Chapter 15

737 100 4
                                    

Mark berusaha menarik satu nafas panjang di tengah rasa sesak menggerogoti paru-parunya sejak tadi, walaupun berakhir dengan terbatuk yang menambah rasa sakit di dadanya.

"Dengarkan aku, Juvier.."

Dengan masih terisak, sang peri berusaha mendengarkan dengan baik apa yang akan temannya katakan. Ia bersimpuh tak kuasa menahan lututnya yang telah kehilangan kekuatannya.

"Ini hukuman yang diberikan untukku yang bebal akan peraturan.. Aku terkena kutukan sang biksu yang kuusik pertapaannya.. di tempat ini.."

Kembali Mark mengambil nafasnya yang kian memberat. "Sang biksu mematikan hati dan jantungku serta membuatku haus akan jiwa manusia.. untuk kumakan.."

Kembali sang peri dibuat terkejut oleh pernyataan sang naga. Mata basahnya ia edarkan ke sekeliling danau itu guna menemukan sang biksu yang dimaksud Mark.

"Dia sudah pergi.."

Juvier memekik kala nafas Mark berhembus tak normal. Ia menggeleng, "Lalu apakah ada cara untuk menghilangkan kutukan ini!?" paniknya kembali terisak hebat dalam simpuhnya.

"Ad..a, pengantinku.. yang.. dapat.. menghilangkan.. nya.."

Seketika Juvier meraung keras sambil memanggil-manggil nama sang naga yang perlahan kehilangan kesadarannya. Urat-urat hitam bak akar menjalar telah menembus jantung dan hatinya. Melebur bersama kutukan sang biksu yang menyiksa batinnya dalam kehausan akan jiwa-jiwa manusia.

Danau itu menjadi saksi bisu akan kutukan sang biksu terhadap sang naga merah yang kekal dalam siksanya di tempat yang sekarang telah menjadi 'rumah' baginya seumur hidup, sembari menunggu sang pengantin mematahkan kutukan itu.

"Aku abadi, namun tersiksa dengan keabadian itu."



***



"Ibu? Apa ibu sekarang sudah bahagia?"

Seorang gadis bersetelan formal dengan rambut tersanggul rapi berlutut di depan kursi roda seorang wanita tua yang sangat disayanginya melebihi posisi yang telah ia capai saat ini dengan jerih payahnya sendiri.

Wanita itu tersenyum walaupun pandangan matanya tidak menatap ke arah sang anak yang tengah meraih kedua tangan keriputnya, menggenggamnya lembut seolah jika ia sedikit saja memberikan kekuatan, maka kulit itu akan terluka.

"Takaran bahagia ibu tidak diukur dengan harta atau posisimu saat ini. Asalkan kau bahagia dengan hidupmu, ibu juga turut merasakan bahagia."

Gadis itu tersenyum, ibunya memang tidak menuntut agar sang anak memberikan uang yang banyak padanya. Dengan keadaan sekarang malah lebih dari cukup. Mengingat hidup mereka dulu sangatlah susah, berada dalam titik keberhasilan meraih harapan yang selama ini selalu terlantun di setiap doa yang dipanjatkan kepada sang pencipta, tak membuat keduanya mengangkat dagu angkuh pada orang lain.

"Kesuksesan yang aku raih sekarang ini tak terlepas dari dukungan ibu. Sebagai seorang anak, aku ingin membahagiakan ibu. Tanpa uluran tangan ini, mungkin sedari dulu aku sudah menyerah pada kehidupan pahitku."

Gadis itu mengecup lembut punggung tangan keriput itu bergantian. Tangan inilah yang telah berjuang keras untuk membahagiakannya. Tangan ini yang setiap pagi mengelus rambutnya, memasakkan sarapan, melindunginya dari tamparan tangan ringan sang ayah. Tangan inilah yang menyelamatkan hidupnya sampai sekarang ia masih bisa menapak di atas bumi yang kejam ini.

Wanita itu tersenyum indah, walaupun usia telah menggerogoti tubuhnya.

"Ibu mungkin tidak bisa berada di sisimu selamanya. Maka dari itu, carilah pendamping hidup yang kau cintai sehingga kehidupanmu tidak diliputi oleh kesedihan. Ibu tidak mau kau bersedih gara-gara ibu pergi."

Terdapat nada bercanda di kalimat terakhir, gadis itu tersenyum kecil, "Aku bukan anak kecil lagi, ibu."

Wanita itu terkekeh karena sudah lama sang anak tidak merengek padanya lagi."Jadi, anak gadis ibu yang paling cantik ini sudah menemukan tambatan hatinya?"

Gadis itu terdiam, ia masih belum memikirkan sampai kesana. Ia masih ingin fokus mengembangkan usaha yang dijalankan bersama kedua teman sekelasnya saat sekolah menengah atas.

Ya, mereka berteman baik bahkan sampai ke jenjang perguruan tinggi. Mereka jua lah yang ikut menguatkan dirinya saat dunia kembali menyiksanya.

"Haera?"

Haera terperanjat kala suara lembut itu menariknya dari lamunan yang secara tak sadar sudah menguasai alam pikirannya sejenak.

"Eh, oh? Soal itu aku belum menemukan seseorang yang tepat untukku, ibu.." ujarnya canggung sambil menggaruk pelipisnya kikuk. Satu tangannya ia bawa mengusap pucuk kepala sang anak. "Tidak apa-apa, ibu tidak memaksakan kehendak itu. Lakukanlah apa yang ingin kau lakukan sekarang. Jangan menjadikan hal itu beban di pikiranmu."

Ibu Anne dapat merasakan sang putri mengangguk. Anak semata wayangnya sedari dulu memang penurut dan berbakti. Walaupun ada saja hal yang membuat ibu Anne merasa kesal dengan tingkah Haera, namun wanita itu maklum karena nakal yang ia lakukan hanya sebatas perilaku anak kecil.

Ibu Anne tidak mengharap apa-apa dengan anak semata wayangnya. Ia harusnya meminta maaf kepada Haera karena telah menghadirkan dirinya di dunia ini dalam keadaan melarat. Namun ia bersyukur Haera anak yang kuat dan tak pernah mengeluh akan keadaan. Itulah rasa syukur terbesar ibu Anne pada sang pencipta karena telah menghadirkan seorang anak gadis yang luar biasa untuknya.

Haera ingin menghabiskan lebih banyak waktu dengan sang ibu, namun getaran di tas kerjanya membuat dirinya harus meninggalkan wanita itu bersama beberapa pekerja di rumah besar ini, untuk yang kesekian kalinya.

Kepergiannya dari rumah yang ia bangun hasil keringatnya dan sang ibu, selalu diiringi oleh senyum menawan wanita yang paling hebat di hidupnya. Sampai pada pintu tertutup, senyum itu selalu hadir dalam ingatannya, menjadi kekuatan tersendiri baginya untuk menjalani hari-hari yang penuh dengan tantangan.

"Ibu adalah pahlawan hidupku. Maka biarkan aku membalas semua budi yang kau berikan selama ini padaku."



Bersambung..

HIRAETH: REDCARNATION✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang