Chapter 2

1.6K 143 14
                                    

Kelopak mata itu bergerak tanda sang pemilik ingin segera terbangun dari tidur panjangnya. Pemandangan bias cahaya sedikit merambat masuk pada mulut goa menjadi hal pertama yang Haera lihat setelah terbangun untuk yang kedua kalinya.

Perapian sudah padam, menyisakan puntung kayu yang tidak terlahap api, menjadikan udara di sana lembab dan getaran kecil kembali menyerang urat syarafnya.

Dengan sisa tenaga yang ia miliki, Haera berusaha bangkit menuju sumber cahaya yang dapat dipastikan itu adalah sinar matahari.

Ia masih mengenakan pakaiannya berupa kaos abu-abu berlengan panjang serta celana training hitam, sama saat terakhir kalinya ia menceburkan diri ke sungai. Tak peduli jika pakaiannya yang sempat basah terkeringkan oleh hawa panas dari perapian tadi malam.

Kaki telanjangnya berhasil menginjak tepi terluar dari goa tersebut sehingga hangatnya sinar matahari menerpa wajah yang sempat menampilkan raut keputusasaan.

Suara burung hutan saling bersahut-sahutan, pepohonan rindang dengan bias sinar matahari menerobos pada sela-sela dedaunan, menjadikan pohon itu seperti digelantungi oleh selendang putih milik bidadari hutan.

Dan pemandangan punggung seseorang dengan jubah hitam sedang membuat perapian di dekat goa pun menjadikan Haera seperti mengalami deja vu.

Terbetik rasa keraguan di dalam hatinya kala ingin melangkahkan kaki ke arah orang itu.

Haera hanya ingin menuntaskan rasa penasarannya pada dirinya yang berakhir berada di tempat ini dengan kedua kaki yang masih berpijak di atas tanah.

Artinya dia masih hidup, bukan?

Tapi mengapa pemandangan hutan yang sekarang ia lihat seperti berada di Nirvana?

Hutannya terlampau indah dalam ukuran fananya dunia ini.

Ketika hatinya telah mantap ingin menghampiri orang itu, malah gagal ketika ia merasakan perutnya bergejolak dan berakhir berjongkok di tempat sambil memuntahkan beberapa tetes air berkandungan asam hasil produksi lambungnya serta sisa air sungai yang belum sepenuhnya masuk ke pencernaannya.

Haera tidak makan apapun bahkan semenjak dua hari yang lalu. Orang yang akan bunuh diri mana sempat memikirkan nasib perutnya. Kepalanya didera pening sambil aliran air terus mengalir keluar dari mulutnya.

Oleh karena suara muntahan itu yang memang tidak terlalu nyaring, tetapi suasana alam yang tenang menjadi sebab suara itu dapat terdengar jelas oleh orang itu.

Orang berjubah hitam itu menoleh ke arah Haera yang sibuk memuntahkan isi perutnya. Niat hati ingin membuat api, jadi tertunda dan memilih untuk menghampiri Haera sembari menepuk-nepuk punggung rapuh itu, berharap dengan tindakannya rasa mual di perut gadis itu akan berhenti.

Setelah memastikan Haera sudah tenang, tanpa kata orang itu berbalik ingin mencarikan sesuatu yang dapat mengganjal perut gadis bersurai coklat madu itu. Namun terhenti karena ujung jubahnya ditahan oleh genggaman tangan Haera.

"T-tunggu.. kau mau kemana..?"

Haera sedikit meringis kala merasakan tenggorokan terasa sobek saat pita suaranya bergetar karena mengeluarkan untaian kata yang tak seberapa.

"Mencarikanmu makanan." jawab orang itu seadanya. Haera terdiam sejenak, "Bolehkah aku ikut?"

Ia harap-harap cemas jikalau orang itu tak mengizinkannya. Bukan tanpa alasan ia meminta ikut.

"Dengan keadaan lemah seperti itu?" tanya orang itu yang masih membelakangi Haera yang masih berjongkok di bawah.

"Aku masih sanggup berdiri."

Dengan bertumpu pada batu goa di sampingnya, gadis itu dengan susah payah berdiri walaupun tidak sempurna. Dan dengan pergerakan itulah orang itu pada akhirnya berbalik menghadap Haera yang berusaha menggapai apapun yang bisa ia gapai karena keseimbangannya goyah.

Dengan berhasil meraih akar tanaman yang mencuat pada sela-sela batu sebagai tumpuannya, Haera mendongak kemudian tertegun kala matanya bersitatap dengan iris mata berwarna biru terang milik orang itu yang terlihat bersinar dalam gelapnya tudung hitam yang menyembunyikan wajah orang itu.

Karena merasa ada perubahan pada raut wajah Haera, orang itu segera membuang pandangannya dan berbalik memunggungi.

"Ikutlah jika kau sanggup berjalan."

Perlahan punggung orang itu menjauh dengan Haera yang mengikuti di belakang dengan langkah pelan. Ia ingin memastikan di daerah mana sekarang yang ia pijaki. Berharap ada jalan atau permukiman warga yang bisa ia temukan di perjalanan nanti.

Namun nyatanya hanya pepohonan rindang yang ia lihat selama perjalanan. Tidak ada kehidupan selain binatang hutan tidak membahayakan yang dapat ia lihat sejauh mata memandang.

Sebenarnya ia berada di hutan bagian mana? Setahunya tempat tinggalnya dulu tidak memiliki hutan seluas dan seasri ini. Hanya ada gedung pencakar langit dan cerobong asap perusak lapisan ozon yang mendominasi.

Haera berpegangan pada batang pohon tanggung kala merasakan tubuhnya hampir sepenuhnya kehilangan tenaga. Ia melihat orang berjubah itu masih berjalan di depan tanpa peduli dirinya yang sudah kelelahan.

Dengan memaksakan kakinya kembali melangkah karena takut tersesat di hutan antah berantah ini, ia mengikuti orang itu sampai di mana telinganya menangkap suara riak air di depan sana.

Rupanya orang itu membawanya ke sungai untuk menangkap ikan, mungkin. Terlihat dari jernihnya air pengunungan yang tidak pernah tersentuh oleh tangan manusia. Di sana dengan jelas ikan-ikan berbagai ukuran berenang kesana-kemari, bersembunyi di sela-sela batu sungai saat melihat kedatangan orang berjubah hitam yang sekarang dengan gesit melompati batu-batu besar yang muncul di permukaan sungai sebagai pijakan.

Indah sekali jika saja Haera bisa menikmati pemandangan alam itu dengan perut yang tidak terasa nyeri.

Dengan menekan area perutnya yang sakit, Haera bawa tubuhnya bersandar pada batang pohon yang tak jauh dari sungai.

Di sini ia bisa melihat orang itu sedang menangkap ikan dengan tangan kosong. Terlihat sangat mudah sekali sehingga ia tak sadar jika beberapa ikan besar hasil tangkapan orang itu telah tergeletak di pinggir sungai.

Dengan mengibaskan jubahnya yang basah tercelup air sungai, orang itu menghampiri ke tempat Haera duduk sembari membawa ikan tangkapannya yang sudah ia ikat menggunakan sulur tanaman di kedua tangannya.

"Kita kembali." ajak orang itu sambil melangkah ingin kembali ke goa asal.

Haera mengangkat kepalanya yang sedari tadi ia sembunyikan di kedua lututnya, melihat ke arah punggung orang itu yang perlahan menjauh dengan tatapan lemah.

Jujur ia tidak punya tenaga lagi untuk sekedar menegakkan kedua kakinya. Hal yang ia cari tak ditemukan membuat perjalanan ini terasa sia-sia baginya.

Kepalanya ia sandarkan ke batang pohon di belakangnya karena pusing kembali mendera sehingga penglihatannya perlahan memburam. Haera mungkin tidak melihat wajahnya sendiri yang perlahan memucat dengan lebam keunguan perlahan tercipta di beberapa titik di tubuhnya.

Tak apa ia ditinggalkan sendirian di sini dan menjadi santapan binatang buas. Mati memang tujuan awalnya, bukan?

Namun sebelum itu terwujud, tiba-tiba tubuhnya diangkat ke atas punggung sang berjubah dan perlahan meninggalkan sungai asri itu.

Haera masih tersadar sepenuhnya, namun kelopak matanya enggan untuk membuka.

Samar namun terdengar dengan jarak sedekat ini, suara seperti desisan ular muncul dari setiap hembusan nafas sang berjubah.

Siapakah gerangan orang misterius ini?



Bersambung..

HIRAETH: REDCARNATION✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang