Tiara 33

51 8 3
                                    

"Kata Kasih, sekarang kau tidak tinggal di apartemen." tanya Alan, ketika mereka nongkrong di coffee shop selepas bekerja.

"Dia tinggal di rumah pacarnya." sahut Luffy.

Alan melotot terkejut, "Serius? Kau tinggal di rumah Tiara? Apa tante Ratna memberikan izin?"

Wira berdecak, khayalan teman-temannya sungguh melampaui batas. Padahal setiap malam, selama ia tidur seranjang dengan Tiara, tidak pernah terjadi adegan dewasa. Oh, Wira memang memeluk erat gadis itu. Tangannya mengeksplorasi keindahan tubuh sang kekasih. Bahkan bibirnya bebas menjangkau bagian manapun yang ingin dikecupnya. Tapi hanya sebatas itu.

"Aku hanya membantu Tiara merawat ibunya." ucapnya, menjelaskan.

"Hell, yeah! Dan merawat anaknya begitu ibunya tertidur." sahut Alan menyindir.

Luffy menyahut dengan tawa. 

"Apa kau serius dengan Tiara? Maksudku, selama ini kau tidak pernah terlibat dalam urusan keluarga pacar-pacarmu. Tapi sekarang, kau ikut merawat ibunya. Apa kau menginginkan hubungan yang lebih serius dengannya?" tanyanya.

Wira termenung. Apakah ia menginginkan hubungan yang lebih serius dengan Tiara? Menikahinya?

"Aku belum kepikiran untuk menikah." jawabnya.

"Tapi, apakah suatu hari kau ingin menikahinya?" tanya Luffy.

Entahlah. Mengapa Wira harus memikirkan hal yang belum pasti! Besok, lusa pun belum tentu mereka masih bersama. Bisa saja hubungannya kandas seperti halnya yang terjadi pada pacar-pacarnya terdahulu.

🎤🎤🎤

Ketika Wira tiba di rumah Tiara, keluarga mereka sedang kedatangan tamu. Kasih, gadis itu berdiri menyambut kedatangannya. Bolak-balik ia memandangi antara dirinya dan Tiara. Lalu seperti terkejut, ia mundur beberapa langkah.

"Apakah rumah teman, tempatmu menginap, yang dimaksud Luffy tempo hari adalah rumah Tiara?" ucapnya bertanya.

Setelah sejenak terpaku, Wira menghampiri tante Ratna untuk mencium punggung tangannya. Sebelum lanjut mencium pipi Tiara, dan meminta dibuatkan secangkir teh olehnya. Setelah gadis itu berlalu, Wira pun mengambil tempat duduk persis di sebelah kursinya.

"Sebaiknya kau kembali duduk, Kasih." ucapnya, mendapati sang gadis yang masih berdiri dengan kaku.

Kasih mengikuti sarannya, kembali duduk dengan perlahan.

"Senang melihatmu. Tumben kau datang!" lanjut Wira.

Ia mengucapkan terima kasih sembari menerima secangkir teh dari Tiara.

"Aku," jawab Kasih, serak. "Aku kesini untuk menjenguk mama Ratna." lanjutnya, usai melegakan tenggorokan.

Wira mengangguk, sembari menikmati teh yang masih panas. Diantara keduanya, Tiara dan ibunya hanya terdiam.

"Kau sudah dari tadi?" tanya Wira, memecah keheningan.

"Hampir satu jam." jawab Kasih. "Aku cukup terkejut tahu kau menginap disini." imbuhnya, seperti sedang menuntut penjelasan.

"Aku membantu Tiara merawat ibunya. Dia harus bekerja di malam hari." balas Wira.

Kasih mengalihkan tatapannya kepada Tiara, "Kenapa kau tidak mengatakannya padaku? Aku pasti bersedia menolongmu menjaga mama, Tiara."

Pertanyaan tersebut sungguh terasa memojokkan, seolah Kasih menempatkannya sebagai pelaku kejahatan. Di sisi lain Tiara tidak bisa menyalahkannya, karena gadis itu tidak bisa disalahkan. Tiara benci sifat Kasih yang satu ini! Ia bahkan tidak dapat membela diri tanpa terkesan jahat.

"Apa kau menganggapku orang lain, Kasih?" sahut Wira.

Perhatian semua orang seketika beralih padanya.

"Apa maksudmu, Wira?" balas Kasih tak mengerti.

"Tiara kekasihku, jadi bukankah wajar baginya meminta tolong kepadaku?" balas Wira.

"Itu benar, tapi--" balas Kasih.

"Sebagai saudaranya, kau seharusnya tahu bahwa Tiara tidak suka menyusahkan orang lain. Ia selalu berusaha untuk mengatasi masalah-masalahnya seorang diri. Jika bukan karena aku yang menawarkan bantuan, sudah pasti dia akan menderita sendirian. Bukankah seharusnya kau bersyukur, dia menerima bantuanku, alih-alih menyalahkannya karena tidak meminta bantuanmu?" sela Wira.

"Aku tidak bermaksud menyalahkannya." bantah Kasih. "Seperti yang kau bilang, kami bersaudara. Mama Ratna sudah kuanggap seperti ibu kandungku sendiri. Jika terjadi sesuatu kepada mama, bukankah sudah seharusnya Tiara meminta bantuan kepadaku terlebih dahulu, sebelum ia meminta tolong pada orang lain?" lanjutnya.

Kedua alis Wira terangkat, "Ternyata kau memang menganggapku orang lain."

"Apa? Bukan begitu, Wira. Maksudku--" balas Kasih.

"Sudah, cukup!" Tiara menyela. "Aku memang tidak berniat untuk meminta tolong kepadamu. Terpikir pun tidak." ucapnya sembari menatap Kasih lurus-lurus. "Kita hanya saudara tiri, Kasih. Yang bahkan tidak kutahu apa artinya. Kau tidak ada di masa senangku, lebih-lebih ketika aku sedang kesulitan."

Kasih seperti hendak membantahnya, namun Tiara kembali menambahkan, "Aku masih belum lupa ketika terakhir kali papa mencambukku di rumah kalian. Saat itu kau dan saudara-saudara kandungmu hanya diam, melihatku diperlakukan dengan kejam oleh papa. Apakah saat itu kau berusaha menolongku? Apakah saat itu kau bersedia menggantikan aku untuk menerima cambukan dari papa?"

"Tiara, kau tahu seperti apa papa ketika sedang marah. Tidak ada yang berani menghentikannya." jawab Kasih dengan wajah memerah, seolah sedang berusaha membela diri.

"Kau tidak berhak menanyakan sikapku yang lebih memilih bantuan Wira daripada bantuanmu. Bahkan menolongku dari kemarahan papa saja kau tidak bisa, apalagi untuk hal lainnya." pungkas Tiara.

Seperti sepakat bahwa percakapan ini telah mencapai puncaknya, Kasih bangkit dari kursi dan segera berpamitan kepada tante Ratna. Ia pun pergi, diikuti oleh tatapan orang-orang di belakangnya dalam keheningan.

"Tiara sayang, kau tidak seharusnya bicara sekasar itu kepada Kasih. Maksudnya baik, ia hanya ingin menolongmu." tegur tante Ratna dengan halus.

"Aku tidak salah, Ma. Mama tidak perlu membelanya." jawab Tiara. "Aku baru sadar bahwa selama ini Kasih tidak sebaik apa yang berusaha ditampilkannya." imbuhnya, menggerutu.

"Tiara, tidak boleh seperti itu, bagaimana pun juga ia adalah saudaramu." tegur tante Ratna.

"Aahhh, mama terlalu baik!" sahut Tiara. "Mari kita kembali ke kamar! Mama harus istirahat." lanjutnya, menghela pundak tante Ratna. "Wira, sebaiknya kau mandi! Pakaian gantimu ada di atas ranjang." imbuhnya sebelum pergi.

Wira tersenyum sendiri menerima perhatian wanita itu. Belum apa-apa dia sudah bertingkah seperti istrinya. Ya ampun, Tiara, jangan membuatku semakin mencintaimu!

🎤🎤🎤

TiaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang