerintahan Raja Naruto saja." Ucap Denki.
Iwabe menganggukan kepalanya, "Ya, benar. Raja-Raja pendahulu sebelumnya hanya memfokuskan pada kekuatan saja. Aku rasa ini suatu perubahan yang bagus. Walaupun yahhh, nyatanya ini memberatkan kita juga sebagai calon-calon Kesatria." Helaan nafas panjang dilepaskan oleh Iwabe selagi jarinya masih sibuk menulis di atas lembar kertas.
Menma sontak berhenti menulis dan membulatkan matanya, "Hah, serius?! Kukira ujian tulis itu ide dari Pangeran Boruto!" Ucap Menma, teringat bahwa dulu Boruto pernah mengatai seorang kesatria bodoh karena hanya memiliki kekuatan fisik, tidak dengan kepintaran.
"Boruto, Boruto, Boruto, isi otakmu itu cuma si Pangeran egois itu saja, ya? Kau sudah lupa hampir mati di tangan seorang Pangeran di Arena Bulan?" Sentak Kawaki, ekspresi kesal dan terganggu jelas terlihat di wajahnya.
Denki dan Iwabe nyengir menanggapi.
"Kurasa Menma masih penasaran kemana perginya Pangeran Boruto sejak masalah di Arena Bulan waktu itu." Iwabe berceletuk.
Menma tak lantas membalas, ia hanya berdiam diri dengan memasang ekspresi dongkol di wajahnya. Mau disanggah pun nyatanya memang Menma masih penasaran dengan Boruto, sebab perubahan yang ditunjukkan Pangeran itu tidak hanya pada anak-anak calon Kesatria saja, melainkan juga pada adik dari Pangeran Boruto itu sendiri.
Menma lantas dengan segera menggelengkan kepalanya, di saat-saat seperti ini ia seharusnya sibuk belajar dan bukannya memikirkan sosok Boruto.
👑👑👑
KAMU SEDANG MEMBACA
Royalty | Menma•Boru
FanfictionKekuasaan dan Jati diri Tatapan tajam yang memercikkan api kebencian Kisah masa lalu yang menjadi misteri Kebenaran di balik damainya kerajaan Konoha. Serta sesosok pria yang hilang ingatan. Banyak kebenaran yang akan terungkap oleh Menma, seorang a...