Tiara 32

50 5 2
                                    

Tiara terbangun oleh sinar matahari yang menerpa wajah dan terasa menyilaukan. Di atas perutnya tampak lengan Wira yang memeluknya dari belakang, sedang lengan satunya menjadi bantalan kepala Tiara. Disaat masih berjuang untuk sadar sepenuhnya, tatapannya bertemu dengan pemilik sepasang mata yang terbaring di atas ranjang. Mama sedang menatap lurus ke arahnya dalam diam.

Sempat merasa terkejut, Tiara buru-buru bangkit dari sofa. Langkahnya tidak mulus, karena sebelah kaki Wira menindih kakinya. Ia ingat lelaki itu memang memeluknya seperti guling. Semalam terasa nyaman, namun kini bisa jadi malapetaka karena mama memergokinya.

"Mama sudah bangun?" tegurnya. "Apa mama mau minum?" tanyanya, menawarkan bantuan.

Sekilas mama melirik ke arah Wira yang masih terlelap di atas sofa. Tiara pikir ibunya itu akan menginterogasinya perihal posisi tidur mereka semalam. Namun, syukurlah mama hanya meminta untuk diambilkan minum dan dibantu ke kamar mandi.

"Apa Wira tidak bekerja?" tanya mama khawatir.

"Dia minta izin dari kantor, Ma." jawab Tiara.

"Mama jadi merepotkannya." ucap mama, pasti merasa tak enak hati.

Seharusnya Tiara juga merasakannya. Namun, dia merasa tenang dan terbantu dengan kehadiran Wira. Lelaki itu mengurus segala hal untuknya, membuat Tiara merasa dimanja. Maklum saja, sejak kecil ia tidak punya kesempatan untuk bermanja, terlebih pada ibunya. Tiara takut sikapnya akan membebani mama. Padahal, jauh di lubuk hatinya, ia haus akan kasih sayang. Dan Wira seolah dapat mencukupi kebutuhannya tersebut.

"Apa mama mau sarapan sekarang?" tanya Tiara, mengalihkan pembicaraan.

🎤🎤🎤

"Kenapa?" tanya Wira, usai memergokinya memandangi lelaki itu.

"Kamu masuk kerja aja nggak apa-apa kok, Wira." jawab Tiara.

Lelaki itu menyuapkan sesendok makanan ke dalam mulutnya, seraya mencebik, "Mau mengusirku lagi?"

Tiara menggeleng, "Bukan, aku hanya tidak mau merepotkanmu lebih jauh lagi. Aku tidak enak membuatmu izin dari kantor terus-menerus."

Wira mencebik, katanya, "Apa kau menganggapku orang lain?"

Tiara baru akan menyanggahnya ketika lelaki itu mengimbuhi, "Aku kekasihmu, Tiara. Kau boleh merepotkanku sepuasmu."

Tiara merasa tersanjung mendengarnya, namun ia berkata, "Aku sudah puas merepotkanmu. Jadi, kau boleh bekerja lagi besok."

Wira berdecak, namun tidak membantahnya.

🎤🎤🎤

Tiara baru saja kembali dari ruang tamu, menyerahkan selimut dan bantal untuk Wira yang akan tidur di kursi panjang. Tadi siang, mama sudah diizinkan pulang untuk selanjutnya menjalani perawatan di rumah.

"Ya ampun, memangnya kenapa kalau sekali-kali dia tidur di kursi?" gumam Tiara sebal.

Sedari tadi ia tidak tenang memikirkan Wira yang tidur di ruang tamu. Kursi di rumahnya terbuat dari kayu tanpa bantalan. Bahkan panjangnya tidak cukup untuk mengakomodir tubuh Wira yang tinggi. Badannya mungkin akan pegal-pegal saat terbangun besok pagi.

Tapi memangnya kenapa? Lelaki itu seorang tentara, dia sudah terbiasa tidur di hutan, di tenda. Bahkan pernah tidur hanya beralaskan tanah. Tidur di kursi kayu yang keras tidak akan seburuk itu!

Dengan membuang napas jengkel, Tiara bangkit dari atas ranjang. Berjalan menuju ruang tamu yang gelap, hanya diterangi berkas sinar lampu dari luar. Wira tampak menggeliat ke kanan dan ke kiri, mencari posisi nyaman. Tiara jadi merasa bersalah melihatnya.

"Wira," bisik Tiara.

Lelaki itu menoleh terkejut ke arahnya. Sepertinya, saking sibuknya berusaha mencari posisi tidur yang nyaman, Wira sampai tidak menyadari bahwa Tiara tengah berjalan mendekat ke arahnya.

"Kukira kau hantu." gerutu lelaki itu.

Tiara tersenyum geli, "Kau takut hantu?"

"Tidak. Aku hanya tidak suka terkejut saat melihat hantu." bantah Wira. 

Tiara tertawa geli.

"Kau tidak bisa tidur?" tanyanya, basa-basi.

"Aku baru mau tidur." jawab Wira.

Tiara merasa terharu melihatnya yang berusaha terlihat baik-baik saja.

"Kau tidur di kamarku saja." katanya.

"Tidak usah. Kursinya keras, kau tidak akan bisa tidur disini. Sudah, sana masuk!" Wira menolak.

Tiara ternganga, Wira kira ia hendak menggantikan dirinya tidur di ruang tamu? Mulia sekali prasangkanya. Tumben, dia nggak mesum!

"Aku bukannya mau tidur disini." jawabnya. "Maksudku, kau dan aku tidur di kamarku saja." imbuhnya menjelaskan.

Masih tampak tidak percaya, lelaki itu mengikuti Tiara yang menggandeng lengannya ke kamar tidur. Setibanya disana, Wira menatap ranjangnya dalam diam.

"Eh, maaf, ranjangku memang kecil. Tapi setidaknya lebih nyaman daripada tidur di kursi." ucap Tiara, lalu menempatkan diri di atas ranjang. "Sini!" ajaknya, sembari menepuk bagian ranjang yang masih kosong. "Bertahanlah sebentar, besok kau bisa tidur di ranjangmu sendiri."

🎤🎤🎤

Namun, esoknya, Wira berakhir tidur di ranjang kecil itu lagi. Manajer menolak permintaan izin Tiara untuk tidak bekerja selagi mama berada dalam masa pemulihan. Dengan baik hati Wira menawarkan bantuannya untuk merawat mama, selama Tiara pergi bekerja. Pengaturan tersebut membuat barang-barang Wira tersimpan di kamar Tiara.

"Semalam, waktu mama ke kamar mandi, nak Wira tidak ada di ruang tamu. Nak Wira tidur dimana?" tanya mama, ketika mereka tengah menyantap sarapan bersama.

"Saya ada di depan, Tan. Cari angin." jawab Wira.

Mereka saling bertukar lirikan mata. Hingga saat ini, mama belum tahu bahwa keduanya tidur bersama. Jangan sampai mama tahu!

🎤🎤🎤

"Apa tidak sebaiknya kita memberitahukan yang sebenarnya kepada mamamu?" ucap Wira, di tengah perjalanan mengantarnya ke klub malam.

"Tidak boleh! Mama tidak akan senang mendengarnya." sahut Tiara.

"Suka tidak suka, mamamu harus terima kalau kita tidur bersama. Lagipula, itu bukan kejahatan." balas Wira.

"Memang bukan! Itu dosa, Wira. Kita berzina." sahut Tiara.

Wira berdecak, "Dosa yang nikmat, tidak merugikan siapapun."

Tiara tertawa geli mendengarnya, "Dosa, ya, dosa. Tidak ada nikmat atau tidak nikmat."

"Apa kalian sealim itu?" balas Wira, terdengar heran.

"Tidak, aku sudah jadi pendosa gara-gara kau." sahut Tiara sembari melarikan jarinya ke atas dada lelaki itu.

Wira mengerang, "Sayang, aku lagi nyetir."

Tiara menarik kembali tangannya sembari tersenyum geli.

"Wajar kalau kita bercinta, kita kan sudah dewasa dan punya nafsu." ucap Wira, rupanya masih ingin membahasnya.

"Tapi manusia dewasa seharusnya bisa mengontrol hawa nafsunya, Wira." balas Tiara.

"Kau ini pendukungku, bukan, sih?" gerutu Wira karena terus disanggah.

Tiara kembali tertawa. "Kalau aku, aku sadar masih kecil. Makanya aku lost control terus kalau kamu ajak tidur."

Wira meliriknya sembari tersenyum geli. "Kau mau membela diri?"

Ya, Wira memang memberikan pengaruh yang buruk untuknya. Membuat Tiara terbiasa disentuh, bahkan mendambakan sentuhan lelaki itu di setiap waktu. Tapi ia tidak ingin menghilangkan pengaruh itu, ia menyukainya. Semoga Tuhan tidak membakarnya di neraka.

Tiara melirik sekilas pada pria yang sedang fokus menyetir mobil di sebelahnya. Seandainya saja Wira mau mengakhiri dosa ini dengan menikahinya. Tiara menghembuskan napas lelah, tidak ada gunanya mendambakan sesuatu yang mustahil.

🎤🎤🎤

TiaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang