4. Putusnya Hubungan Ayah dan Anak

100 4 0
                                    

Dengan menahan sakit di sekujur tubuh, Tiara bangkit dengan kaki dan tangannya sendiri. Menolak uluran tangan Kasih yang ingin membantu. Ia tidak butuh dikasihani, ia tidak sudi dikasihani. Dia bukan pengemis. Dia datang ke rumah ini untuk menuntut kasih sayang yang memang menjadi hak-nya untuk ia dapatkan dari ayahnya. Tapi malah cambukan yang ia terima.

Cukup sudah. Ia bukanlah ibunya, yang bisa menerima semua perlakuan ayahnya dengan diam. Jelas ia bukan orang yang sabar seperti ibunya. Apalagi harus memaafkan kekejaman ayahnya, lagi? Sungguh, selama ini ia telah berusaha mengerti. Mengapa ia dan ibunya harus tinggal di rumah kontrakan yang kecil dan jelek, sementara ibu dan saudara tirinya bisa tinggal di rumah yang megah dan indah. Mengapa ia hanya bersekolah di sekolah negeri, sementara saudara tirinya mendapatkan pendidikan terbaik di sekolah swasta elit. Mengapa ia dan mama harus makan seadanya, sementara disini ibu dan saudara tirinya bisa makan enak dan masih juga dilayani oleh pelayan.

Banyak sekali mengapa yang selama ini harus ia terima dengan lapang dada. Bukankah itu sudah cukup? Harus berapa banyak mengapa lagi yang harus ditanggungnya? Sampai kapan ia dan mama harus menanggungnya?

Mama... mengingatnya membuat air mata Tiara mulai berjatuhan. Padahal dengan sekuat tenaga ia menahan diri agar tidak menangis sewaktu dicambuk ayahnya. Meski tubuhnya sakit setengah mati dan terasa perih. Tapi ia tidak kuasa menahan tangis begitu mengingat ibunya yang sedang sakit di rumah dan sendirian. Hari ini mama juga sama sekali belum makan.

"Pa, sudah. Jangan memarahi Tiara lagi. Lihat, dia menangis, pasti dia sudah menyesali tindakannya." ucap Kasih yang bermaksud untuk menenangkan ayahnya.

Yugo terbujuk oleh ucapan putrinya itu, dan meminta Dahlia untuk mengambilkan uang. Namun betapa terkejut ia ketika Tiara masih mencoba melawan.

"Aku tidak menyesal!" sahut Tiara, yang justru tersinggung mendengar ucapan saudara tirinya. "Air mata ini untuk mama yang sedang terbaring sakit di rumah." lanjutnya meluruskan. "Papa boleh terus mencambukku dan aku nggak akan menyesali sikapku." imbuhnya, menantang mata ayahnya.

"Kau--benar-benar anak kurangajar!" Yugo menunjuknya dengan kemarahan.

"Tiara, jangan bicara seperti itu. Kau hanya sedang marah, tidak tahu apa yang kau ucapkan." Kasih menasehati.

Ia melirik kakaknya, memberikan isyarat untuk membantu.

"Papa sebaiknya duduk dulu, ingat nasihat dokter, papa tidak boleh sering-sering marah, tidak baik untuk kesehatan jantung." ucap Alan sembari menuntun ayah duduk, mengulurkan secangkir teh manis untuk beliau minum.

"Tiara, mari ke kamarku, biar kuobati lukamu!" ajak Kasih sembari menghela pundaknya, namun Tiara menolak untuk pergi.

Dahlia muncul dari dalam rumah, kembali dengan membawa segepok uang. Diulurkannya lembaran berwarna merah itu kepada Tiara. Niat hati sih ingin melemparkannya ke wajah sang anak tiri, tapi bisa-bisa gantian dirinya yang dicambuk Yugo. Dahlia bergidik ngeri membayangkannya.

Sungguh sial, malah wajahnya yang kena lemparan uang dari si anak tiri. Baru saja ia ingin memaki bocah tak tahu terima kasih itu, namun Tiara lebih dulu bicara sambil memandang ayahnya penuh permusuhan.

"Aku nggak butuh uang dari papa. Aku nggak butuh lagi uang dari papa!" ucapnya. "Mulai detik ini, papa bukan ayahku lagi. Aku menolak punya hubungan keluarga dengan Jenderal Besar Yugo Utomo."

TiaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang