"Gimana Lo bisa ikut, kayak ngga tau Abang Lo aja! Gue ngga berani ah minta izin." Suara cempreng Tania mematahkan semangat Alisa. Teringat akan Alaska yang masih mengawasinya meski mereka sudah tidak satu rumah.
"Tenang, gue ngga tinggal sama dia kok. Intinya gue ikut!" Alisa bersikeras memegang kedua sisi pipi Tania. Ia yakin bahwa jika ia minta izin pada Alfarez pasti akan dibolehkan. Untuk Alaska, ia tidak perlu takut. Ada Alfarez disampingnya.
"Lo serius, Sa. Nanti gue lagi yang kena imbasnya." Tania cemberut, ia sudah berjanji pada Alaska tidak akan membawa gadis kecil tahanan Alaska itu pergi keluar sembarangan. Terakhir kali Alaska mengancamnya akan membunuh kedua orang tua Tania jika masih berani membawa sang adik party.
"Iyaaa Tania sayang, nanti kita izin sama kak Alfarez deh kalo Lo ngga percaya. Sekarang gue tinggal sama dia soalnya."
"Nah kalo gitu lega hati gue, dari tadi kek Lo ngomong." Senyum Tania mengambang, ia memeluk Alisa erat. Sejauh mereka berteman Alisa sangat jarang bahkan terhitung berapa kali mereka keluar bersama. Alaska selalu melarang Alisa dengan alasan banyak musuh Ario Hermawan yang berkeliaran.
Alisa menyantap gado-gado yang ia pesan pada ibu kantin. Kondisi kantin yang ramai membuat mereka malas untuk mengobrol lebih panjang, dengan suara yang hampir seperti berteriak. Alisa fokus pada makanannya, begitupun dengan Tania. Mereka berdua adalah teman akrab sejak SMP, tidak heran Tania tahu semua keluarga Alisa termasuk Alaska.
"Sa, nanti Azka juga ikut loh. Katanya sih." Tania yang mencoba menggoda Alisa, menahan senyum. Berapa kali ia mendengar nama Azka keluar dari mulut sahabatnya ini. Alisa terlalu sering membahas nama Azka hingga membuat Tania selalu ingat bahwa Azka adalah incaran Alisa.
"Seriusan? Nipu gue Lo ya? Azka mana mau ikutan pesta kayak gitu. Dia ngga suka tempat rame." Alisa menjelaskan, ia tahu secara detail tentang Azka. Mulai dari makanan favoritnya, keluarganya, keseharian Azka dan hal lainnya. Alisa bahkan membuat akun fake hanya untuk mencari tau informasi tentang Azka.
"Gue ngga bohong anjir, udah viral juga, Lo aja yang minus informasi. Yang gue dengar sih, dia bakal kenalin pacarnya malam ini. Gue curiga kalo cewenya itu Naira. Menurut Lo gimana?" Sengaja Tania membuat Alisa kesal. Raut wajah cemburu Alisa merupakan suatu keindahan tersendiri untuk seorang sahabat seperti Tania. Menggangu hidup Alisa adalah hobinya.
"Ngga tau deh, bisa jadi." Alisa murung, wajah cerianya padam seketika. Azka membuat moodnya tak baik.
"Muka Lo kenapa cemberut gitu, Azka punya Lo kok. Gue tadi cuma ngarang." Tawa Tania pecah, Alisa yang kesal ingin sekali menusukkan garpu ke usus besar Tania.
"Gue sumpahin usus Lo berlipat ganda."
"Doa Lo, baikan dikit napa, Sa."
*****
Alaska Aidan
Pulang sekarang!
Alaska Aidan
Bokap Lo yang bakal jadi taruhannya
Alaska Aidan
15 menit lagi gue jemput!
Alisa mengacak rambutnya frustasi, selalu ayahnya yang jadi alat Alaska untuk membawanya kembali pada lelaki iblis itu. Ia tidak berniat untuk membalas pesan yang dikirim oleh Alaska. Jika bukan karena rasa takut ia pasti sudah membunuh kakak tirinya itu.
Alisa bergegas menemui Alfarez dengan koper mini yang ia tenteng, awalnya Alisa ingin meminta bantuan. Sayangnya niatnya ia urungkan, Alaska tidak pernah main-main dengan setiap perkataannya. Ia tidak mau mengambil resiko, ia juga tidak mau mengadu domba antara Alaska dan Alfarez.
Alisa yang sudah berada didepan pintu kamar Alfarez ragu untuk mengetuk pintu. Ia berdiri bak patung mengumpul keberanian, ia memang sangat menyayangi Alfarez, namun tidak sedekat yang dibayangkan juga. Jika dibanding dengan Alaska tentu saja Alisa akan memilih Alfarez.
Belum sempat mengetuk, suara pintu yang dibuka memasuki ruang telinga Alisa. Gadis dengan pakaian kaos putih dengan celana sebatas paha itu hampir kehilangan keseimbangannya. Alfarez yang bingung melihat keberadaan Alisa menaikkan sebelah alisnya, tidak biasanya Alisa datang ke kamarnya di sore hari.
"Kamu butuh sesuatu?" Suara laki-laki pecinta football itu memecahkan keheningan.
"A-aku m-mau minta i-zin, untuk tinggal sama kak Alaska aja kak." Suara Alisa yang semakin kedalam membuat pendengaran Alfarez tidak begitu jelas.
"Alisa, ngomongnya lebih jelas lagi, kakak ngga dengar." Kini Alfarez mengangkat dagu Alisa agar menatapnya. Tatapan gadis itulah yang membuat jantung Alfarez berdetak lebih cepat dari biasanya.
"A-aku mau tinggal dirumah kak Alaska aja kak. Aku lebih nyaman disana."
"Bukannya dia nyiksa kamu terus? Atau kakak ada salah sama kamu, yang bikin kamu ngga betah tinggal disini? Kalo ada, kasih tau kakak, Sa."
"Ngga kak, ngga ada. Alisa emang lebih ngerasa nyaman aja tinggal di apartemen kak Alaska, soalnya barang-barang Alisa juga lebih lengkap disana." Alisa mencari akal agar Alfarez tidak curiga akan keputusannya yang tiba-tiba.
"Kalo itu mau kamu kakak bisa apa, yasudah mau kakak antar?"
"Ngga perlu kak, bentar lagi kak Alaska jemput." Alfarez mengangguk, membawa Alisa ke ruang tamu. Tas yang Alisa bawa diambil alih oleh Alfarez. Mereka menunggu kedatangan Alaska. Alfarez yang duduk disebelah Alisa terus memperhatikan adik manisnya.
"Kapan gue bisa sepenuhnya jadiin Lo milik gue, bukan sebagai adik lagi." Tutur Alfarez dalam hati. "Kapan kamu siapa nikah?" Tiba-tiba pertanyaan aneh keluar dari mulut Alfarez, Alisa gelagapan harus menjawab apa. Sebelumnya Alfarez pernah menyatakan cinta padanya, namun ia menjawab hanya menganggap Alfarez sebagai saudaranya.
"A-aku mau fokus sekolah dulu kak." Alisa tersenyum lembut, mata sipitnya membuat mata yang melihatnya terasa nyaman.
"Kakak bakal tungguin sampai kamu siap jadi ibu dari anak kakak nanti."
"Sebelum dia ngelahirin anak Lo. Gue bakal lebih dulu simpan Alaska junior dirahimnya." Suara Alaska memusatkan perhatian Alisa dan juga Alfarez. Alisa meremas kaosnya, sebentar lagi pintu neraka akan terbuka untuknya.
"Jangan macem-macem Lo, ka. Dia ngga pantas Lo jadiin mainan." Alfarez berdiri menyeimbangkan tubuhnya dengan Alaska. Mereka hampir sama tinggi, entah apa yang membuat para gadis lebih menyukai Alaska, padahal mereka sama-sama tampan.
"Tapi dia juga ngga pantas dapat kasih sayang dari Lo, ataupun dari gue. Dia anak dari pembunuh bernama Ario Hermawan, kalo Lo lupa. Shttt gue ngga sabar nunggu waktu itu datang." Alaska menjilat bibirnya yang kering, ia menggigit bibir bawahnya saat melirik ke arah Alisa, gadis yang sedari tadi menunduk melihat lantai putih yang menjadi pijakannya.
"Dia ngga salah, disini dia hanya sebagai korban . Dia ngga tau apa-apa, Ka. Sadar, lo terlalu terobsesi untuk membalas dendam atas kematian papa!"
"Ck gue ngga bisa maafin pembunuh sialan itu," Alaska melewati Alfarez, ia mendekati Alisa kemudian meraih tangan gadis yang mereka perdebatkan. "Kita pulang. Ranjang gue udah kangen sama tubuh Lo." Bisik Alaska membawa Alisa mendekati pintu.
"Lain kali, lo ngga perlu ikut campur urusan gue!" Ucap Alaska tegas, sebelum akhirnya benar-benar pergi.