Bab 6

68 2 0
                                    

Pagi-pagi sekali Tiara sudah rapi, mengenakan setelan kemeja dan rok terbaik yang dimilikinya. Rambutnya dikepang dalam satu ikatan di belakang dengan karet gelang. Lalu ia mengenakan satu-satunya sepatu yang dimilikinya, pantofel hitam. Warnanya telah pudar dan jahitannya lepas. Kalau ia berhasil mendapatkan pekerjaan hari ini, setelah gajian ia akan membawa kembali sepatunya pada penjahit yang biasa melakukan reparasi. Atau... sekalian saja ia membeli sebuah sepatu baru. Tiara tersenyum dan makin bersemangat memikirkan ide tersebut.

Dengan langkah mantap ia berjalan keluar rumah, setelah sebelumnya berpamitan pada mama. Namun meski ia telah berkeliling seharian, tidak ada satu tempat pun yang memiliki pekerjaan untuknya. Padahal sejak pagi ibunya belum makan. Pikiran itu membuat Tiara sungguh putus asa.

🎤🎤🎤

"Tiara?"

Dewi tampak terkejut dengan kehadirannya di kampus. Tadi sewaktu mendatangi rumah sahabatnya itu, ibunya memberi tahu bahwa Dewi sedang berada di kampus barunya. Tidak seperti Tiara yang memutuskan untuk bekerja, Dewi melanjutkan pendidikannya di jurusan seni rupa. Usai bertukar beberapa kata, Dewi pun berpisah dengan dua teman perempuannya. Bergegas menghampiri Tiara yang berdiri di bawah pohon, salah satu yang berderet di luar gerbang fakultas seni rupa dan desain. Membawa Tiara duduk di sebuah kursi besi di pinggir jalan.

"Ada apa?" tanya Dewi, heran dengan kemunculan Tiara yang tiba-tiba.

Meski ragu, namun Tiara menelan gengsinya demi kelangsungan hidupnya dan mama.

"Apa kau bisa meminjamkan uang padaku?" tanyanya.

Dewi tampak terkejut. Seumur persahabatan mereka, tak sekalipun Tiara pernah meminjam uang darinya. Bahkan ia sering menolak ketika akan ditraktir, kecuali pada hari ulang tahunnya.

"Kau butuh berapa?" tanya Dewi.

"Lima ratus ribu." jawab Tiara.

"Aku tidak punya uang sebanyak itu di dompetku. Keberatan kalau aku ambil ke ATM dulu?" tanya Dewi.

Tiara setuju untuk menemani gadis itu ke ATM. Dan ia bisa bernapas lega karena paling tidak dalam seminggu ini ia dan ibunya akan bisa bertahan dengan uang pinjaman tersebut.

"Kau bertengkar dengan ayahmu lagi?" Dewi mengkonfirmasi usai Tiara menceritakan kejadian dua malam lalu.

"Bukan pertengkaran biasa. Kali ini aku tidak akan pernah memaafkannya." jawab Tiara.

Dewi tampak terkejut, "Jangan bilang begitu, Ara, bagaimanapun dia tetap ayahmu."

"Dia bukan ayahku!" sahut Tiara, geram. "Sejak lama aku hanya diurus oleh mama."

Dewi menghela napas, merasa lebih baik mengalah daripada berdebat dengan Tiara yang keras kepala. Lagipula sahabatnya itu cepat atau lambat pasti akan berbaikan dengan ayahnya lagi.

"Lalu apa rencanamu besok?"

Ia pun mengalihkan percakapan pada pekerjaan baru Tiara.

🎤🎤🎤

Ternyata tidak mudah untuk mendapatkan pekerjaan. Tiara ingin menangis ketika tiba di penghujung minggu, ia masih menjadi pengangguran. Padahal uang yang dipinjamnya dari Dewi sudah hampir habis. Dan ia perlu kembali membeli obat untuk mama. Bersama tetesan air mata yang jatuh di pipi, ia mulai menyesali sikapnya tempo hari.

TiaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang