Di tengah malam yang sunyi, terlihat seorang gadis tengah berjalan di tengah malam yang sunyi dan sepi. Gadis itu berjalan di tengah malam tanpa ada nya rasa takut, seperti berjalan tanpa ada nya tujuan.
Pipi nya sudah banjir akibat terlalu lama menangis, entah lah. Diri nya sendiri pun bingung, menangisi keadaan yang tidak pernah berubah membaik.
"Nangis aja terus, cengeng banget aku!" gerutu nya untuk diri nya sendiri.
"Ayolah Vanya, kamu harus kuat dalam keadaan apapun!" Vanya menyemangati diri nya.
Vanya melihat ada nya halte yang letak nya tidak jauh dari nya, mungkun oke buat diri nya duduk di sana. Tidak mau berlama-lama berdiri, ia langsung bergegas ke halte. Duduk sambil bersender di tiang halte, dan tidak lupa merasakan hawa malam hari.
"Aku kenapa? Aku kenapa nggak bisa kayak mereka yang di sayangi oleh orang tua nya, aku iri. Tuhan... Aku hanya ingin disayangi dengan layak, apakah itu sulit untuk ku rasakan?" Vanya menghapus air mata nya yang berada di pipi nya.
"Vanya ingat! Kamu seperti ini untuk di bentuk lebih kuat, bukan di bentuk untuk lebih hancur!" Vanya menunduk.
Vanya menangis tanpa suara, ia tidak ingin suara tangis nya terdengar.
"Kamu sedang apa?" suara laki-laki yang sangat Vanya kenal, sebelum mendongak ia segera menghapus jejak air mata nya.
"V-vanya?"
"Kak!" detik itu juga Vanya masuk ke dalam dekapan Kaffan.
"Kamu kenapa?" Mengelus punggung Vanya yang begetar.
Pertanyaan Kaffan di hiarukan oleh Vanya, dia mengerti dengan keadaan Vanya. Ia membiarkan Vanya menangis dulu, nanti juga berhenti.
Suara tangisan Vanya sudah berhenti, itu saat nya Kaffan bertanya.
"Kenapa, hm?" Kaffan mengelus kepala Vanya dengan lembut.
Vanya melepaskan pelukan, membuat Kaffan terheran-heran.
"Maaf kak, baju kakak jadi basah gara-gara aku," Vanya merasa bersalah.
"Oh... Ini? Hm, nggak apa-apa kok."
"Kamu kenapa nangis?" Vanya hanya tertunduk.
"Kenapa, hm?" tanya Kaffan sekali lagi.
"Kenapa ya, kak. Aku nggak seberuntung orang-orang di luar sana. Di saat yang lain menghabiskan waktu nya dengan keluarga, aku hanya menghabiskan waktu ku dengan luka. Seharus nya papa jadi pahlawan untuk anak perempuan nya, tapi papa malah jadi alasan luka ini ada. Di saat anak-anak lain di sayangi, aku hanya di sakiti," Kaffan membiarkan Vanya mengeluarkan unek-unek nya.
"Dosa apa yang telah aku lakukan, hingga membuat orang tua ku membenci anak nya sendiri. Aku harus berbuat apa agar orang tua ku menyayangi ku?"
"Suttt, kamu nggak boleh gitu. Mau bagaimana pun mereka tetap orang tua mu. Udah... Kita pulang ya, udah malem," ucap Kaffan meleraikan.
"Pulang ya?"
Vanya pun menganguk.
* * *
Kaffan mengantarkan Vanya sampai kamar nya, itu juga kemauan Vanya sendiri. Lagian ia percaya jika Kaffan tidak akan berani macam-macam dengan nya, toh.
Vanya berjalan mendahului Kaffan, sampai kamar Vanya langsung duduk di pinggir kasur nya.
Kaffan hanya menatap Vanya yang melamun entah memikirkan apa?
Lamunan Vanya terhenti, ia merasakan tenggorokan nya yang kering.
Ia mencari gelas yang berisi air, dan ternyata ada di meja belajar nya yang ada di belakang Kaffan.
KAMU SEDANG MEMBACA
COLORFUL LIFE
Teen Fiction⚠️IBARATKAN FOLLOW SEBELUM BACA! CERITA INI MURNI HASIL PEMIKIRAN SENDIRI! Gadis malang yang tidak pernah mendapatkan kebahagiaan, ketenangan, kasih sayang dalam hidup nya. Selalu salah dimata siapapun, di keluarga maupun teman. Kaluarga dan tema...