Chapter 8

862 93 2
                                    

Nafas memburu mengiringi setiap langkah kaki seorang gadis berbalut seragam sekolah menengah atas yang hampir saja tertinggal bus antar-jemput sekolah. Haera meraih handle grip di langit-langit bus karena tempat duduk di sana sudah penuh. Ia berusaha mengatur nafasnya yang tak beraturan.

Hari ini Haera terpaksa pergi ke sekolah karena permintaan sang ibu. Ia tidak bisa menolaknya kali ini. Ibunya terlihat seperti ingin melemparnya ke kandang buaya jika tidak pergi ke sekolah.

Ya, ibu Anne sudah sangat sabar menghadapi tingkah bandel anak gadisnya yang tidak mempedulikan pendidikannya. Padahal sekolah yang Haera tempati menawarkan pendidikan gratis bagi setiap peserta didik yang ingin mengenyam pendidikan di sana. Tentu ini adalah kesempatan yang tidak boleh disia-siakan bagi ibu Anne yang berpenghasilan pas-pasan untuk melanjutkan studi anak semata wayangnya ke jenjang yang lebih tinggi. Setidaknya ia sanggup membiayai Haera sampai lulus sekolah menengah atas.

Namun pemikiran seorang anak dengan seorang ibu kadang bertentangan. Makanya ibu Anne harus bisa meyakinkan sang anak untuk mementingkan pendidikan terlebih dahulu daripada memikirkan bagaimana caranya mendapatkan uang.

Ini demi masa depan Haera sendiri.



***



Haera hampir terlelap ke dunia mimpi jika saja tepukan cukup kencang di bahunya mampu menarik kesadarannya kembali ke permukaan. Ia memasang wajah kusut kala melihat pelaku penepukan bahunya hanya memamerkan deretan gigi putihnya tanpa dosa.

"Ada apa Chelsea? Kalau tidak ada kepentingan apapun jangan mengganggu tidurku."

Gadis berkulit seputih susu itu memberenggut sambil duduk di kursi depan meja Haera. "Kenapa kau jarang sekali sekolah? Wali kelas kita selalu menanyakan keberadaanmu setiap kau absen, dan teman-teman kita di sini tidak ada yang tahu kau kemana."

Gadis bersurai coklat madu itu hanya menghela nafas diam-diam. Memang dirinya sama sekali tidak mau memberitahu kondisi keluarganya baik dengan teman-teman kelasnya ataupun guru-guru yang ada di sini. Terlalu menyedihkan untuk diceritakan kepada orang lain.

"Kau tahu kan rumahku jauh?"

"Apa perihal jarak rumahmu yang jauh itu saja yang menjadi alasanmu jarang masuk sekolah? Selama dua tahun kita berada di kelas yang sama, aku sama sekali tidak tahu di mana rumahmu!" kesal Chelsea. Memang Chelsea terlahir dari keluarga yang berada. Jika Haera tidak punya kendaraan untuknya pergi ke sekolah, ia akan dengan senang hati menjemput gadis itu ke rumah. Tapi Haera tidak pernah mau memberitahukan alamat rumahnya pada dirinya. Itu yang membuatnya kesal setiap kali Haera tidak masuk sekolah.

"Sudahlah, jika cuma mau berdebat denganku lebih baik kau bermain saja dengan Andy sana! Aku mau melanjutkan tidurku yang tertunda gara-gara kau."

Aksi Haera yang ingin kembali menelungkupkan kepalanya di antara lipatan tangannya pun kembali gagal karena pekikan nyaring Chelsea.

"Tunggu dulu, ada yang ingin aku bicarakan." Chelsea memperbaiki posisi duduknya menghadap sepenuhnya pada gadis yang ia juluki beruang betina itu.

"Kau luang setelah pulang sekolah ini?"

Haera mengernyit, "Memang kenapa?"

Chelsea tersenyum mencurigakan, "Aku berencana ingin pergi ke suatu tempat misterius yang tidak tertangkap satelit Google Maps, tempat itu ada di sekitar sini!"

Gadis berkulit seputih susu itu memperlihatkan layar ponselnya yang menunjukkan peta lokasi daerah setempat dengan titik merah sebagai penanda lokasi mereka berada sekarang.

"Dimana tempatnya?" Haera tidak melihat tempat misterius yang Chelsea maksud.

"Aduh Ra, kataku kan tempat itu tidak ada di Google Maps. Jadi tentu di layar ponsel ini tidak ada tempat itu."

"Terus apa tujuanmu memperlihatkan ponselmu padaku??" kesal Haera. Chelsea terkesan berbelit-belit dengan maksud perkataannya.

"Kau tahu danau Demise? Kakakku sering melewati danau itu saat pulang kerja. Katanya danau itu tidak terdeteksi di Google Maps. Aku cek ternyata benar! Danau itu letaknya di sekitaran ini, dekat dengan jalan penghubung antara desa ini dengan perkampungan sebelah." tunjuk Chelsea di ponselnya yang menunjukkan wilayah kosong dengan jalan penghubung yang ia maksud tadi. Jika itu danau, maka satelit Google Maps akan menampilkan gambar danau, tapi di area yang Chelsea tunjuk kosong seperti tidak ada apa-apa di sana.

Haera mengamati dengan seksama layar ponsel milik temannya itu.

"Kau mengajakku melihat danau itu?"

Chelsea mengangguk semangat. "Selain rasa penasaran kita terpuaskan, siapa tahu kita berhasil merekam penampakan hantu di danau itu!"

Haera seketika melotot. Memang Chelsea adalah anak yang suka dengan hal-hal yang berbau mistis. Pernah dirinya diajak gadis itu menjelajahi sumur di belakang sekolah yang katanya angker. Hasilnya? Tidak ada apa-apa. Makanya waktu Chelsea mengajak untuk pergi ke danau misterius itu, ia jadi ragu apakah mereka akan mendapatkan apa yang gadis itu inginkan, lalu kemudian berakhir pulang dengan tangan kosong.

Ia bukannya penakut, tetapi lebih tidak ingin melakukan hal yang sia-sia saja. Lebih baik ia membantu ibunya di kebun daripada menemani Chelsea memuskan rasa penasarannya yang selalu berujung sia-sia.

"Chel, bukannya aku menolak ajakanmu, tetapi kau yakin tempat itu berhantu seperti dugaanmu?" ucap Haera dengan memelankan suaranya di akhir kalimat. Takut beberapa teman mereka yang masih di kelas mendengar percakapan konyol itu.

Chelsea menggangguk kemudian menggeleng. "Kita tidak tahu kalau tidak mencobanya. Lagian aku ingin mencoba aplikasi pendeteksi hantu rekomendasi dari kakak kelas kita yang bekerja di komunitas Ghost Photography."

Haera tidak tahu harus merespon apa lagi. Kalau ini menyangkut keinginan gadis itu, akan sangat susah mengatakan kata 'tidak' padanya.

"Coba pikirkan lagi rencanamu, Chel. Aku tidak mau salah satu dari kita mengalami hal yang tidak diinginkan saat di tempat itu nanti."

Pemuda jangkung bermata sipit menghampiri meja mereka. Chelsea menatap sinis ke arah datangnya satu teman laki-laki Chelsea, Andy namanya. Mereka berdua sudah akrab karena satu kelas saat sekolah menengah pertama. Dan mereka satu kelas lagi di menengah atas.

"Kami gadis-gadis pemberani! Kalau kedatanganmu ke sini hanya untuk mencegah kami, lebih baik kau pergi saja! Kalau ada terjadi apa-apa dengan Haera, oke aku akan bertanggung jawab!"

Jika sudah seperti ini, maka Chelsea tidak ingin dibantah lagi. Andy hanya melirik ke arah Haera yang juga tengah memasang raut pasrah seperti dirinya.

Andy kembali menatap Chelsea yang sedang bersidekap dada sambil menatapnya sinis. "Baiklah, tapi dengan syarat aku ikut kalian. Tidak mungkin aku membiarkan kalian berdua pergi ke tempat yang tidak jelas itu."

"Iya, iya, cerewet!"

Seruan dari ketua kelas yang memberitahukan bahwa guru yang mengajar di jam selanjutnya sedang menuju ke kelas mereka pun menjadi akhir dari percakapan ketiganya.



Bersambung..

HIRAETH: REDCARNATION✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang