1. Lamaran Sang Jenderal

179 3 0
                                    

Untuk kesekian kalinya wanita paruh baya itu terbatuk lagi. Napasnya putus-putus, sembari meneguk segelas air putih yang dituangkan putri semata wayangnya dari teko kaca di atas nakas. Dengan lembut, ia disandarkan kembali ke atas tumpukan bantal di depan head bed kayu.

Tiara, gadis di penghujung usia belasan tahun itu menyeka kening ibunya dengan sapu tangan. Wajah cantik sang ibu kini tampak pucat dengan lingkaran hitam di bawah matanya. Tiara menahan tangis, menilik obat penahan nyeri tinggal bungkusnya, tergeletak di atas nakas.

"Ma, Tiara ke apotek sebentar, ya, mau beli paracetamol." ucapnya.

Usai melihat anggukan sang ibu dalam mata terpejam, ia pun berlalu meninggalkan kamar. Dengan langkah cepat ia melintas ruang tamu hingga menutup pintu depan. Tangisnya tumpah begitu telah berada di luar rumah. Ke apotek hanya alasan, karena ia bahkan tak punya sepeser pun uang.

🎤🎤🎤

Bangunan lama arsitektur Belanda itu masih kokoh berdiri dengan cat putihnya. Tiang-tiang besar penyangga teras seperti mengokohkan nama besar sang pemilik rumah, Jenderal Besar Yugo Utomo. Gelar pahlawan yang dianugerahkan negara padanya disertai dengan berbagai hadiah. Tanah berhektar-hektar, sawah dan perkebunan, peternakan sapi dan kuda, tak lupa emas dan uang yang konon tidak akan habis tujuh turunan.

Tiara mendengus mengingat hal tersebut, sembari matanya menatap lama bangunan di depannya berdiri. Apanya yang tidak akan habis tujuh turunan, jika sang pemilik hobi kawin! Lambat laun semua hadiah kekayaan tersebut habis bersama dengan perceraian sang jenderal. Dan kini yang tersisa hanya bangunan megah yang ditinggalinya bersama Dahlia, istri termuda, beserta anak-anak mereka.

Dulu, dulu sekali, bangunan megah ini pernah juga menjadi rumahnya.

🎤🎤🎤

Saat itu Tiara baru berusia 7 tahun, ketika Tante Dahlia melahirkan putra keempatnya. Ayahnya begitu bahagia dengan kelahiran bayi laki-laki di tengah keluarga mereka, terutama karena kak Alan bukan anak kandungnya. Fakta yang baru Tiara mengerti belakangan, ketika ia sudah mampu berpikir seperti orang dewasa.

Jadi begini, sepuluh tahun menjelang masa purna tugasnya, Jenderal Besar Yugo Utomo melamar Ratna (ibu Tiara) yang ketika itu masih berumur belasan tahun kepada keluarganya. Ayah Ratna setuju dengan syarat putrinya harus dijadikan satu-satunya istri. Ya, kabar tentang sang jenderal yang senang bergonta-ganti pasangan sudah sampai ke telinganya, malah sebenarnya ia dan sang istri keberatan untuk melepas putri semata wayang mereka bagi sang jenderal. Ratna begitu pintar, sopan, dan lembut. Daripada menikahkannya dengan laki-laki tua, lebih baik memberinya izin untuk melanjutkan kuliah sebagaimana keinginan Ratna, lalu menikahkannya dengan laki-laki muda yang berpendidikan tinggi.

Mendengar syarat tersebut sang jenderal pun naik pitam. Berani-beraninya orang biasa seperti ayah Ratna memberikan syarat sedemikian rupa kepadanya. Orang tua lain akan melakukan sujud syukur, jika ia datang untuk melamar anaknya. Namun demikian ia terlanjur jatuh ke dalam pesona gadis cantik bersuara merdu tersebut. Ia mendengar senandungnya di istana negara, yang mengundang sang gadis sebagai pengisi acara hiburan. Lagu yang sangat menyentuh, mengingatkannya pada perjuangan sang ibunda merawat serta membesarkannya. Lagu yang membuat sang jenderal meneteskan air mata.

Maka dihelatlah pernikahan antara sang jenderal dengan Ratna, dengan kondisi sang mertua yang masih terkaget-kaget mendengar persetujuannya. Padahal semula mereka berpikir bahwa sang jenderal akan menolak syarat tersebut, lalu meninggalkan kediamannya dan melupakan keinginan untuk menikahi Ratna. Dengan iringan air mata sang putri yang tak habis-habis, mereka melepasnya dalam mahligai perkawinan. Dengan tulus berdoa agar cinta sang jenderal mampu memberikan kebahagiaan bagi sang putri semata wayang.

Tahun demi tahun Ratna diperlakukan bagai seorang permaisuri. Dapur tempat ia dulu sering menghabiskan waktu bersama ibunda untuk mencoba berbagai resep masakan tak lagi diperbolehkan untuk diinjaknya oleh sang suami. Mas Yugo, demikian ia memanggilnya, melarang Ratna untuk melakukan pekerjaan berat. Ia dimanjakan dengan perhatian dan hadiah-hadiah, yang perlahan membuatnya luluh dan berakhir jatuh hati kepada suaminya sendiri.

Penerimaan dan cinta membuat mahligai rumah tangga yang berawal dari keterpaksaan itu berubah menjadi bahagia. Ratna semakin larut menjalankan perannya sebagai seorang istri. Lalu kehadiran buah hati yang tak kunjung terlihat tanda-tandanya mulai meresahkan hati, mengganggu kebahagiaan yang mulai bersemi.

Sejauh ini Yugo memang tidak menyatakan keinginannya untuk memiliki keturunan dari Ratna, meski begitu, dapat dilihatnya dengan jelas pancaran kebahagiaan di wajah lelaki itu ketika putra-putrinya datang berkunjung ke rumah mereka, paling tidak sebulan sekali untuk mengambil uang tunjangan. Meski berwatak keras, namun Yugo sangat menyayangi anak-anaknya, ia tidak lepas tangan begitu saja terhadap masa depan anak-anak dari mantan istri-istrinya. Sebelum mereka dewasa dan sanggup untuk menafkahi diri sendiri, secara rutin Yugo menyisihkan sebagian dari hartanya untuk dibagikan kepada anak-anaknya tersebut.

Belum selesai masalah tentang anak, tiba-tiba saja Ratna mendapatkan kabar bahwa kedua orang tuanya mengalami kecelakaan lalu lintas dan meninggal di tempat. Di masa-masa terpuruknya itu, Yugo dengan setia mendampingi, bahkan suaminya itu pula yang mengurusi pemakaman keduanya. Hal yang membuatnya makin bersyukur, bersuamikan lelaki dewasa sepertinya.

Terbiasa melalui masa-masa bahagia dalam perkawinannya, Ratna begitu terkejut mendengar keinginan Yugo untuk menikah lagi, hanya beberapa tahun selepas masa pensiun lelaki itu. Ketidakmampuan Ratna memberikan keturunan dijadikan alasan, bahkan ketika dengan halus ia mengingatkan akan janji pria itu kepada ayahnya untuk tidak menduakan Ratna, Yugo malah murka dan untuk pertama kali mengayunkan tangan ke pipinya. Terkejut dan sakit hati, Ratna memilih untuk mengunci diri di kamar. Dari waktu ke waktu ia menunggu kedatangan suaminya dengan membawa permohonan maaf, namun tak kunjung terjadi. Malah berita pernikahan sang suami dengan seorang janda muda yang ia dengar dua minggu kemudian, dari sejak malam Yugo meninggalkan rumah dan tak kunjung pulang.

Hari itu Ratna menangis sejadi-jadinya, patah hati dan sendirian. Di sela-sela isaknya ia menyebut nama ayah dan ibunya, dua orang yang begitu menyayanginya namun sudah tak lagi ada di dunia.

Begitu cepatnya cinta berubah arah. Sang jenderal yang dulu begitu menyayanginya, hingga rela kehilangan seluruh istri-istrinya, kini dengan tanpa perasaan telah menikahi perempuan lain. Mengingkari janjinya untuk menjadikan Ratna satu-satunya istri. Genap satu bulan sejak kepergian lelaki itu, tak ada pula niatnya untuk mengetahui kabar Ratna. Tidak peduli kah lelaki itu bahwa sejak kepergiaannya  Ratna jadi malas makan? Padahal dahulu, lelaki itu rela jauh-jauh pergi ke kota sebelah hanya untuk membelikan makanan kesukaannya ketika Ratna sedang tak berselera.

Rasa mual di perut menyela aksi melamun Ratna, rutinitas baru yang sebulan ini ia lakoni selain meneteskan air mata. Buru-buru ia berlari ke kamar mandi, memuntahkan cairan bening yang sedikit sekali jumlahnya. Oh Tuhan, tidak! Ia meremas perutnya, berteriak dalam hati kenapa baru sekarang, di saat suaminya telah pergi?

🎤🎤🎤

TiaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang