Chapter 11

771 120 72
                                    

Set!

Bruk!

"Aduh!" Ia mengaduh karena baru saja wajahnya dipertemukan dengan kerasnya atap baja yang ia pijaki. Sang teman yang melihat kejadian konyol itu hanya bisa menatap datar dan bergumam 'bodoh'.

"Lain kali kalau ingin berpijak, pastikan dulu benda yang kau pijak itu mampu menahan berat badanmu."

Yang dinasehati hanya membenahi jubah hitamnya yang sedikit tersingkap akibat gerakan refleks barusan.

"Aku tidak mau kehilangan targetku lagi." ujarnya beralasan.

"Dengan hanya alasan sepele itu kau menjadi tidak fokus? Di mana martabatmu sebagai malaikat maut yang paling tak berbelas kasih dalam mencabut nyawa manusia?"

"Diam atau kurobek mulut cerewetmu itu, Jame."

Sang lawan bicara terkekeh. Ia sedikit menyingkap tudung jubahnya hingga memperlihatkan surai navy yang mengkilat teterpa cahaya matahari sore.

Ya, dua orang berjubah hitam yang sedang berdiri di salah satu atap rumah adalah malaikat maut. Mereka diutus karena ingin menjalankan tugas mereka sebagai pencabut nyawa manusia yang sudah sampai waktunya untuk mati.

"Omong-omong di mana manusia yang menjadi targetmu itu, Zeno?" tanya si surai navy. Mata tajam dengan hiasan mole kecil di sudut mata sebelah kanan itu memindai suasana desa yang mulai sepi jika memasuki penghujung hari.

"Sebentar lagi."

Setelah Zeno berkata begitu, selang beberapa menit kemudian terlihat seorang gadis bersurai coklat madu memasuki salah satu rumah di sana.

"Hm, manusia itu sedang menjalani kehidupan keduanya. Katamu 'lagi', berarti sebelumnya kau pernah mencabut nyawanya?"

"Lebih tepatnya hampir."

Jame mengernyit, "Hampir? Maksudmu?"

"Dikehidupan pertamanya aku ditugaskan untuk mencabut nyawanya. Namun karena si ular merah itu lebih dulu mengambil jiwanya, harga diriku sebagai malaikat maut pun seketika terinjak-injak."

Jame mengangguk-angguk paham. Zeno punya harga diri tinggi karena ia dikenal sebagai sosok pencabut nyawa paling tak punya rasa berbelas kasih dengan jiwa manusia yang ia tarik. Dan Mark, sang naga itu suka mengambil jiwa manusia yang mati karena tenggelam di air, padahal tugas untuk mengambil jiwa manusia dilakukan oleh para malaikat maut.

Malaikat maut hanya bisa mencabut nyawa manusia jika si manusia itu telah sampai pada penghujung waktunya, namun Mark bisa mempercepat kematian seseorang sebelum waktunya. Dan dia akan memakan jiwa manusia yang suci sesuka hatinya tanpa membawa jiwa itu ke pohon kehidupan Nirvana terlebih dahulu.

Zeno tentu kesal dengan ulah sang naga yang dari dulu sudah mengacaukan tugas para malaikat maut. Makanya sampai sekarang Zeno membawa dendam di hatinya untuk makhluk bersisik itu.

Sekarang Zeno tidak ingin kalah cepat dari sang naga untuk seorang manusia malang yang pernah akan ia ambil jiwanya pada kehidupan pertamanya.

"Itukah alasanmu mengajakku ke sini?" tanya Jame sambil mengamati aliran air sungai yang mengarah pada satu tempat yang paling dibenci oleh si malaikat maut.

Tanpa Zeno jawab pun pertanyaan itu sudah jelas jawabannya. Ia perlu seseorang untuk mengawasi jikalau ada pergerakan dari si naga.

"Sudah hampir malam, berapa lama lagi kita menunggu?"

Jame mendaratkan pantatnya pada atap yang ia pijaki. Suasana desa semakin sepi dengan lampu-lampu jalanan yang mulai dinyalakan. Zeno masih betah dalam fokusnya mengamati rumah yang terlihat gelap dan suram di depannya. Tak masalah mereka berdua bertengger lama di atap, manusia normal tidak bisa melihat mereka, kecuali orang-orang yang hidupnya akan segera berakhir.

Jame ingin kembali melontarkan kalimat cerewetnya, namun ia telan kembali karena ujung matanya menangkap sosok pria berjalan terseok-seok memasuki rumah sang target Zeno.

"Sepertinya akan ada sesuatu yang buruk terjadi."

Benar saja setelah Jame berucap seperti itu, terdengar suara teriakan nyaring dan pecahan benda berbahan kaca menggema di dalam rumah itu.

Dapat ia lihat setelahnya gadis bersurai coklat madu berlari keluar rumah dengan tergesa sembari memegangi kepalanya yang mengeluarkan cairan pekat berwarna merah. Di belakangnya berlari pria dengan tampilan berantakan sambil tangannya memegangi botol pecah yang dapat dipastikan bahwa benda itulah yang digunakan pria itu untuk memukul gadis yang dikejar.

Jame hampir memekik terkejut kala dengan tiba-tiba Zeno melesat cepat mengiringi kemana aksi kejar-kejaran itu berujung. Malaikat maut bersurai navy itu langsung menyusul sang teman, namun sebelum itu ia merasakan pergerakan angin yang tak wajar berhembus dari arah hutan Demise.

'Apa dia mengetahuinya?'



***



Darah yang mengucur deras dari pelipisnya tak ia sadari karena sibuk dengan rasa terkejutnya terhadap kekerasan yang barusan ia dapatkan dari sang ayah.

Ayah mana yang tega memukul kepala anaknya menggunakan botol kaca hingga berdarah?

Haera duduk bersimpuh dengan pecahan beling berserakan dimana-mana, terlihat mengkilap teterpa cahaya lampu dapur. Darah perlahan mengotori baju yang ia kenakan. Kedua matanya bergetar menatap sang ayah yang sama sekali tidak menampilkan raut bersalah setelah apa yang ia perbuat pada anak semata wayangnya.

Ayunan kedua dengan ujung runcing botol mengarah ke wajahnya, namun seperti ada yang memerintah dalam benaknya untuk segera lari dari sana. Haera pun berhasil menghindar dan membawa tungkainya berlari sejauh mungkin.

"JANGAN KABUR ANAK SIALAN!!"

Teriakan menggema dari pria di belakangnya tidak juga menarik atensi tetangga di sana. Mereka tahu jika pria yang berstatus sebagai ayah Haera itu adalah pria yang brengsek. Mereka tidak mau berurusan dengan keluarga itu, terlebih sang kepala keluarga. Makanya keributan apapun yang diciptakan oleh kegilaan pria itu, tidak ada yang berani bahkan hanya sekedar membawa Haera dan ibunya ke tempat yang aman untuk sementara waktu.

Saat ini Haera tidak bisa berpikiran dengan jernih. Ia hanya mengandalkan kedua kakinya membawa kemana pun ia pergi.

Tak sadar ia sudah berlari jauh dan perlahan mendekati salah satu jembatan sederhana penghubung dengan desa seberang.

Haera menoleh ke belakang untuk memastikan sang ayah masih mengejarnya atau tidak, ternyata masih, dengan sisa pecahan botol yang diacungkan ke arahnya.

Pikirannya kalut, kakinya sudah tak mampu berlari lagi. Rasa perih bercampur pening sudah Haera rasakan di kepalanya. Suasana malam yang gelap membuat penglihatannya terbatas, sampai pada ketidaksengajaan terjadi, satu kakinya tak memijak tanah lagi hingga keseimbangannya limbung dan seketika tubuhnya terjun bebas ke bawah terseret arus sungai yang deras.

Butiran air berlomba-lomba memasuki paru-parunya. Haera tidak bisa berenang di arus sungai yang hampir tidak memberinya kesempatan untuk meraih sesuatu apapun yang dapat menyelamatkan dirinya.

Diambang batas kesadarannya, Haera mengucapkan pengharapannya,

"Aku masih ingin hidup.. demi ibu.."



Bersambung..

HIRAETH: REDCARNATION✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang