Alisa menelusuri lorong panjang sekolahnya, tatapan fokusnya teralih pada sosok lelaki tampan yang belakangan ini sering masuk dalam bayangannya. Alisa memendam perasaan pada Azka sejak ia diantar pulang oleh lelaki sebayanya itu. Alisa merasa begitu diperhatikan oleh Azka. Mereka beda jurusan, namun siapa yang tidak kenal dengan Azka.
Azka sering kali menjadi bahan gosip perempuan disekolah Bina bangsa. Bahkan terkadang juga sampai ke sekolah lain. lelaki pintar itu begitu ramah hingga disukai banyak orang.
Alisa bahkan merasa tidak tau malu karena telah menaruh perasaan pada Azka yang jauh berbeda dengannya.Bagi Alisa, Azka adalah laki-laki yang lembut dan juga perhatian. Tak salah bukan jika Alisa menyukainya? Beberapa langkah, Alisa berhenti tepat didepan sang lelaki tampan. Deretan giginya terlihat begitu rapi saat tersenyum. Azka yang awalnya sibuk membaca info yang terpajang di mading, kini beralih pada Alisa.
"Kamu butuh sesuatu?" Tanya Azka heran. Dalam hatinya Alisa sangat cantik saat tersenyum,
"Ngga kok, lagi baca apa?" Basa basi Alisa yang sebenarnya sudah tau dengan jelas bahwa Azka membaca informasi yang tertempel di mading.
"Ini, lagi baca info. Soalnya minggu ini bakal ada pertandingan basket disekolah kita. Kayak biasanya, aku ngga mau ketinggalan." Azka menjelaskan yang dibalas anggukan oleh Alisa. Azka adalah ketua basket yang tentu saja ia tidak mau ketinggalan informasi.
"Mau pulang? Sama gue, mau?" Azka menatap netra mata Alisa yang indah. Wajahnya adalah perpaduan yang begitu sempurna.
"Bo-boleh." Azka menarik pergelangan tangan Alisa kemudian membawanya ke parkiran.
Hati Alisa seakan sedang berperang menahan rasa bahagia dan gemetar saat disentuh oleh Azka. Terkadang Alisa bingung harus bagaimana, mundur karena sadar diri atau terus bertahan oleh perhatian yang diberikan Azka. Mencintai dalam diam itu tidaklah mudah.
Diparkiran Azka memasangkan helm pada Alisa. Gadis berkulit putih itu mematung menikmati keindahan didepannya. "Azka benar-benar sempurna." Alisa membatin.
Dua makhluk Tuhan itu terlihat begitu mesra, seakan pasangan yang tengah dimabuk asmara. Di ujung jalan sosok pria dingin tengah menyaksikan semua gerak-gerik Azka dan juga Alisa. Tak sadar tangannya meremas stir begitu kuat. Rahang Alaska mengeras, namun ada senyum beribu makna yang tergambar disana.
Tak tahan dengan apa yang ia lihat, Alaska menghidupkan mobil sport miliknya. Kemudian pergi meninggalkan sekolah tempat adiknya menimba ilmu itu.*****
"Baru balik? Gimana, lancar jadi jalangnya?" Suara yang begitu Alisa kenal membuatnya terkejut. Alisa memutar bola matanya, memeriksa apakah ia salah masuk kamar.
"Kakak kenapa ada dikamar aku?" Tanya Alisa balik, ia sudah memastikan bahwa ia tidak salah. Ini adalah kamarnya.
"Ini kamar kita. Kamar Lo dan gue." Alaska bersandar dengan santai diranjang Alisa, menyilangkan kakinya, dengan memegang handphone yang baru saja ia mainkan.
"Kita? Kamar kakak ada di sebelah, ini kamar aku, kak!" Bantah Alisa dengan lembut mencoba menjelaskan pada Alaska. Semakin hari kakaknya ini semakin aneh menurutnya.
"Gue tanya, gimana? Lancar jadi jalangnya?"
"Ka-kak kenapa nanya gitu? Aku bukan jalang kak!" Alisa tidak suka jika Alaska menyebutnya jalang. Bagaimana mungkin, Alisa bahkan belum pernah pacaran. Yang ada, Alaska lah yang menjadikan jalang.
"Lo itu belum dewasa, ngga usah sok-sok an pacaran sama bajingan itu. Lo ngga pantas buat dia." Ucapan Alaska seakan menyayat hati Alisa. Terdapat nada mengejek disana. Apa yang membuatnya tak pantas untuk Azka?
"Aku ngga pacaran, kakak kenapa sih makin hari makin aneh?"
"Ganti baju, gue mau bawa lo ke suatu tempat." Suruh Azka beranjak mendekati Alisa. "Atau, lo mau nya gue yang gantiin baju Lo?" Sambungnya serak tepat ditelinga Alisa.
"A-aku b-bi-bisa ganti baju sendiri. Kakak ng-nga perlu bantuin aku." Alisa menjauh, rasa gugup sepertinya tengah menimpanya.
"Gue juga ngga minat buat gantiin baju Lo." Alaska berucap seolah jijik akan Alisa. Ia memperhatikan tubuh Alisa dari bawah kemudian terhenti tepat didada gadis itu. "Anak pembunuh!" Tekannya membuat Alisa semakin terkejut. Tatapan mata elang Alaska membuat nyali Alisa hilang bak ditelan bumi.
"Maksud kakak apa?" Alisa was-was jika Alaska akan menciumnya lagi. Dengan rasa takut Alisa mencoba bersikap biasa saja agar Alaska tidak menindasnya lagi.
"Bokap Lo ngga sebaik yang Lo kira, baby. Lo terlalu bego untuk ditipu dengan kasih sayang yang mereka kasih." Alaska mengehentikan kalimatnya, kemudian mengelus pipi Alisa, turun ke bawah hingga hampir mendekati dada gadis itu. "Dia, pria tua yang udah berani bunuh papa gue. Dan gue ngga akan biarin hidup dia bahagia."
"A-apa, hikss aku ng-nga percaya s-sama kakak. K-kakak pa-pasti salah. Papa ngga sejahat itu." Alisa menutup telinganya mencoba tidak mendengarkan apapun yang keluar dari mulut kotor Alaska.
Alaska yang melihat kekecewaan dimata Alisa merasa bahagia. Ia menyukai air mata yang keluar dari Alisa. Alaska akan membuat orang yang ia anggap anak pembunuh itu menderita, sama halnya seperti yang ia rasakan.
"Kalo Lo berani ngadu, jangan salahin gue. Bokap Lo bakal bernasib sama kayak papa gue!"
Alaska meraih kedua tangan Alisa kemudian menciumnya, deruan nafas Alaska begitu hangat terasa di kulit tangan Alisa. Lelaki tampan itu mendorong Alisa hingga terbentur ke pintu.
"Lo ngalangin jalan gue." Ucap Alaska setelah puas menyiksa Alisa dengan pahitnya kenyataan. "Gue tunggu lima belas menit, kalo Lo masih belum siap-"
"B-bentar lagi aku bakal turun" potong Alisa yang masih duduk diatas dinginnya lantai. Mengusap sikunya yang terluka karena benturan. Air matanya menciptakan sebuah sungai kecil dipipinya. Mata sembabnya sudah mulai terlihat. Alaska benar-benar jahat padanya.
Alaska pergi meninggalkan Alisa yang tengah dibaluti air mata, Alisa tidak percaya dengan semua ucapan Alaska. Ayahnya adalah orang tua terbaik yang pernah ada untuknya.