Bab 4

844 75 3
                                    

'Sebenarnya ia peduli, namun tertutupi
Oleh rasa egois yang sangat
Tinggi.'

•••••

[Kisah Pilu Biru]

•••••

"Hah....hah....hah...." alaric terbangun dari mimpi yang menurutnya sangat buruk, nafasnya tersengal-sengal.

"Pak alaric?" Panggil seorang karyawan yang baru saja masuk ke ruangannya.

"I-iya? Ada apa haris?" Tanya alaric setelahnya ia mengganti posisinya menjadi duduk dan mengelap peluh yang keluar.

"Tidak apa-apa pak, tadi saya ingin membangunkan bapak karena saya melihat bapak seperti gelisah saat tidur." Jelas haris.

"Ah iya maafkan saya, saya ketiduran dan tak sengaja bermimpi buruk." Ucap alaric.

"Haris, apakah setelah ini saya masih ada pertemuan penting atau meeting?" Tanya alaric.

Haris selaku asisten pribadi alaric menjawab "tidak ada pak, pak alaric hanya tinggal mendata-tangani berkas-berkas yang akan saya berikan nantinya." Jelas haris.

Alaric mengangguk "haris saya izin pulang cepat untuk hari ini, jika ada yang penting silahkan hubungi saya." Ucap alaric seraya mengambil kunci mobil dan handphonenya.

"Baik pak alaric." Lalu alaric pun beranjak dari sana dan turun menuju pakiran.

alaric membawa mobilnya dengan kecepatan rata-rata ia tak mau yang ada di mimpinya terjadi.

Selama di perjalanan alaric terus memikirkan keadaan biru yang ada di rumah, karena mimpinya tadi tiba-tiba ia di hantui rasa khawatir.

Sesampainya alaric di masionnya ia segera menuju kamar atas untuk melihat kondisi biru.

Cklek

Pintu terbuka alaric melihat bi rumi yang sedang mengelus rambut biru dengan lembut dan tidak lupa dengan biru yang masih memejamkan matanya dengan alat-alat yang masih menempel di tubuhnya.

"Bi rumi." Panggil alaric seraya menghampiri ranjang sang anak.

Bi rumi menoleh "Eh tuan sudah pulang?" Tanya bi rumi, "iya bi pekerjaan saya di kantor tadi lumayan dikit." Jawab alaric.

"Tapi bi, nares kemana ya? Kok dia gak ada?" Tanya alaric, "oh tadi tuan nares katanya pergi ke rumah sakit dulu tuan katanya ada panggilan penting." Jawab bi rumi.

Alaric mengangguk mengerti lalu ia kembali menatap biru dengan tatapan yang sulit di artikan. "Bi rumi kembali kerja saja, biar saya yang temani biru disini." Ujar alaric.

Bi rumi tertegun namun tak hayal ia tersenyum bahagia mendengar penuturan sang majikan.

"Baik tuan, kalau begitu bibi ijin ke bawah tuan. Permisi." Lalu bi rumi beranjak dari sana.

Kembali kepada alaric ia segera mendudukkan dirinya di samping sang anak. "Entah kenapa rasanya saya takut sekali kehilangan kamu, padahal saya sangat membenci dirimu." Hanya hening yang menjawab.

"Saya memang membenci mu biru namun untuk kehilangan kamu saya tidak akan rela, memang saya egois namun itu lah saya." Ujar alaric.

"Segera lah sadar, jangan membuat repot adik saya yang terus mengurus dirimu." Setelah mengucapkan kalimat itu alaric bangkit dari sana dan berjalan keluar.

"Malam!" Pekik nares saat melihat alaric yang sedang menonton televisi di ruang santai.

"Malam, ada apa kau datang malam-malam begini dan juga masih memakai seragam dokter mu?" Tanya alaric.

"Aku hanya ingin memeriksa kondisi keponakanku apakah salah?" Ujar nares.

"Tidak, namun seharusnya kau tak usah repot-repot untuk mengurusnya bukan? Dia memang sudah menyusahkan dari kecil." Ucap alaric.

"Bisa tidak kau tak usah memancing emosi ku? Aku kesini untuk bertemu biru bukan untuk berdebat denganmu." Ujar nares.

"Ya baiklah kalau begitu silahkan temui bocah yang sedang sekarat itu." Ucap alaric.

"Kau benar-benar tak punya hati, aku doakan kau supaya tak menyesal di lain waktu kak. Berdebat denganmu sepertinya tak akan bisa selesai." Lalu nares segera beranjak ke kamar biru.

"Ck! Nares benar-benar aneh untuk peduli dengan bocah pembunuh itu." Lalu alaric melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda.

Nares membuka pintu kamar biru lalu menutupnya kembali ia segera mendekati rajang sang keponakan.

Mendudukan dirinya di samping biru lalu mengelus rambut sang ponakan. "Biru paman disini, paman sayamg dengan mu. Jangan berpikiran untuk menyusul ibu mu ya?" Ucap nares.

Lalu nares kembali mengcek kondisi biru saat ini. "Hah...ayo nak bertahan paman menunggu kamu disini." Ucap nares saat melihat kadar oksigen biru yang masih rendah.

Nares yang sedang asik-asiknya memperhatikan wajah sang keponakan tiba-tiba di panikkan oleh suara bising dari monitor EKG.

"Astaga kenapa rendah sekali?!" Pekik nares lalu ia kembali mengecek denyut nadi biru.

"Maafkan paman biru, kalau paman gak bawa biru ke rumah sakit biru gak akan bisa bertahan." Lalu nares melespakan semua alat-alat yang menempel di tubuh biru.

Nares dengan cekatan langsung membawa tubuh biru untuk menuju kebawah.

"Pak jajang!" Panggil nares dari arah tanggan alaric yang heran langsung bangkit dari duduknya.

"Kenapa teriak sih?" Tanya alaric namun tak lama ia melihat nares yang sudah menggendong biru dengan biru yang masih tampak tak sadar.

"Kak pak jajang dimana?" Tanya nares dengan terburu-buru.

"Pak jajang biasanya udah pulang jam segini, kenapa memangnya?" Tanya alaric dengan mata yang terus melirik ke arah biru.

"Keadaan biru benar-benar menurun nares ingin membawa biru ke rumah sakit." Ujar nares.

Alaric terdiam. "Biar kakak yang anter, kau tunggu di depan." Lalu alaric segera membawa kunci mobilnya.

Setelah nares dan alaric memasuku mobil, "Biru paman mohon tetap bertahan..." lirih nares.

"Kak tolong cepat, bibir biru hampur membiru." Ucap nares dengan panik.

Alaric yang ikut panik pun semakin mempercepatkan mobilnya.

"Jangan susul ibumu terdahulu biru..."

[Kisah Pilu Biru]

TBC.



Kisah Pilu Biru (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang