09-Rahasia

23 20 13
                                    

"Sudah lebih membaik, tapi jangan membuat ku terluka lagi"
                                _Vanya Ameziana_

                                * * *

Angin menerpa ke permukaan kulit nya, sungguh hari ini sangat dingin. Tapi diri nya memakai baju tipis berlengan pendek, tidak lupa celana kulot melapisi kaki nya.

Sedari tadi diri mengusap-usap telapak tangan nya dengan tangan yang lain, agar tangan nya tidak dingin karena cuaca malam ini.

Vanya berjalan di jalanan yang sepi, karena hari sudah larut malam. Ntah kemana tujuan nya, tapi Vanya hanya ingin menenangkan diri nya. Tatapan nya kosong ke depan, sedang memikir kan kejadian tadi siang.

Kenapa papa dan mama sering memukuli diri nya? Padahal ia tidak melakukan kesalahan apapun.

Bukan sekali atau pun dua kali, tapi ini sudah sering Vanya alami. Hampir setiap hari papa dan mama nya menyakiti fisik nya yang lemah, mulai dari pukulan, dan tamparan. Sudah, sudah cukup! Diri nya tidak sekuat apa yang di pikir kan orang tua nya, diri ini sebenar nya lemah, cuma dipaksa kuat oleh keadaan.

Di pukuli diri nya diam!
Di tampar diri nya diam!
Di rendahin pun diri nya tetap diam!

Mulut nya terasa kelu untuk melawan. sungguh, diri nya sudah capek. Mengeluh pun tidak akan mengubah semua nya, kapan diri nya merasakan kebahagiaan tanpa berpura-pura?
Mungkin selama ini papa dan mama mengira bahwa anak nya ini kuat, tapi nyata nya tidak.

                              * * *

"Aku gak sekuat yang kalian kira, boleh jujur... Aku capek, aku gak kuat. Kalian ini kenapa? Selalu mukulin aku, bentak aku tanpa sebab. Aku sebener nya anak kalian atau bukan?" pipi Vanya di penuhi warna merah, karena tadi Lusia dan Reihan menampar pipi Vanya cukup keras dan menghasilkan bekas berwarna merah di sana.

"Sudah saya bilang, kamu itu bukan anak saya!" seperti langit yang disambar petir, hati nya sungguh sakit ketika mendengar jawaban dari seseorang yang ia sudah anggap ibu.

Vanya menatap sendu ke arah Lusia, lalu berpindah ke arah Reihan. Lolucon macam apa ini? Ibu nya berkata seperti itu tanpa berpikir bahwa hati Vanya sangat sakit mendengar jawaban nya itu.

"Yang di katakan mama itu nggak bener kan, pa?"

Terdengar hembusan nafas kasar dari Reihan.

"Benar apa yang di katakan Lusia, kamu bukan anak kami berdua," tangis Vanya pecah, sakit! Sakit! Hati ini tidak kuat menampung sakit yang di beri kedua orang tua nya.

"N--nggak, nggak! Aku ini anak kalian!" Vanya menggeleng-geleng kepala nya.

"Tadi nanya, giliran di jawab. Malah gak terima jawaban nya, gak jelas tau nggak!" Rere berjalan maju ke arah Vanya, posisi nya bersedekap dada.

Vanya menatap sekilas Rere, lalu kembali menatap kedua orang tua nya. Ia terus menggeleng kepala, dengan air mata yang terus mengalir. Vanya pergi dari hadapan mereka, pergi ke kamar nya yang berada di lantai atas. Menaiki tangga sambil mengusap air mata yang berada di pipi nya, tak terasa diri nya sudah berada di depan pintu kamar nya. Membuka knop pintu nya dan langsung menutup pintu, tidak lupa mengunci pintu. Vanya jatuh ke lantai, bersender di pintu kamar nya.

Hiks!

"Kenapa mereka seperti itu, apa mereka nggak pernah mikirin perasaan aku, mereka jahat!" Vanya menangis histeris, masabodoh jika suara tangis terdengar sampai bawah. Dia hanya ingin meluapkan emosi nya lewat tangisan.

COLORFUL LIFETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang