Tiara 26

62 4 0
                                    

Bangun tidur. Setelah mandi, Tiara pergi ke dapur. Mama sudah lebih dulu memasak, membuatnya harus puas dengan duduk di meja makan.

"Mama sakit?" tanyanya sembari mengernyit kening. 

Mama mulai batuk-batuk lagi.

"Mama baik-baik saja, hanya kedinginan, Sayang." bantah mama, lalu mengajaknya sarapan.

"Mama yakin tidak apa-apa?" tanyanya, di sela-sela makan. "Tiara bisa mengantarkan mama ke dokter."

"Mama baik-baik saja, Sayang. Sudah, lebih baik kau pergi ke pasar, sebelum kesiangan. Katanya mau belanja bulanan." balas sang ibu.

🎤🎤🎤

"Kau kenapa?" tanya Wira, ketika mereka tengah menyantap makan malam di bar.

Tiara terjaga dari lamunannya, "Mama sakit, Wira. Aku cemas meninggalkannya sendiri di rumah."

"Sakit apa?" tanya Wira, mengernyit kening.

Tiara menggeleng, "Aku belum tahu pasti. Mama menolak kuajak ke dokter. Tapi badannya panas dan beliau tidak berhenti batuk."

"Apa kau sudah coba memberinya obat?" tanya Wira.

Tiara mengiyakan. Ia sudah membelikan obat penurun panas dan pereda batuk untuk mama. Meski demikian, sakit wanita itu tampaknya tidak berkurang.

Tiara mengerang menerima ciuman penuh hasrat dari kekasihnya. Tubuhnya merinding di bawah elusan lelaki itu pada lengannya yang telanjang.

"Aku tidak sabar menunggumu selesai kerja." bisik Wira.

Tiara juga. Ia merindukan sentuhan lelaki itu di sekujur tubuhnya.

"Malam ini tidak dulu, Wira!" sahutnya.

"Kenapa?" tanya Wira, heran. "Apa kau menstruasi lagi? Bukankah baru dua minggu lalu kau dapat?"

Tiara menggeleng, memberi jarak diantara mereka.

"Aku harus pulang ke rumah. Mama membutuhkanku." Ia menjelaskan.

"Dan aku tidak?" balas Wira.

"Kumohon, Wira, mama sedang sakit. Kita bisa melakukannya lain kali." jawab Tiara.

Dan meski lelaki itu tampak keberatan, namun ia tidak lagi mendebatnya.

🎤🎤🎤

Kondisi mama semakin buruk. Bila sebelumnya ia masih dapat beraktivitas, kini hanya bisa berbaring di ranjang. Batuknya tak kunjung reda meski telah meminum berbotol-botol obat. Sedang panas tubuhnya masih sama.

"Mama perlu ke dokter." ucap Tiara, cemas.

Ia hendak berangkat kerja namun tidak sampai hati meninggalkan mama sendirian di rumah.

"Beberapa hari lagi mama pasti sembuh, Tiara, jangan cemas." jawab mama, sebelum kembali batuk. "Pergilah bekerja, nanti kau terlambat!"

"Tiara akan izin saja hari ini." jawabnya.

"Kau sudah sering minta izin, Tiara. Atasanmu tidak akan senang." sahut ibunya.

Memang benar, Tiara sudah terlalu sering meminta izin. Bahkan terakhir kali, ia sampai dimaki-maki oleh manajer. Ia sudah diperingatkan, jika sekali lagi tidak berangkat, akan dilaporkan kepada bos besar agar dipecat. Tiara tidak ingin kehilangan pekerjaan, tapi juga tidak sanggup jika harus meninggalkan mama sendirian.

"Pergilah, Tiara! Mama akan meneleponmu jika terjadi apa-apa." ucap mama.

Dengan berat hati, ia pun meninggalkan rumah.

🎤🎤🎤

"Kau tidak suka makanannya? Mau kupesankan yang lain?" tanya Wira, melihat Tiara hanya mengaduk-aduk makanan di piring.

"Tidak, Wira, ini enak!" jawab Tiara, lalu menyuap sesendok makanan ke dalam mulutnya.

Lelaki itu masih mengamatinya beberapa waktu, sebelum lanjut menikmati makan malam.

"Bagaimana kabar ibumu?" tanya Wira.

"Masih belum membaik." jawab Tiara.

"Mungkin kau harus membawanya ke dokter." balas Wira.

Tiara menggeleng, "Mama terus menolak kuajak ke dokter, Wira."

"Ya, berarti dia hanya akan menyiksa diri sendiri." Wira berkomentar.

"Kenapa kau bicara seperti itu?" balas Tiara, tidak senang mendengarnya. "Mama pasti kasihan padaku jika harus membayar biaya berobat yang tidak murah." lanjutnya, membela.

"Semakin lama mamamu tidak ditangani, semakin mahal juga biaya berobatnya jika sakitnya semakin parah." balas Wira tanpa perasaan.

"Kau ini kenapa sih?" Tiara membanting sendok dan garpunya ke atas piring.

Ia sudah kehilangan selera makan sejak awal. Demi Wira, ia terpaksa menelan makanan agar lelaki itu tidak cemas. Namun kini pria itu malah menyerang mama.

"Kau terus-menerus menyalahkan mama. Padahal kau tahu, mama sedang sakit. Ia bahkan tidak bisa kemana-mana sekarang, hanya terbaring di ranjang. Dimana empati-mu, bukankah kau seorang tentara yang terbiasa membantu orang-orang kesusahan! Tapi tidak sedikitpun kau berempati pada mama." lanjutnya, mengungkapkan kejengkelan.

"Aku akan berempati pada mamamu jika dia mau pergi ke dokter dan berhenti membuatmu cemas." balas Wira, menantang tatapannya. "Katakan padanya bahwa aku siap menanggung seluruh biaya pengobatannya!"

"Kenapa kau kasar sekali? Baik aku maupun mama tidak menginginkan uangmu! Aku bisa membiayai pengobatan mama sendiri." balas Tiara, entah sejak kapan mereka sudah berdiri saling berhadapan.

"Kalau begitu lekas bawa mamamu ke dokter, jangan hanya bicara!" balas Wira sembari menarik rambut Tiara, hingga wajahnya mendongak. 

Tiara menolak ciuman dari lelaki itu, alih-alih beranjak meninggalkan bangku yang mereka tempati. Ia menulikan telinga ketika di belakang sana Wira menyapu isi meja hingga pecah berantakan di lantai.

🎤🎤🎤

Tiara benar-benar membuktikan ucapannya untuk membawa mama ke dokter. Semalam, ia mendapati Wira tidak ada untuk menungguinya selesai bekerja. Sepertinya lelaki itu benar-benar marah padanya. Mungkin seharusnya ia terima saja ciuman Wira. Toh sudah jutaan kali mereka melakukannya, hanya satu ciuman tidak akan membunuhnya.

"Kalau mama tidak mau ke dokter, biar dokter yang datang ke rumah." ucap Tiara.

Mau tidak mau mama mengikuti ajakannya untuk pergi ke rumah sakit. Setelah bersiap-siap sebentar, mereka pun berangkat dengan taksi. Kenapa tidak dari kemarin-kemarin saja Tiara menggunakan cara ini? Pikirnya, heran sendiri.

"Radang paru-paru?" ucap Tiara, menegaskan kembali penjelasan dokter mengenai penyakit yang mama derita.

"Sebaiknya ibu Nona dirawat di rumah sakit. Karena gejala yang beliau derita cukup berat." lanjut dokter.

Ia pun menyerahkan penanganan ibunya kepada petugas medis, karena perlu mengurus administrasi. Setelah ini ia bahkan dianjurkan untuk memeriksakan diri, karena dikhawatirkan telah tertular penyakit yang mama derita. Tiara duduk di kursi besi, menunggu antriannya dipanggil. Merasa begitu kesepian di tengah ramainya orang. Seandainya Wira ada disini untuk memeluknya.... Sayangnya Tiara terlalu pengecut untuk menelepon lelaki itu, setelah semua penolakannya. Tiba-tiba ingatan kejadian dua bulan belakangan memenuhi memorinya. Tiara yang menolak menginap di apartemen Wira karena terlalu mengkhawatirkan kondisi mama. Tiara yang menolak ajakan lelaki itu untuk berkencan di akhir minggu karena ingin menemani mama. Tiara yang menolak sentuhan intim lelaki itu ketika mereka bersama. Padahal Tiara tahu, lelaki itu memaknai cinta melalui sentuhan.

🎤🎤🎤

TiaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang