Tiara 12

80 4 0
                                    

Sudah sejak lama Tiara menyadari bahwa adik bungsunya adalah jelmaan setan kecil. Sejak bayi ia sudah membuat Tiara dihukum papa karena tangisannya. Dan kini setelah lebih besar, ia mengganggu Tiara dengan kenakalannya. Seperti sekarang, bocah itu membuatnya ketumpahan minuman. Air di wajahnya bisa dibersihkan, tapi gaunnya yang basah tidak akan mengering dengan cepat. Belum lagi tawa dari orang-orang di sekitar yang kini mulai terdengar, mereka menganggap lucu kenakalan Andre. Padahal anak itu seharusnya ditegur, kalau perlu dihukum, bukannya malah terus-menerus disanjung. Seperti yang selama ini dilakukan oleh tante Dahlia, yang sekarang saja sudah memeluk bocah lelaki itu sembari diam-diam tersenyum mengejeknya. Papa juga tidak berbuat apa-apa untuk menghukum bungsu kesayangannya, sekadar memberi teguran halus. Sungguh, Tiara benci keluarga ini!

"Tiara, kau tidak apa-apa?" tanya Kasih.

Apa dia buta? Bagaimana mungkin Tiara tidak apa-apa dengan gaunnya yang basah! Gadis yang selalu bertingkah seolah dirinya malaikat tak bersayap itu--tak kalah mengesalkan.

"Mari ke kamarku, akan kupinjamkan baju kering untukmu!" ajak Kasih, menggiring langkahnya menuju kamar tidur.

🎤🎤🎤

Tiara tidak ingat, kapan terakhir kali ia memasuki kamar Kasih. Dulunya mereka kerap bermain bersama, bahkan menginap di kamar satu sama lain. Tante Dahlia sibuk mengurus Andre yang masih kecil, sehingga Kasih merasa lebih nyaman bermanja-manja dengan ibu Tiara. Ia juga merasa berhak bermanja-manja pada Tiara karena menganggap bahwa gadis itu lebih tua darinya, sehingga Tiara seharusnya menjadi kakak yang baik seperti Alan. Ia juga satu-satunya saudara tiri yang memanggil ibunya dengan sebutan mama.

Interior kamar Kasih didominasi oleh warna pink dan putih, warna kesukaan gadis itu. Koleksi boneka barbie-nya ternyata masih ada, berjejer di dalam lemari kaca! Selagi duduk, Tiara mengedarkan pandangan ke sekitar kamarnya. Kasih sedang mencarikan pakaian ganti untuknya. Lalu tatapannya terhenti pada lembaran buku terbuka di atas meja belajar. Dengan penasaran ia mendekat, membaca setiap huruf yang tertulis dalam buku harian Kasih.

Belum selesai ia membaca, buku itu diambil dengan kasar. Kasih mendekapnya erat di dada, sembari tangan kananya menyodorkan sehelai gaun kepada Tiara.

"Kau bisa ganti baju di kamar mandi." ujar Kasih, sembari menunjuk sebuah pintu dengan dagu.

"Aku tidak tahu kalau itu buku harian, maaf." ucap Tiara.

Kasih hanya mengangguk dengan wajah memerah malu.

"Aku mau pulang saja. Terima kasih untuk gaunnya." lanjut Tiara, batal meminjam gaun tersebut.

"Tapi pestanya belum selesai." sahut Kasih, menyusul langkahnya keluar ruangan. "Kupikir kau akan menginap! Kau bisa tidur di kamarku malam ini. Besok pagi, kak Alan akan mengantarmu pulang. Kau sudah lama tidak menginap di rumah ini, Tiara." lanjutnya kecewa.

Mungkin Kasih berpikir bahwa keluarga mereka adalah cerminan keluarga bahagia. Memiliki ayah seorang pahlawan, tinggal di rumah besar dengan belasan pelayan, serta hidup berkecukupan. Tapi itu adalah kehidupan Kasih, bukan dirinya. Sejak kecil Tiara hidup tanpa ayah, di rumah kontrakan sempit, serta penuh kekurangan. Jadi mana bisa Tiara pura-pura bahagia seperti Kasih?

"Papa, aku pulang dulu." ucapnya kepada sang ayah begitu tiba di ruangan pesta.

"Ya ampun, lihat anak itu, Pa! Pergi begitu saja tanpa mencium tangan orang tua, sungguh tidak punya sopan-santun." cibir tante Dahlia di belakangnya.

Namun lagi-lagi papa tidak menegurnya, membiarkan Tiara berlalu pergi. Mungkin karena sedang ada banyak tamu, jadi papa malu ketahuan otoriter di depan orang-orang. Lagipula jaman sekarang apa-apa direkam dan diupload ke media sosial, bisa-bisa nama baik papa tercemar. Tunggu, jangan-jangan tadi ada yang merekamnya saat tersiram air! Langkah Tiara terhenti, menyadari hal mengerikan yang bisa saja terjadi. Ia membuang napas lelah, lalu kembali melanjutkan langkah. Kalau memang ada video seperti itu tentangnya, pasti sudah sejak bertahun-tahun lalu tersebar. Ia tidak punya sosial media, jadi ia tak mengetahuinya. Dan ia pun tak mau tahu. Lagipula tidak ada nama baik yang harus dijaganya, tidak seperti papa yang seorang pahlawan negara.

🎤🎤🎤

"Butuh tumpangan?"

Ya Tuhan, kenapa pria ini selalu mengagetkannya? Mula-mula kehadirannya di klub malam, yang memergoki Tiara sedang menari striptis. Kemudian kehadiran lelaki itu di pesta ulang tahun saudara tirinya. Sekarang, tiba-tiba dia muncul dengan sedan hitam di tepi jalan.

"Terima kasih. Aku sudah memesan ojek." tolaknya.

"Sama-sama. Masuklah!" balas Wira.

Oh, tentu saja Tiara masih mengingat namanya! Pria itu membuatnya ketakutan ketika memperkenalkan diri di hadapan Kasih. Mereka berdua tampak akrab, begitu pun lelaki itu dengan ayah dan ibu tirinya. Ia khawatir, lelaki itu akan memberitahukan perihal pekerjaannya sebagai penari striptis di klub malam kepada keluarganya. Walau menikmati uang hasil jerih payahnya di klub, akan tetapi Tiara masih belum bisa menghilangkan rasa malu dan rendah diri karena melakoni pekerjaan tersebut. Ia sangat bersyukur karena sepertinya Wira tidak membuka rahasianya di depan orang-orang.

"Maaf, aku sudah pesan ojek." ungkap Tiara lagi.

Barangkali pria itu tidak mendengarkan ucapannya tadi.

"Batalkan! Masuklah!" balas Wira yang telah membukakan pintu sebelah pengemudi untuknya.

"Aku bisa pulang sendiri." Tiara jelas menolak.

Dia tidak mau menghabiskan waktu dengan canggung bersama lelaki itu. Jarak dari rumah papa ke rumahnya lumayan jauh.

Wira berdecak, sebelum kemudian lelaki itu turun dari mobil dan setengah mendorongnya masuk ke dalam. Saat Tiara mencoba membukanya, pintu di sebelah telah terkunci. Lelaki itu melakukannya dengan remote yang dibawanya. Dasar pemaksa!

Ia melirik laki-laki yang telah kembali duduk di depan kemudi itu, membawa mobilnya dengan mulus. Suara dan getarannya begitu halus, nyaris tidak terasa. Dasar orang kaya! Bagaimana bisa Kasih jatuh cinta pada lelaki pemaksa sepertinya? Sekarang Tiara bisa melihat bahwa lelaki itu sepertinya bukan pria baik-baik. Ia tidak terlihat canggung memasuki klub malam saat itu, seolah sudah terbiasa melakukannya. Ia juga terlihat sangat luwes memapah wanita yang mabuk saat itu. Apakah Kasih tahu bahwa lelaki yang disukainya sudah memiliki kekasih?

Oh, ya, halaman terbuka dari buku harian Kasih yang tak sengaja dibacanya berisikan curahan hati gadis itu tentang sosok lelaki yang disukainya. Dan lelaki itu bernama Wira. Sudah empat tahun gadis itu memendam rasa terhadapnya, namun sayang, Wira masih sulit digapai. Setidaknya, itu yang Kasih tuliskan di buku hariannya.

Mereka masih tertahan di lampu merah, ketika Wira tampak mengacak-acak rambutnya sendiri. Pria itu melemparkan jasnya ke kursi belakang serta melepas tiga kancing teratas kemejanya. Wajahnya tampak kesal dan tak sabaran.

"Kau kenapa?" tanya Tiara, heran.

Wira menoleh sejenak, lalu kembali membuang pandangan ke depan.

"Bukan apa-apa." jawabnya.

Meski begitu, Wira terus-menerus terlihat gelisah. Mau tak mau Tiara harus memikirkan jalan keluar ketika mereka terjebak di lampu merah berikutnya.

"Kalau kau buru-buru, aku bisa turun disini. Kau tidak perlu mengantarku sampai di rumah. Aku bisa pulang sendiri." usulnya.

Namun bukannya tampak lega, lelaki itu malah terlihat murka. Ya ampun, dia salah apa?

Lampu berubah hijau, mobil pun kembali melaju. Namun belum juga sampai di depan rumahnya, sedan hitam itu berhenti. Sang pengemudi kini beralih menatapnya. Napas lelaki itu terdengar memburu. Mendadak Tiara jadi ketakutan, apakah Wira akan memukulnya? Tapi ia salah apa?

🎤🎤🎤

TiaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang