3. Ayah dan Anak

65 1 0
                                    

Bi Darmi tergopoh-gopoh menyeberangi ruang tamu, hendak membukakan pintu. Siapa orang yang datang malam-malam di kala hujan seperti sekarang?

"Non Tiara? Silakan masuk, Non! Kenapa tubuh Non Tiara basah kuyup? Apa tadi tidak bawa payung dari rumah?" tanyanya bertubi-tubi, sembari mengantarkan sang nona muda untuk duduk di sofa. "Bibi ambilkan handuk dulu, ya, Non."

"Bi," seru Tiara menahan langkahnya. "Papa ada?" tanyanya.

"Ada, ada. Sebentar Bibi ambilkan handuk dulu untuk mengeringkan tubuh Nona." jawab Bi Darmi, sebelum masuk lebih jauh ke dalam rumah.

Sambil menunggu kedatangannya kembali, Tiara mengedarkan pandang ke sekitar ruang tamu yang megah. Tampak cat dindingnya baru saja diganti dengan warna pastel merah muda, warna kesukaan saudari tirinya, Kasih. Ia pun mulai berhitung, tinggal dua minggu lagi jelang hari ulang tahun saudarinya itu. Mungkin cat merah muda itu adalah bagian dari persiapan pesta perayaan ulang tahunnya. Ya, biasanya ulang tahun saudara-saudara tirinya dirayakan dengan pesta meriah, berbanding terbalik dengan dirinya yang hanya merayakan ulang tahun dengan masakan sederhana buatan mama. Bukan berarti Tiara tidak bahagia. Ia puas merayakan ulang tahun dengan sederhana. Tak perlu ada lilin dan kue ulang tahun untuk merayakan hari kelahirannya.

"Tiara," Tiba-tiba saja orang dalam pikirannya muncul. "Tumben kesini malam-malam? Mau ketemu papa?" lanjut Kasih, berjalan menghampirinya.

Lalu gadis itu menanyakan hal yang serupa dengan Bi Darmi, mengapa tubuhnya basah kuyup. Beruntung ia tak harus menjawab pertanyaan basa-basi itu, karena Bi Darmi akhirnya muncul dengan membawakan handuk untuknya. Segera ia menyibukkan diri mengeringkan rambut dan tubuh.

"Kenapa nggak berteduh dulu sih? Kalau sakit bagaimana?" Kasih melanjutkan omelannya.

"Itu--" ucap Tiara sembari menunjuk dinding. "Persiapan pesta ulang tahunmu?" lanjutnya, mengalihkan topik.

Kasih menengok sejenak dinding merah muda yang baru selesai dicat ulang kemarin.

Ia mengangguk, seraya tersenyum balasnya, "Iya. Kamu jangan lupa datang, ya? Acaranya seperti biasa, jam delapan malam."

Baru saja Tiara hendak membuka mulut, ucapan kasih mendahului, "Aku nggak menerima penolakan kali ini!

Tiara menghembuskan napas, ia sungguh tak ingin hadir di pesta ulang tahun saudarinya. Terutama karena ia tak senang berada di tengah-tengah teman Kasih yang tidak dikenalnya. Yang sombong dan selalu menganggapnya rendah, persis seperti ibu-ibu mereka yang juga teman sosialita tante Dahlia.

"Aku nggak punya kado untuk dibawa." Tiara masih mencoba mencari alasan.

Namun Kasih menggeleng, "Aku juga nggak minta kado. Yang aku minta, kedatanganmu di hari ulang tahunku. Oh, jangan lupa ajak Mama Ratna, ya!"

Tiara mengangguk, menyerah. Tapi tentu saja ia tak akan mengajak mama pada pesta ulang tahun tersebut. Ia tak mau ibunya menjadi objek kemarahan tante Dahlia. Lagipula kondisi ibunya sedang tidak baik-baik saja akhir-akhir ini.

Pandangannya tak sengaja jatuh pada jepit rambut yang dikenakan Kasih. Dengan baik hati saudarinya itu melepasnya dari kepala, untuk ditunjukkan kepadanya. Tiara menyentuh butiran mutiara yang bertabur disana.

"Cantik kan?" ucap Kasih dengan mata berbinar-binar. "Aku membelinya sewaktu liburan di Korea bulan lalu. Harganya murah kok, cuma sembilan juta per pcs. Aku beli 10 pcs. Masih ada satu set kalung, gelang, dan anting yang akan kupakai di hari ulang tahunku nanti."

Cerita Kasih terputus oleh kehadiran orang tuanya. Ia pun pamit ke dalam rumah, menyusul ayah dan ibunya yang duduk menempati sofa di ruang tamu. Seperti biasa, Tiara harus bersabar menerima tatapan melecehkan dari tante Dahlia.

"Mama sakit." ucapnya, sebelum ayah menanyakan maksud tujuannya datang. "Aku butuh uang untuk membawanya ke dokter dan membeli obat. Kami juga sudah tidak punya makanan di rumah."

"Bukankah bulan lalu kau baru saja minta banyak uang?" Tante Dahlia menyahut.

Bulan lalu ia memang meminta lebih banyak daripada biasanya, untuk biaya ujian dan kelulusan.

"Uang itu untuk membayar biaya sekolahku." jawabnya, tak ingin papa salah paham. "Pa, mama benar-benar sakit. Ia batuk-batuk terus sejak tiga minggu lalu dan badannya demam."

"Ibumu itu kan memang sakit-sakitan. Beli saja obat di apotek, tidak perlu buang-buang uang untuk ke dokter." Kembali Tante Dahlia yang menyahut.

"Mamamu benar, aku akan memberimu uang untuk membeli makanan dan obat." Ayah akhirnya membuka suara. "Dahlia, tolong ambilkan uang tiga setengah juta dari laciku."

"Baik, Pa." Tante Dahlia bangkit sembari tersenyum mengejeknya.

Namun belum sempat wanita itu meninggalkan ruang tamu, Tiara lebih dulu menyemburkan amarahnya kepada sang ayah. Kejadian yang sayang untuk dilewatkan. Dahlia pun urung melaksanakan perintah suaminya.

"Mama benar-benar sakit. Mana cukup uang lima ratus ribu untuk membawanya berobat? Harga jepit rambut yang dipakai Kasih saja sembilan juta, dan papa mampu membelikannya sepuluh." Tiara mulai naik pitam.

Sebentar lagi Dahlia yakin akan terjadi pertumpahan darah, ia tertawa dalam hati. Benar saja, tubuh gadis tak tahu diri itu segera terbanting ke lantai. Meski begitu, melihat ayahnya murka, bukannya Tiara minta maaf, malah semakin marah terhadapnya. Mulutnya semakin lancang, menantang kemarahan ayahnya. Tidak heran suaminya segera melepaskan sabuk pinggang untuk menyabet anak durhaka itu.

"Pa, jangan!" Kasih tiba-tiba muncul dan hendak menghentikan aksi ayahnya.

Buru-buru Dahlia meraih putrinya, "Kamu jangan ikut campur! Apa kamu mau papa gantian mencambukmu?"

Kasih tampak bergidik di pelukannya, tapi menurut untuk tidak ikut campur dalam perkara tersebut. Bagus, karena di saat seperti ini tidak ada satu orang pun yang dapat menghentikan suaminya yang otoriter itu.

Satu persatu penghuni rumah mulai bermunculan di ruang tamu. Dimulai dari putri keduanya, Amara. Lalu putranya yang paling kecil, Andre. Menyusul putra tertuanya, Alan. Dalam diam mereka menyaksikan ayahnya mencambuki saudara tirinya. Para pengurus rumah juga menyaksikannya dengan ketakutan dari balik pintu, tidak berani keluar.

Akhirnya Yugo berhenti mencambuki Tiara, bukan karena gadis keras kepala itu meminta ampun, melainkan karena kelelahan. Dahi lelaki itu tampak berkilat karena keringat. Demikian pula punggungnya terlihat basah. Dahlia menyayangkan berakhirnya pertunjukan ini. Harusnya bocah kurangajar itu dicambuk sampai pingsan, kalau perlu sampai mati sekalian! Dahlia sudah tidak menyukainya sejak kecil. Gadis itu pembawa masalah dan sering membuat ulah. Untung saja ia tidak tinggal lagi di rumah ini!

"Kenapa berhenti? Ayo cambuk terus! Jangan bilang, papa tiba-tiba kasihan padaku."

Nah kan, apa Dahlia bilang! Bocah itu memang nggak ada kapoknya. Sudah berdarah-darah begitu masih memancing kemarahan ayahnya.

"Kau," ucap Yugo gemetar menahan amarah, namun nafasnya masih terengah.

Sayang tubuhnya sudah tidak sekuat ketika muda dulu. Kalau tidak, mungkin si anak bandel itu sudah tewas sekarang, di tangan ayahnya sendiri.

"Tiara, jangan memancing papa lagi!" Kasih melepaskan diri dari pelukan Dahlia, menghampiri saudara tiri yang tak tahu diri itu.

Benar saja, begitu Kasih ingin membantunya duduk, Tiara malah menghempaskan tangan putrinya yang baik hati. Rasanya Dahlia ingin melanjutkan aksi suaminya mencambuk anak nakal itu.

🎤🎤🎤

TiaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang