Sejak pernyataan cintanya, Alaska tidak pernah muncul lagi dihadapan Alisa. Lelaki dengan kebiasaan merokok itu menghabiskan setiap detiknya untuk bekerja. Keadaan perusahaan yang mulai terancam membuat Alaska harus memfokuskan diri pada pekerjaan. Ia mulai bersahabat dengan laptopnya. Dan menjadikan dokumen sebagai orang ketiganya.
Dua hari berlalu, Alaska terbang ke Rusia untuk sebuah pekerjaan. Dengan Naila yang selalu bersamanya, Alaska cukup terurus disana. Ia membawa Naila karena takut jika sesuatu hal akan terjadi pada gadisnya. Selama Alaska tiba, tidak semenit pun ia membiarkan Naila keluar dari hotel. Bahaya bisa saja datang di manapun. Kekasihnya adalah anak dari alm pengusaha besar yang bergerak di dunia gelap. Tentu saja, musuhnya tidak akan tinggal diam jika mereka tau peninggalan Bara yang begitu berharga masih hidup.
Alaska menyeruput secangkir kopi ditemani dengan pemandangan indah negara yang mendapat julukan sebagai beruang merah. Alaska menggeser layar iPad nya memperlihatkan tulisan panjang yang telah ia susun beberapa waktu lalu sebelum mendarat.
Rifky yang paham akan maksud Alaska mengangguk, mengambil alih benda pipih yang berada ditangan Alaska. Kemudian membacanya dengan seksama. Sebelumnya, Rifky telah meminta pada Alaska agar bos mudanya itu tidak perlu repot untuk mencari tau tentang tuan Adrik. Ia akan dengan senang hati bekerja untuk Alaska. Namun bukan Alaska namanya, jika ia membiarkan pekerjaannya berjalan tanpa dirinya.
"Gue butuh penenang." Alaska menyandarkan tubuhnya, melepaskan topi yang ia kenakan. Ia letih akan hidup yang terus memaksanya menjadi sosok kejam bak serigala. Alaska hanya akan menghabisi orang-orang yang mengganggu ketenangannya.
"Gue saranin jangan sekarang, bro. Kita ngga tau rencana mereka apa, feeling gue, mereka bukan rekan kerja yang baik." Rifky meletakkan iPad milik Alaska, menjadikan tangannya sebagai tumpuan wajahnya. Tatapannya fokus pada Alaska yang mendengarkan usulannya.
"Kalo dia berani nusuk gue dari belakang. Gue sendiri yang bakal ngabisin dia dari depan."
Alaska beranjak, memakai kembali topi hitamnya, meninggalkan kafe yang cukup terkenal di negara indah itu. Alaska mengendarai mobil sport miliknya. Mencari tempat healing terbaik versi Alaska. Danau Baikal kini menjadi tujuannya untuk menghilangkan stresnya sesaat. Dalam lamunannya terlintas keinginannya untuk membawa Alisa mengelilingi Rusia.
Apa kabar dengan adik kecilnya? Alaska bahkan lupa jika Alisa kini adalah miliknya. Ia tidak sempat mengabari gadis mungil yang sudah ia renggut mahkotanya. Alaska mengeluarkan handphonenya, mencari nama Alisa disana.
Deringan telfon terdengar, menunggu orang yang berada di seberang sana untuk mengangkat panggilannya. Alaska menempelkan benda pipih itu di telinganya berharap Alisa akan menjawab panggilan rindunya.
"Halo." Suara lembut yang sudah ia nanti sejak tadi berayun ditelinga Alaska. Lelaki tampan itu menutup kedua matanya, menikmati suara nan lembut itu bersamaan dengan dinginnya hembusan angin danau Baikal.
Alisa memanggil nama Alaska berulang kali, namun tidak ada respon dari sang empu. Desiran angin memberikan sensasi sejuk bagi Alaska. Suara Alisa lah yang ia jadikan sebagai penghangatnya.
"Kenapa baru angkat telfon gue?" Kini Alaska yang bersuara, lelaki itu tidak berubah. Ia masih saja bersikap dingin pada Alisa.
"M-maaf kak, tadi habis nyuci piring," Alisa berkata jujur. Ia harus menyelesaikan pekerjaan rumah, baru ia bisa bersantai. "Kakak apa kabar?" Pertanyaan sederhana itu keluar dari bibir tipis Alisa, ia duduk diatas ranjangnya menunggu jawaban.
"Baik. Naila telaten ngurus gue disini." Jawaban yang Alisa dapatkan membuatnya mengembuskan nafasnya pelan. Gadis dengan rambut gelombang itu tersenyum paksa, mendapati jika orang yang baru beberapa hari menyatakan cinta padanya, ternyata tengah menghabiskan waktu bersama dengan wanita lain.
Dibalik rasa kecewanya, Alisa sadar akan posisinya di hati Alaska. Ia hanya mainan, tidak lebih. Naila lah yang mengisi hari-hari Alaska. Baik dalam hidupnya maupun hatinya. Alaska tidak mendapati respon apapun dari Alisa. Hanya keheningan yang ia dapatkan.
"Suatu saat nanti gue bakal bawa lo kesini." Lanjut Alaska memberitahu apa yang ada dalam pikirannya.
"Kak, papa manggil aku. Nanti kita lanjut lagi ya."
"Lo cemburu?" To the point, Alaska menambah volume handphonenya.
"Aku ngga cemburu, aku malah bahagia kakak makin dekat sama kak Naila. Langgeng ya kak,"
"Gue udah bilang, kalo gue sama dia itu udah putus."
"Kak, dari mata kakak aku bisa liat sebesar apa cinta kakak ke kak Naila. Itu udah cukup kok buktiin tentang status kalian." Alisa tidak mau lagi menjadi gadis bodoh. Cukup sekali ia terpengaruh ucapan Alaska.
"Gue bisa ninggalin dia demi Lo."