"Ka, kamu yakin dengan keputusan ini? Mama takut kamu bakal nyakitin Alisa, nak." Wajah cemas tergambar diwajah wanita paruh baya yang sedang berbicara empat mata dengan Alaska.
"Anda tenang saja, saya bisa menjaga istri saya dengan baik. Saya bukan tipikal orang yang mudah menyakiti pasangan, seperti apa yang anda lakukan dulu pada ayah saya."
"Mama minta maaf, Ka. Mama ngga ada pilihan lain. Papa tiri kamu maksa Mama buat nikah sama dia. Mama ngga mau senasib sama Papa kamu yang harus mati sia-sia, Ka." Air matanya jatuh membentuk sungai kecil yang mengalir di pipinya.
Ia meraih tangan Alaska, "Mama minta maaf, Ka. Mama udah bikin hidup kamu hancur. Mama sayang sama kamu,"
"Saya muak sama semua kebohongan anda. Saya benar-benar muak!"
"Kalo kamu menikahi Alisa bukan karena cinta. Mama mohon jangan menikah, nak. Kasian dia harus ngerasain apa yang Mama rasakan."
"Saya tidak butuh nasehat anda, nyonya. Berhenti mempengaruhi saya, karena itu tidak akan berhasil." Ucap Alaska tegas melepaskan tangannya. "Saya harus pergi." Ia meninggalkan ibunya, menemui calon ayah mertuanya yang sudah siap menikahkan dirinya dengan Alisa.
Setelah beberapa waktu, Alaska dengan lantang mengucapkan nama Alisa beserta mas kawin yang ia siapkan untuk calon istrinya. Kata sah yang memenuhi ruangan menjadi saksi, bahwa mereka telah menjadi pasangan yang halal dimata tuhan, maupun dimata hukum.
Langkah demi langkah menuju altar pernikahan, rasa gugup menyelimuti setiap deruan napas Alisa. Gaun putih nan indah dengan bunga yang ia
genggam erat menambah indahnya penampilannya. Alaska telah selesai mengucapkan ijab qobul.Alaska yang sejak tadi menanti pengantinnya tiba, menikmati calon istrinya dari jauh. Senyum lebar menunjukkan betapa bahagianya ia menikahi Alisa. Alfarez tidak akan mendapat kesempatan lagi merebut Alisa.
Ditemani oleh ibu tirinya, Alisa duduk disamping Alaska. Mengembuskan napas berat, kemudian menunduk tak berani menatap Alaska. Banyaknya pasang mata membuatnya sedikit gugup. Tidak terkecuali karena keberadaan Naila yang duduk di kursi paling depan. Mata elang Naila terus mengekornya. Ditambah dengan ayahnya yang sebenarnya tidak setuju dengan pernikahannya.
"Lo udah resmi jadi milik gue!" Alaska menangkup wajah mungil Alisa. Mengecup kening wanitanya dengan lembut.
"Malam ini Lo bakal habis ditangan gue, baby girl."
Alisa memejamkan matanya mendengarkan semua bisikan Alaska padanya. Dalam bayangannya hanya satu. Alaska tidak akan melepaskannya. Alaska akan menyakitinya sama seperti sebelum-sebelumnya.
******
Acara resepsi yang panjang membuat badannya lelah, rasanya seluruh tubuhnya remuk karena terlalu lama duduk. Alaska yang bersandar ditempat tidur memijat pelipisnya. Menunggu Alisa yang tak kunjung muncul dari dalam kamar mandi.
Terlalu lama berbaring, Alaska mengambil handphonenya. Menekan nama Naila yang ia sematkan. Deringan telpon yang belum berhenti menandakan bahwa Naila tidak menjawab telponnya.
Sayang, angkat telponnya!
Sudah hampir lima menit, Naila belum juga membalas chatnya. Alaska yang merasa bosan memilih untuk memeriksa Alisa. Ia beranjak menuju kamar mandi. Guyuran air yang terdengar dari dalam memberikan ide pada Alaska.
Lelaki berjakun itu membuka pintu pelan, kebetulan sekali Alisa tidak menguncinya. Dibukanya pintu berwarna putih itu, memperlihatkan Alisa yang sibuk membilas rambutnya. Tanpa mengatakan apapun, Alaska memeluk Alisa dari belakang, membuatnya ikut basah.
Ia menghirup punggung Alisa hingga ke leher yang telanjang, Alisa hanya mengenakan pakaian dalam yang mengekspos tubuh putihnya. Wangi strawberry masuk kedalam indra penciumannya. Alaska membantu Alisa, ia mengambil alih shower yang digenggam Alisa. Membilas rambut Alisa hingga tidak ada sisa sabun yang tertinggal.
"Kenapa lama mandinya? Gue nungguin Lo dari tadi, sayang." Katanya pelan dengan tangan yang sibuk memijat kepala Alisa.
"K-kakak kenapa bisa masuk?" Serasa ditemani oleh hantu, Alisa mencoba menajuh dari Alaska. Berbagai cara ia lakukan untuk mengehentikan Alaska.
"Ngga boleh suami mandiin istrinya? Lo mau dapat dosa ngga ngikutin perintah suami?"
"Aku b-bisa mandi sendiri kak, nanti kakak basah."
"Lo takut?" Jilatan yang Alaska gambar di leher Alisa membuat wanita itu meremang.
Alaska mematikan aliran air, meletakkan benda panjang itu asal. Ia membuka kemejanya, membawa Alisa menuju ruang ganti yang dihiasi dengan kaca besar dengan warna hitam di setiap sudutnya.
"Jangan pernah berharap kalo gue bakal jadi suami yang baik buat Lo."
"A-aku ngga ngerti, kak." Alisa dapat melihat Alaska dari pantulan cermin. Jakun Alaska yang naik turun seakan menahan sesuatu.
"Gue masih berhubungan sama Naila. Lo cuma perlu jadi istri gue di dalam kamar. Selebihnya, Naila lebih berhak atas gue."
"Pakai baju Lo!" Perintahnya tegas, mendorong Alisa ke lemari. "Gue mau pergi, Lo ngga usah nungguin gue!" Lanjutnya, kemudian mengambil satu style baju polos dari lemari.
"Kakak mau kemana?"
"Lo ngga perlu tau gue kemana. Ini rumah gue, jadi Lo ngga ada hak ngatur gue!"
"Lemari Lo ada disebelah sana. Jangan pernah nyentuh barang-barang gue!" Alaska menghempaskan pintu lemari kasar. Kemudian pergi begitu saja.
Naila selalu membayangi pikirannya, ia takut jika gadis itu akan berbuat nekat. Sejak acara pernikahannya Naila sama sekali tidak mau menemuinya.
Banyaknya telpon memenuhi layar handphone Alaska. Sekretarisnya menelponnya berulang kali membuatnya bertanya-tanya.
"Kenapa?" Tanya Alaska setelah berhasil terhubung.
"Non Naila dibawa ke rumah sakit, Tuan. Kata dokter non naila keracunan."
"Kirimkan alamatnya! saya akan segera kesana."
Alaska mematikan sambungan telponnya. Mengambil kunci mobil, bergegas menuju rumah sakit yang diberitahukan oleh sekretarisnya itu. Lajunya ia membawa mobil membuat pengendara lain menepi.
"Maafin aku sayang, aku ngga akan biarin kamu ninggalin aku."